Pergi-pergi (2)

12 5 0
                                    

Mima dan Lofi datang ke rumahku ketika matahari mulai menanjak tinggi. Perempuan itu memakai seragam sekolah Jepang yang mereka bilang 'seragam pelaut' berwarna putih-hijau hutan dan roknya berwarna hijau yang senada. Surainya dikepang dua rendah, diikat dengan karet berhias pita warna oranye. Imut sekali.

Lofi sendiri lebih rapi dan bersih dari biasanya—aku tau dari aroma sabun yang tercium ketika membuka pintu dan rambutnya setengah kering sehabis keramas. Meski ekspresi dan suara malasnya tetap tak berubah.

"Ohayou," salam Mima.Aku menunduk salam sejenak dengan kaku.

"Pagi juga, Mima." Aku paham bahasanya setelah meminum pil bahasa versi bahasa Bumi ketika misi meringkus Falcon.
"Mima ingin main ke Indonesia. Dia bilang ingin membeli ... apa?" Lofi menoleh ke siswi kelas akhir SMA itu.
"Merchendise penyanyi," girang Mima. "Berhubung penyanyi yang aku suka belum membuat website Merch-nya, jadi aku harus membeli lewat pihak ketiga, toko tempat membeli Merch Idol-idol."
Aku mendorong pintu untuk terbuka lebih lebar. "Kamu suka penyanyi Indonesia? Siapa?"
"Nadin! Kamu juga suka dengar lagu dia?"
"Aku ... gak begitu mengikuti musik, jadi ...."
Wajah senangnya agak luntur. Duh, kok aku jadi merasa tidak enakan, ya? Padahal itu jawaban yang jujur.
"Tapi, aku mau nemenin kamu pergi."
Wajahnya kembali cerah. "Aaa, syukurlah! Aku gugup kalau berbicara pakai bahasa yang belum aku kuasai. Hihi, aku sudah mencatat kalimat-kalimatnya sebagai persiapan, tapi aku malu!" Dia mengeluarkan notes kecil dari saku rok, lalu membaca isinya. "Selamat pagi. Saya datang ke sini ingin membeli barang Merch dari—"
Kaku banget!
Aku menoleh ke Lofi.
"Terus, kamu ikut juga? Mima bisa ke sana tanpa alat teleportasi, loh."
"Aku juga tau! Aku hanya ingin lepas dari pekerjaanku dulu. Kalian ada istilahnya, kan? 'Cari angin' gitu," balas Lofi, tersenyum bangga setelah mengatakannya.
Orang ini semakin hari semakin melokal saja. Kemarin sore, di kedai Kak Min, dia bilang 'Giiila, capek banget gue' dalam bahasa Indonesia dan pelafalan yang tepat. Aku sampai merinding tak percaya.
Tanpa basa-basi lagi, kami bertiga pergi ke Jakarta Barat, ke toko yang Mima maksud. Toko itu berada di dalam Mall besar, alhasil kami sempat tersesat selagi mencarinya.
Mima mendadak berhenti dengan wajah menoleh ke kiri. "Itu—" hebohnya.
Aku ikut menoleh, melihat gerai olahan cokelat yang memasang tanda 'Manis, Murah, Mantap' di bawah nama tokonya.
"Itu toko cokelat yang sedang diskon besar-besaran!" Mima langsung masuk ke sana.
Aku dan Lofi mau tak mau ikut masuk. Toko itu memajang banyak olahan cokelat seperti cokelat batang campuran kacang atau potongan buah kering, permen cokelat, cokelat wafer, bolu cokelat, cupcake cokelat, pokoknya semua makanan yang melihatnya saja membuatku sakit gigi.
Mima berkeliling bak anak kecil di toko mainan. Wajahnya semringah, tangannya cekatan mencicipi sampel yang diberikan.
"Mima," tekanku sambil berbisik. "Bukannya kamu ke sini ingin membeli Merch?"
"Tenang, tenang, uang untuk manisan sudah kusiapkan. Aku lihat di Instagram kalau toko ini sedang diskon sejak dua hari lalu, dan aku sempat berniat ke sini kalau sempat. Siapa sangka kalau tokonya satu Mall dengan toko Merch! Tuhaaan, terima kasih!"
Aku membungkam mulutnya. "Berisik!"

Buku Harian Bumi [FF Forestesia]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant