Kedai Kak Min

14 9 0
                                    


Kedua orang tuaku bekerja di kebun pangan utama Nascombe. Selain pendapatan dalam bentuk uang koin, mereka tentu juga mendapat sayur dan buah yang dipanen. Kami sekeluarga bersyukur karenanya.

Namun, jika jumlah sayur atau buah tersebut terlalu banyak dan dikhawatirkan membusuk sebelum sempat dihabiskan, aku disuruh Ibu untuk membagikannya ke tetangga atau teman-teman.

Aku memeluk karung goni kecil berisi beberapa Pir, Salak, dan Jambu klutuk untuk diberikan ke Lofi. Baiklah, ini karung terakhir. Kuat-kuatlah kakiku.

"Anna!"

Aku menoleh sebelum hendak menyeberangi jembatan, mendapati adikku melambai dari dalam kedai es Kak Min. Si pemilik juga ada di sana, sedang melayani dua orang anak kecil.

Ugh, aku ragu mendatanginya. Kak Min kan tidak menyukaiku. Aku pura-pura tidak dengar aja, ah.

Baru aku hendak lanjut melangkah, suara lain kembali memanggil. "Na, itu apa?"

Eh, Lofi?

Aku menoleh lagi, melihat laki-laki itu sedang memegang palu, memakai singlet sederhana, celana bahan selutut dan tampak agak ngos-ngosan.

"Kamu ngapain, Fi?" tanyaku sambil akhirnya menghampiri.

Dia menyenderkan badan di ambang pintu dan adikku tetap duduk di dalam, depan meja konter kedai. "Aku diperkerjakan untuk membongkar ulang kedai ini."

Aku mengangguk lambat sambil menatap seisi toko. "Ada yang bocor, kah?"

"Bukan, Kak. Bang Min tergugah sama warung di Indonesia yang aku ceritain seminggu lalu. Eh, sekarang dia mau ubah kedai ini jadi kayak warung juga," tutur Radit, lalu dia menyeruput es serut dengan sirop warna hijau, merah dan biru dihidangkan dalam gelas batok.

Kelihatannya segar sekali es itu ....

"Memangnya di sini tidak ada warung?" Aku menoleh ke toko-toko lain di sekitar.

"Tingkat satu memang banyak toko, tapi semuanya hanya menjual satu barang saja atau beberapa barang yang berkaitan." Lofi mengelap keringatnya dengan lengan. "Dua hari lalu, saat kita ke Indonesia, kita sempat melewati warung. Dan menurutku tidak ada orang di Nascombe yang punya tempat berjualan seperti itu. Aku sendiri saja syok ketika tau warung itu menjual bahan makanan, makanan dan kebutuhan bersih-bersih di dalam satu ruangan."

"Itulah mengapa aku merasa itu ide yang bagus." Kak Min bersedekap. "Aku bisa jualan minuman dingin, bahan makanan segar seperti sayur dan buah, bahkan bisa jual ikan tanpa takut barang lain akan terkena bau amisnya."

Iya, juga. Dia bisa membekukan ikan itu dengan mudah. Orang ini definisi 'kulkas berjalan' sungguhan.

"Masalahnya, Kak Min belum dapat akses mendapatkan sayur langsung dari kebun. Itulah kenapa aku di sini, disogok pakai es serut sirup untuk membeberkan informasi tentang kebun tempat Ibu dan Ayah kerja," kata Radit.

Kak Min melempar tatapan sinis yang tak dipedulikan adikku. Sungguh, cara bicara anak itu memang sesuatu sekali.

Kak Min mengacak-ngacak surai putih keabu-abuannya. "Informasi yang kudapat darimu tidak sepadan dengan minuman itu. Cepat beri tau lagi apa yang kamu tau."

"Aku memang gak sesering itu pergi ke Warung, Kak. Di tempatku yang dulu warungnya cukup jauh dan yang dekat adalah mini market."

Selagi mereka berseteru, aku mendadak teringat pada urusanku. "Oh iya, Lofi. Ini dari Ibu dan Ayah," kataku, langsung memberikan karung goni kecil di pelukan.

Lofi menyingkap kainnya, senyumnya merekah. "Wah, jambu!"

"Sesuka itu sama jambu?"

"Jambu ini langka, tau," tekannya yang tanpa ragu langsung menggigit buah itu. "Meskipun mudah tumbuh, tapi panennya tidak secepat buah lain. Dan hasilnya pasti lebih diutamakan untuk dikirim ke tempat lain karena jarang yang suka di sini."

"Bagus, deh. Ada pir juga, tuh."

Aku merasa Kak Min menatap dengan intens, jadi aku melihatnya dan bertanya. "Kenapa, Kak?"

"Kamu lebih lama tinggal di Bumi dibanding Radit. Apa kamu tau apa saja yang dijual di warung dan pembagian tempatnya?" tanyanya.

"Kurang lebih?" raguku. "Aku gak begitu memperhatikan, sih, meski nyaris setiap hari ke sana."

"Duduk," titahnya segera.

Aku takut, jadi aku menurut. Aku menempati bangku tanpa punggung di sebelah Radit.

"Mau sirup rasa apa?"

"Eh?"

Adikku menyikut pelan. "Dia mau nyogok Kakak. Nurut aja."

"Cepat atau kamu tidak dapat es gratis," tambah Kak Min.

"Sirup merah aja," lontarku cepat.

Setelah itu, aku secara tidak langsung diperkerjakan sebagai desain interior dengan gaji es serut dan es buah gagang selama bekerja.

Buku Harian Bumi [FF Forestesia]Where stories live. Discover now