Jadi Orang Bumi

11 5 0
                                    

"Hey, bangun!"
Aku tersentak kaget, mendapati Lofi berwajah kesal.
"Bagun!" tekannya lagi.
Aku segera duduk, mengusap kotoran mata dan memastikan diriku tidak meninggalkan air liur di wajah.
Sebentar, kenapa Lofi ada di kamarku?
"Katamu sarapan kita 'Nasi Uduk'. Kita beli di mana?"
Hah?
Mataku terpejam sambil memproses ucapannya. Kenapa Lofi mendadak menanyakan nasi uduk? Dia tau dari mana? Di Nascombe kan tidak ada yang jual—
"A," gumamku sembari membuka mata, menyadari sekarang diriku berada di Bumi, di rumah yang dulunya ditempati keluarga Saga, bersama Lofi, Kak Amma dan Radit.
"Sekarang jam berapa?" tanyaku bersuara parau.
"Jam? Entah. Aku tidak tau apa yang kamu maksud. Pokoknya sekarang sudah pagi. Matahari sudah terbit," jelasnya.
Aku bangun pelan-pelan. "Ya udah. Tunggu dulu. Aku mau bersih-bersih."
"Oke."
Kami ke sini bukan untuk senang-senang seperti sebelum-sebelumnya. Iredale masih berurusan dengan 'Mesin teleportasi' yang Falcon kembangkan sampai nyaris rampung. Mereka sepakat untuk menyelesaikan pengembangan alat itu. Entah apa alasannya, intinya itu urusan Iredale.
Alhasil, Lofi yang sempat mempelajari kode program perangkat elektronik Bumi ditunjuk untuk menyertai pengembangan bersama tim sektor teknologi Iredale yang lain. Kak Amma hanya mengantarku yang ingin melepas energi kemampuan ke Bumi selama tiga hari ke depan, sementara Radit merajuk ingin ikut.
Kulirik kasur lipat di sebelah tempat Kak Amma tidur. Sudah kosong dan rapi. Suara air yang tumpah di kamar mandi menandakan ada seseorang yang sedang mandi di sana.
Selesai beres-beres kecil dan cuci muka di keran bak cuci piring, aku keluar dari kamar, mendapati Radit masih tidur nyenyak di kasur yang digelar di ruang tamu.
Berhubung tak ada perabotan, ruangan itu dijadikan tempat berkumpulnya barang-barang yang kami bawa dari Bumi kedua dan sisanya dijadikan lapak menggelar kasur tempat tidur para laki-laki.
Lofi sendiri sedang berdiri memandang taman kecil di depan rumah. Taman itu ditumbuhi rumput gajah, putri malu dan tanaman liar lain. Tak terawat sejak tiga bulan ditinggalkan.
Agak lain melihatnya memakai pakaian orang Bumi pada umumnya. Berhubung ukuran pakaiannya tidak jauh dengan ukuran baju adikku, Radit meminjaminya pakaian selama dirinya di sini. Kaos lengan pendek warna hitam dan celana jeans longgar tampak alami sekaligus ganjil dipakai Lofi.
Aku sendiri juga merasa ganjil memakai kaos biasa dan rok setengah betis bunga-bunga. Rupanya dua bulan cukup untuk me-reset setingan awalku yang tumbuh besar di sini.
"Ayok," kataku, memasukkan beberapa lembar rupiah ke saku rok sambil memakai sendal jepit.
"Kamu hafal tempatnya?" tanyanya.
"Kalau tidak salah. Lagi pula, penjual nasi uduk bak jamur di musim hujan. Selama masih pagi, mereka masih berjualan di banyak tempat yang berdekatan," kataku.
Kami melangkah menyusuri jalan setapak kecil tak beraspal, hendak menuju jalan yang sedikit lebih besar. Udara di sini terasa hangat seperti siang hari di Nascombe. Tidak heran, sih.

"Makanannya tidak selangka itu ternyata. Menu sarapan kalian di sini hanya Nasi uduk?" tanya Lofi.
"Banyak. Tergantung selera. Kriuk sayur yang biasa kita jadikan lauk juga dijual berdampingan dengan nasi uduk. Ada bubur ayam, nasi goreng, nasi kuning, kue-kue kecil, gorengan, lontong." Aku mengempas napas membayangkan kenikmatan makanan pagi Indonesia. "Intinya kamu gak bakal bosan, deh. Namun, aku gak menyarankan kamu makan menu-menu tadi setiap hari."
"Karena makanan tadi tergolong makanan berat?"
"Karena sebagian besar tidak sehat," timpalku.
Betul saja, di sisi jalan yang kami lewati, tepat sebelum masuk ke jalan raya besar, kami mendapati tukang nasi uduk di sebelah kiri, bersebelahan dengan tukang bubur ayam.
Aku menunggu giliran sambil menanyai Lofi. "Kamu mau makan nasi pakai apa? Lauk sampingannya ada tempe kecap, ikan teri, bihun sayur, semur tahu, semur ayam, opor ayam, telur pedas."
Si mekanik mesin tampak tak mau melewatkan satu menu pun. Dia bingung.
"Umumnya nasi uduk pakai tempe orek, ikan teri dan telur pedas sudah enak," saranku.
"Ya sudah itu aja."
"Bu, Nasi uduknya empat. Pakai tempe orek, ikan teri sama telur pedas. Sambal kacangnya dipisah, ya, Bu," kataku.
Si Ibu melirikku sejenak selagi masih menyiapkan nasi uduk pelanggan lain. "Orang mana, Neng? Kirain bukan orang Indo, ngomongnya pakai bahasa orang sono."
Aku membulatkan mata. Astaga, aku lupa, tadi aku dan Lofi berkomunikasi pakai bahasa Bumi kedua!
"K-kami orang sini, kok, Bu. Tadi lagi belajar pakai bahasa luar," balasku gugup.
Lofi mendadak berucap. "Sambel merahnya pedes banget, Bu?"
Mataku melotot pada Lofi. L-logat sunda?!
"Lah, orang sunda ternyata," balas si Ibu. "Pantesan, suaranya dalem agak alus gitu."
Aku menyikut laki-laki itu. "Heh."
"Aku sempat riset tentang daerah ini di komputer lipat punya Amara. Menurutku, menggunakan logat masyarakat Sunda, Jawa atau Jakarta akan mempermudah kita untuk berbaur dan tidak begitu dicurigai," bisiknya.
Y-ya ... aku juga setuju soal itu, tapi kalau begitu kenapa tidak bicara pakai logat sunda dan bahasa Indonesia saja sejak tadi? Kan kami jadi dikira orang aneh!

Buku Harian Bumi [FF Forestesia]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang