- 15

1.2K 183 90
                                    

Aku, orang kaya dengan nilai kekayaan yang membawaku masuk ke Forbes ini, mecangkul seperti petani—mana pula tidak digaji. Pekerjaanku hampir rampung karena aku rajin menyicilnya dari dulu. Tapi kenapa ini tidak selesai-selesai?

Gentar, makhluk ini memerhatikanku ketika aku berhenti. Gentar bilang dia ingin membantu—dia mengatakan dia hanya akan membantu ketika aku mengerjakannya, dia tidak mau disuruh mencangkul sendiri sedangkan aku berleha-leha sambil mengikir kuku dengan ujung kartu debitku.

"Kenapa berhenti?" Aku bertanya, sambil mengusap peluh.

"Kenapa berhenti?" Gentar bertanya balik.

Aku mendungas menyelesaikan pekerjaanku dan merotasikan mataku ke pohon serupa mahoni di belakang punggungnya, "Karena aku capek."

"Aku bakal melanjutkan kalau kamu memulai." Dia mengulas senyum.

Dan mataku membelalang, aku mengamatinya dari atas ke bawah. Penampilannya tak sama sekali memanifestasikan Gempa atau Halilintar. Dia murni seorang berandal bergaya rambut umpama cucu seorang presiden Yakuza yang kerjanya menggertak dan bertingkah tengil. Daripada Gempa atau Halilintar, dia lebih terlihat seperti Solar kalau lagi gila; tengik, berkelakuan bak bocah bau kencur, dan leluconnya susah dicerna.

"Seingin itukah kamu memperkerjakan aku?" Aku marah-marah sambil membanting benih ke galian yang kubuat dangkal di permukaan podsol bertekstur lempung. "Katanya mau menikah denganku. Masa iya calon istrimu disuruh bercocok tanah begini?"

"Kamu cantik kalau lagi bertani." Gentar meletakkan dagunya di gagang sekop. Sejenak ia melamun sambil menarik sudut bibirnya, membentuk senyum usil.

Dia berkeletah seolah aku akan menanggapinya secara positif. Aku hanya terbahak berdengkang-dengkang, "Aku ini cantik dari segala sisi, sudut, dimensi! Aku tak hanya cantik ketika berkebun saja! Kamu buta atau apa! Sana ke optik!"

Aku menancapkan sekopku ke tanah dan melirik Gentar, "Sayang?"

Gentar tak menyahut, tapi dia menoleh.

"Kamu haus, 'kan? Aku ambilkan minum, ya? Tapi, kamu disini saja." Aku meringis.

Gentar menatapku tak percaya. Aku mendecak, "Bilang iya,"

"Tidak biasanya." Gentar berkomentar.

Aku mengangguk, "Aku anggap iya. Jangan kemana-mana ya. Tunggu aku."

Aku pergi ke pondoknya Boboiboy dengan berkali-kali menoleh ke belakang. Aku ngeri dia mengikutiku. Tapi tidak. Ini aman. Aku menghela napas penuh kelegaan dan menurunkan bahu. Aku mengetuk bandul kalungku, mengisyaratkan agar Mechabot keluar. Mechabot, robot tukang makan ini, mematuhi pintaku. Dia bertransformasi ke bentuk semula; sebundar robot dengan telinga seperti binatang mamalia dan tangan mirip manusia.

"Apa?" Mechabot bertanya ketus.

Aku menamparnya, "Bergunalah sedikit. Bantu aku."

Mechabot mengambang di udara dengan lebih stabil, ia menyipitkan mata, "Rencana jahat apalagi yang kamu ingin perbuat?"

"Pindai sekitar. Temukan router." Aku menunjuk ke sembarang arah. "Bisa?"

"Untuk apa?" Mechabot malah bertanya. Robot ini banyak tanya! Aku menamparnya lagi dan ia mengaduh.

"Aduh! Sakit!" Mechabot mencak-mencak. "Kenapa pula Amato bisa-bisanya mewariskan power shpera top tier seperti aku pada anak perempuan urakan seperti kamu!"

"Aish!" Aku mengeluh, lalu mengeluarkan ponsel mahalku dan menunjukkan layar lockscreennya pada Mechabot. "Aku butuh router untuk memperoleh koneksi."

Boboiboy x Reader | SuperheroWhere stories live. Discover now