Ras Terkuat di Bumi

3 0 0
                                    


LOFI

Athyana dan Radit pulang lebih dulu ke Nascombe. Alhasil, rumah ini terasa lebih leluasa untuk ditempati.

Waktu sudah sore, aku, Amara dan Kai baru saja pulang ke Indonesia diantar Mima, si teleporter.

Amara mengempas napas lelah sambil duduk melipat kaki di karpet, di antara gunung-gunung mesin, perlengkapan, dan perangkat yang kita gunakan selama melakukan pekerjaan di sini.

Rumah bekas Saga tinggali ini lumayan sempit. Yang benar saja, dia tinggal di sini selama 16 tahun sebagai peri ras Daun? Sudah begitu, dia menyembunyikan kemampuannya, ya kan?

Kai ikut duduk tak jauh dari Amara. Aku menyalakan komputer lipat buatan manusia di sini sebelum duduk di depan mereka.

Pintu rumah ini diketuk oleh seseorang. Kai langsung bangkit lagi. "Apakah Mima atau Athyana tertinggal sesuatu di sini?"

Amara bertanya, "Bagaimana? Sistem mesin sana sudah merespons ke sistem di laptop itu belum?"

"Sebentar, ini lagi di periksa," balasku, sengaja terkesan gusar.

Bagaimana tidak? Ini sudah kelima kalinya kami berkutat dengan masalah yang sama dan belum maju ke progres selanjutnya.

Sistem teleportasi yang Falcon buat tidak hanya rumit dari bagannya, tapi juga sistem yang mengatur di dalamnya.

Sepintar-pintarnya aku, aku belum pernah mengotak-atik sistem utama teleportasi Iredale—baru pernah mengotak-atik perangkat cabangnya saja—, apalagi sistem teleportasi planet lain.

Kalau gaji dan jaminannya tidak menggiurkan, aku tidak bakal mau mengurusi ini!

"Seingat saya, Mbak Gita gak punya saudara sama keponakan, makanya saya penasaran, siapa ya yang lagi tempatin rumahnya sekarang? Gitu," tutur suara ibu-ibu yang logatnya baru kali ini kudengar.

Aku melirik ke arah pintu, mendapati Amara dan Kai kini sedang berusaha meyakinkan seorang Ibu-ibu yang datang.

"Ooh, iya. Kami cucu dari anak Nenek Mel yang tinggal jauh, Bu. Emang baru kali ini ke sini, dikasih izin tinggal sebentar, ada urusan kerja," ucap Amara, caranya berbicara pada Ibu itu tampak merendah dan sopan seperti masyarakat biasa.

Si ibu yang entah siapa mengangguk-angguk sambil ber-Oh, kemudian melirikku, "Dia juga cucu Mbah Mel?"

Mbah? Apa itu?

"Ah, bukan. Dia teman kerja kami. Ikun bantu di sini. Kami ganggu, ya, Bu?"

"Enggaaa," sahut si Ibu dengan nada melengking, kemudian tertawa sambil memukul lengan Kai. "Habis, kalian gak keliatan kaya orang sini, apalagi si Mas nih. Ternyata perantau dari jauh, toh!"

Karena tidak ada urusannya denganku, jadi aku kembali fokus ke komputer lipat.

"Nanti datang hayuk ke rumah Ibu, tuh di depan gang, yang sebelah kiri, pagar putih. Ibu lagi ada selamatan siang tadi, makanannya masih banyak yang sisa," ajak si Ibu.

"Eh?" Amara mengusap tengkuknya sambil menoleh padaku.

Apa? Kok dia malah mencoba menyeretku ke obrolan mereka? Tidak lihat aku sedang kesal dengan urusan kita?

"L-lofi mau, gak?" kakunya.

"Mau apa?" kataku setengah malas.

"Makan gratis."

Mataku melebar.

"Yeee, giliran makanan, terang banget matanya si abang," ungkap Ibu itu. "Ayok, banyak kue juga. Biar saya siapin, neng-neng sama mas-mas nanti tinggal dateng ngambil nampannya. Oke?"

Aku mengacungkan jempol. Kata Athyana, ini gestur universal untuk menunjukkan kalau aku setuju atau mau atas ucapan atau ajakan orang lain.

Si ibu tertawa sambil ikut mengacungkan jempol. "Dateng, yo. Ibu tunggu."

Seperginya ibu itu, Amara menghempas napas sangat lega. Malah terkesan berlebihan buatku.

"Kamu kenal dia, Amara?" tanyaku.

"Enggak. Tapi, kita nyaris aja dapat masalah sama dia. Aku lupa buat nyiapin alasan seperti ini sebelum pergi," ungkapnya.

"Segawat itukah jika kita tidak berbohong padanya tadi, Putri Amara?" tanya Kai. "Saya tidak yakin orang itu percaya pada alasan mendadak yang dirimu buat tadi ...."

Amara menggeleng pelan. "Tentunya! Kalian gak tau aja, Ibu-ibu tuh, ras terkuat di bumi sini. Sedikit aja kita memunculkan kecurigaan, kita bakal jadi bahan pembicaraan orang-orang sampai radius lima kilometer!"

Aku mendengus sarkas. "Apa salahnya jadi bahan pembicaraan. Bukan hal yang berbahaya. Dan tidak akan jadi penghalang kerja kita, bukan?"

Besok paginya, saat aku pergi membeli nasi uduk di ujung jalan besar, Ibu-ibu yang tidak pernah kutemui mendadak menyapaku.

"Nak, Lofi, ya?"

Siapa dia?

"I-iya ...."

"Kenal, Bu?" tanya si penjual nasi uduk.

"Temen kerja cucunya Mbah Mel, lagi tinggal di rumah Mbak Gita!" hebohnya. "Saya dengar dari Bu Sinta sore kemarin."

"Oooh, Mbah Mel sama Mbak Gita?" si ibu-ibu nasi uduk malah berucap lebih heboh lagi. "Kamu kenapa ga bilang dari kemarin? Diem-diem aja, saya pikir saudara siapaaa. Sini, Bang, mau nasi uduk pakai apa? Ga usah bayar. Saya traktir. Oke?"

Aku tidak mengerti kenapa aku harus memegang identitas palsu itu dan memberitahunya, tapi aku tau kalau dia bermaksud memberiku makanan gratis, jadi aku mengacungkan jempol.

Yang penting gratis, bukan?

Buku Harian Bumi [FF Forestesia]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt