Jadi Peri itu ....

11 5 0
                                    

SAGA

Aku agak menyesal tuk tinggal di Nascombe.
Tidak, tidak. Mereka semua baik. Ya ... aku yakin selalu ada orang jahat di mana saja, tapi bukan orang itu yang membuatku menyesal.
Aku bangun tidur ketika matahari sudah cukup terang meski dia belum naik tinggi.
Aroma makanan tercium sampai ke dalam kamar, kali ini aromanya seperti kayu manis, apel dan sesuatu yang dipanggang.
Aku keluar dari kamar dan tebakanku benar. Kudapati roti campuran potongan apel, ditaburi biji wijen hitam dan agaknya ada bubuk kayu manis juga di sana. Dipanggang sampai wangi dan dibawa ke sini selagi masih hangat—asapnya keluar ketika aku menyendokkan roti itu dari wadahnya.
Kepalaku mengangguk kecil selagi menikmati apel yang meleleh di lidah. Enak. Mantap. Ah, ini aku bawa ke Anna aja. Sogokan biar bisa ajak dia main.
"Itu dari Bu Mela, yang jual roti di dekat tempat les kita." Ibu berjalan melewatiku sambil menaruh hidangan lain. "Ini ikan bumbu kuning dari istrinya Pak Yuda, nelayan yang baru pulang semalam."
"Kayaknya aku perlu pasang tanda 'tidak terima makanan' di tembok depan, deh, Bu," ungkapku sambil menggaruk-garuk.
Meskipun mereka menganggapku sosok legenda hidup yang dipercaya menjamin kemakmuran Nascombe selama aku masih hidup, aku tidak menganggap diriku seagung itu.
Aku hanya remaja yang sedang puber, sama seperti remaja ras Daun yang lain.
Kupikir tinggal di sini bisa membuatku merasakan kebebasan yang kubayangkan, ternyata tidak. Padahal, aku ingin hidup biasa saja, tanpa dijadikan simbol atau memiliki peran penting apa pun.
Namun, aku tidak bilang kalau aku mau pergi dari sini. Dibanding di Bumi, aku tak perlu berpura-pura dan menutupi kemampuanku, dan aku lebih suka seperti itu.
"Jangan begitu. Ibu juga keberatan sama pemberian mereka, tapi kesannya gak sopan, kan, kalau menolak dengan gamblang." Ibu menepuk punggungku. "Mandi sana. Ilermu kering di sepanjang pipi tuh."
"Hmmm."Aku mencubit daging ikan, mencoleknya di bumbu kuning yang tampak gurih, lalu menyantapnya.
Kepalaku refleks mengangguk-angguk lagi.
"Pakai nasi enak, nih—"
"Saga! Kamu jorok banget, sih! Baru bangun, masih bau, main cubit-cubit makanan aja! Tangannya belum dicuci lagi!"
"Iyaaa," malasku.
Usai menuruti kemauan Ibu, aku memisahkan roti apel untuk Anna dan mengantarkannya."Ayah tumben gak keliatan," kataku sebelum berangkat.
"Lagi ke pengepul kayu. Mau bikin perabotan buat tempat les."
Ayah dan Ibu yang dulunya pernah jadi guru sebelum terusir dari Nascombe, kini memutuskan untuk menyewa salah satu kedai di tingkat satu dan merombaknya menjadi tempat belajar anak-anak berusia 6 sampai 10 tahun.
Kuharap sekolah Nascombe segera dibuka lagi agar orang tuaku tidak repot begini.
Aku berangkat pergi.
"Ah, Saga!" Itu tetangga yang tinggal di sebelah kanan.
"Eh, Kak Poppy," sapaku.
Perempuan yang usianya empat tahun di atasku itu melangkah ke pinggir birai pembatas rumahnya. "Mau pergi ke mana?"
"Biasa, ke rumah teman."
"Oh. Ini dari Ibu." Dia mengangkat tinggi tas dari kertas daur ulang yang bagian atasnya gulung rapat. "Kamu suka kue kering, kan?"
"Iya ...."Kak Poppy mengulurkan tangannya, dan aku menerimanya dengan ragu. "Makasih, Kak."
Dia tersenyum dan melambai. "Tidak perlu keberatan. Ini sudah menjadi tradisi kami untuk membuat Peri senang. 'Peri yang bahagia akan menyejahterakan tanah dan tanaman', gitu kata yang lain. Nanti kamu juga terbiasa."
Tradisi ....
Kuhempas napas dan tersenyum pasrah. "Jujur aja, makanan di rumah terlalu banyak dan ujung-ujungnya jadi terbuang karena tak sempat dihabiskan. Aku jadi sedih kalau buang-buang makanan ...."
Dia tampak kaget. "B-begitu?"
"Tapi, makanannya enak semua, kok!" kataku segera karena rasa tidak enakan dan tak mau orang lain menganggapku tidak menyukai pemberian mereka. "Cuma sayangnya perutku hanya sebesar ini. Hehe."
Kak Poppy lalu berkata, "Kalau begitu, coba kamu bilang langsung pada mereka. Aku yakin mereka tidak akan tersinggung kalau kamu yang bilang."
"Oke, aku bakal pikir-pikir dulu. Sekali lagi, makasih, Kak!" Aku ingin bergegas pergi sebelum roti apelnya dingin, jadi aku menumbuhkan kayu rambat di cabang yang tinggi, meraihnya, lalu lompat sambil memeluk makanan di tangan yang satu lagi.
Setelah meniru aksi tokoh super hero laba-laba yang terkenal di Bumi sana, aku sampai di depan rumah Anna, kemudian mengetuk pintunya.
"Pakeeet," kataku.
Pintu terbuka, Anna seperti biasa menatapku dengan tatapan jengkel dan nada suara yang tak ramah.
"Ngaco kamu," lontarnya.
Aku membuka kertas pembungkus roti apel, menyodorkannya langsung di bawah hidungnya."Lihat, niiih. Aku dapat apaaa."
Matanya membulat. "Ini—baunya enak."
Aku angkat tas kertas. "Ini kue kering buat camilan kita main nanti."
Gadis di depanku bergeming. "Kata siapa kita pergi main?"
"Kata aku barusan. Kamu gak mau kue kering?" Aku pura-pura mengintip isi tas kertas itu. "Wah, enak banget, nih. Ada cokelatnya."
Matanya bergeser ke tas kertas selama beberapa saat sebelum kembali menatapku. "Ya udah, masuk dulu. Aku sama Radit lagi cuci piring."
Aku ber-yes dalam diam. "Oke, aku tunggu."

Buku Harian Bumi [FF Forestesia]Where stories live. Discover now