Jika itu terjadi

11 3 0
                                    


MIMA – 3 Mei 2019

Aku menidurkan kepala di meja, menghadap miring, melihat ke adik kelasku, Furukawa Ken, siswa yang hendak satu bulan bersekolah di sini.

Dia membaca majalah keluaran klub fotografi tahun kemarin. Matanya melirik sejenak lewat ekor mata. Sekali. Dua kali, tiga kali, dengan cepat. Kemudian berdeham.

"Senpai? Bisa lihat ke jendela saja?" kakunya.

Aku tersenyum kecil. "Kenapa?"

"Pemandangan ada di sebelah sana."

"Eee, aku bosan lihat langit biru terus. Suara Harmonika klub Marching juga diulang-ulang jadi bosan."

Wajahnya agak bertekuk jengkel. "Bukan bermaksud menyinggung atau sok percaya diri, tapi aku mulai risih."

"Hei, aku tidak menatapmu dengan tatapan mesum," tegurku serius sampai mengangkat kepala.

Pintu diketuk. Kami berdua langsung menatap ke sana. Sampai sepuluh detik, tak ada yang masuk, tak ada yang bersuara. Kemudian dia mengetuk lagi.

"Kei-kun, coba cek," ujarku, mengalihkan wajah ke jendela.

"Baik."

Haaa, lenggang sekali ....

Klub ini butuh projek kerja sama selanjutnya. Namun, belum ada balasan dari tawaran yang kami tawarkan ke klub dan kantor majalah.

Suara keributan terdengar dari arah pintu, lalu pintu dibanting tertutup, membuatku melonjak di tempat, melihat ke sana. Eh, Kei tak ada di sana!

"Kei—"

"Aku di sini, senpai!" sahutnya dari luar. "Maaf, ini teman kelasku, dia ada perlu denganku sejenak."

Aku kembali duduk dengan lega. "Oh, begitu."

Bicara di dalam tidak apa, kok.

Aku kembali menatap ke jendela, menangkup wajah, mendengar harmonika dan suara-suara siswa klub Marching yang latihan di lapangan tepat di bawah jendela ini.

Bosan.

Saking bosannya, kini aku membayangkan tanahnya bergetar—

Eh?

Aku menatap kaki sambil memfokuskan rasa di telapak kaki.

Ini—ini bukan bayanganku.

Suara harmonika dan beberapa alat musik berhenti, diganti oleh suara bertanya-tanya para siswa.

Mendadak, tanah berguncang hebat seperti ada raksasa yang menapakkan kaki ke Bumi. Ya! Sekencang dan sesingkat itu! Getarannya berhasil membuat pajangan dan koleksi foto dalam bingkai kami jatuh, tembok dan langit-langit retak parah. Aku juga jatuh ke samping, membuat kepalaku terbentur di tembok bawah jendela.

"A!" sakitku.

Getaran bak bom dari dalam perut bumi itu adalah sinyal nyata bahwa ada bahaya. Aku segera bangkit, melangkah cepat menuju pintu.

"Eh?" Aku menarik-narik pintu geser itu. "Kenapa tidak bergeser?"

D-dikunci?! Aku dikunci di dalam?!

"Kenapa bisa—" Aku menoleh ke jendela lagi, lalu aku tercengang melihat titik merah oranye dan hitam di kejauhan.

Aku tak mau mendekat ke jendela, melihat apa itu di sana. Namun, titik itu membesar dalam hitungan lebih cepat dari detik. Semakin mendekat, aku mulai menangkap kalau itu asap hitam, bersamaan dengan api.

Kemudian kaca jendela pecah, api masuk, aku merunduk, berteriak panik—

"Senpai? Bisa lihat ke jendela saja?"

Aku mengerjap, mendapati aku dan Kei duduk di tempat tadi, di posisi sebelumnya.

Dengan setengah sadar, aku bertanya, "Kenapa?"

"Pemandangan ada di sebelah sana."

Aku mengangkat kepala, melihat ke jendela. Langit masih sama birunya, suara harmonika juga masih berlantang dari luar, diselingi suara siswa yang berlatih memainkannya.

Aku menyentuh pelipis yang harusnya sakit karena terbentur ....

Sebentar, memangnya aku terbentur tadi?

Kapan? Sejak tadi aku duduk diam di sini.

Eh? Aku ... barusan kenapa?

Kulirik Kei yang punggung tangannya terdapat balutan perban.

"Tanganmu kenapa?" tanyaku.

"Oh, ini kena cutter. Kelasku sedang ada tugas prakarya kertas."

Luka cutter agak berlebihan agaknya, Kei. Itu seperti luka lain.

Buku Harian Bumi [FF Forestesia]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang