Masa depan yang lain

15 8 0
                                    


Padahal waktu tidur adalah waktu yang aku lebih minati, tapi belakangan ini aku mulai mengalami kesulitan tidur.

Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan ialah mimpi buruk.

Hei, jangan menyepelekan kesulitan ini. Aku sendiri juga menganggap alasan itu sangat kekanak-kanakan. Aku sudah 16 tahun! Namun, dari kesulitan ini aku tau bahwa mimpi buruk tetap akan jadi dilema banyak orang terlepas dari usia mereka.

Mimpi yang kulihat sebenarnya mimpiku, tapi lebih ke memori asing milik Niida. Ingatan pendahuluku yang sering tiba-tiba datang tanpa tau waktu dan keadaan.

Dan sudah dua hari belakangan ini aku melihat memorinya yang kelam. Sangat kelam.

Dua hari lalu, kulihat Niida berusaha menyalurkan energinya ke tubuh pria tidak bernyawa dengan luka tusukan panah di kepala dan dada. Agaknya dia meregang nyawa di tengah rasa sakit karena matanya membelalak, menunjukkan kekecewaan bercampur marah. Niida memanggilnya 'Bapak' sambil menangis di atas tubuhnya.

Kemarin tidak lebih baik dari itu. Niida menangis sampai sesak ketika melihat Karma yang lehernya tergorok sampai nyaris putus dan pria itu sekarat di tanah merah. Seseorang kemudian menyalurkan kemampuannya dengan mengarahkan telapak tangan ke atas luka Karma, terlihat dari sinar lembut warna hijau pastel yang menyala di ujung luka Karma.

Aku melihat daging dan kulit pria itu kembali terjalin dengan segera selagi Karma menahan jeritan sakit yang hebat sambil meremas lengan Niida. Itu pemandangan yang sangat mengerikan.

Kuhempas napas frustrasi. "Nanti aku bakal lihat apa lagi?" gumamku.

Aku duduk memeluk kaki di pojok kasur, bersandar di tembok kayu. Meski sudah bertekad untuk tberlidak tidur, aku paling tau kalau aku tidak bisa melakukannya.

Alhasil, aku terlelap dalam posisi duduk, menyandarkan kepala ke sudut tembok. Mungkin perubahan posisi akan mempengaruhi apa yang nanti akan kulihat juga.

Mimpi itu kali ini tidak berlatar rumah-rumah sederhana yang dibuat di abad ke sepuluh. Tidak ada masyarakat berpakaian sederhana khas ras Daun. Yang terpenting, tidak ada pertikaian yang terjadi.

Aku mendapati diri duduk di atas tanah, melebarkan telapak tangan ke permukaannya yang tak begitu subur dan berbatu. Angin di sekitar cukup kencang untuk menerbangkan suraiku, tapi tak begitu kencang sampai aku tak sanggup membuka mata.

Hal pertama yang kusadari adalah aku berada di area kaki gunung. Kedua, mataku sudah basah dan aku terisak-isak. Ketiga, ada seseorang berdiri di depanku.

Dia laki-laki bersurai hitam tebal, dengan gaya rambut yang sulit kujelaskan, tapi agak terkesan berandalan karena potongannya membentuk tiga garis di sisi kanan.

Rautnya lelah, pasrah dan kecewa. Kantung matanya cukup kentara, caranya berdiri dan menatap semakin memperjelas bahwa dia sangat putus asa.

"Kalau aku putar ulang waktu untukmu, apa yang kamu mau ubah?"

Eh, bahasa Indonesianya fasih, padahal aksen wajahnya lebih mengarah ke China atau Jepang.

"Athyana," panggilnya. "Kamu masih punya kesempatan."

Jantungku rasanya berhenti berdetak.

Dia ... barusan menyebut namaku?

I-ini bukan memori Niida?

Visiku pergi ke tempat lain, menunjukkan situasi di banyak tempat dengan durasi pergantian yang cukup cepat. Aku melihat orang-orang dan rumah-rumah zaman terkini di Bumi. Mereka hancur lebur. Gunung-gunung di wilayah mereka menyemburkan magma, batu yang meledak dari puncaknya menimpa atap bangunan, jalanan dan manusia yang tidak sempat menghindar.

Anak mereka tidak selamat, kendaraan mereka tak berfungsi, permukaan yang bergetar semakin membuat mereka sulit menyelamatkan diri atau seseorang. Semua orang panik dalam kehancuran total di permukaan Bumi.

Aku menelan tangis, mengatur napas sejenak. "Aku ingin pulang ... ke orang tua kandungku."

Aku tak punya kuasa atas pergerakan dan perasaanku sekarang, sama seperti setiap aku melihat memori Asing. Namun, aku tidak pernah mengalami ini! Aku bahkan tidak kenal orang itu!

Apa ini?

Aku kembali melihat ke hadapanku sekarang. Laki-laki yang cukup lebih tua dariku itu—tapi tidak setua Karma—melipat satu kakinya dan berkata lebih serius.

"Kamu yakin kamu tidak akan mengulang rentetan histori yang sama seperti sekarang?"

Aku merasa tidak yakin. "Kalau saja—" Aku tersedak tangisan. "Kalau saja aku tidak berpihak pada Karma. Kalau saja aku lebih mempercayai Kak Amma dari pada Yuan ... aku tidak akan mengulangnya."

Laki-laki itu kembali berdiri sambil berkata. "Baiklah. Aku mengerti."

Dia mengeluarkan jam pasir dari balik saku jaket hitam longgarnya yang koyak di beberapa bagian. Jemari dan telapak tangannya menggenggam bagian atas jam pasir entah karena apa.

Kusadari ada sinar terang kejinggaan di dalam penampung pasir bagian atas dan sinar krem lembut bersinar di penampung pasir bagian bawah.

"Kalau begitu, kamu harus mengalami semua ini lagi dari awal, sebelum 3 Mei 2019."

Tanggal itu ... hari di mana Kak Amma datang meringkus Karma dan mereka bertarung dengan cyborg di Mauna Loa.

Dia membalik jam pasir. Pasir yang kini ada di atas mulai jatuh ke bawah, tapi dua sinar tadi tidak bertukar tempat. Perlahan, penglihatanku mulai buram.

Sebelum gelap, kudengar dia berkata. "Jangan kecewakan aku, Athyana. Jangan buat aku melihat dia mati lagi."

Buku Harian Bumi [FF Forestesia]Where stories live. Discover now