Sisa-sisa Karma

10 3 0
                                    


Aku terbangun di medan perang.

Tidak. Aku tidak membual. Tidak juga berkhayal.

Beberapa waktu lalu, seseorang memukul tubuhku keras-keras. Dia seorang pria, wajahnya terdapat noda-noda lumpur. Dia berkata sesuatu dengan bahasa yang tak kupahami—entah bahasa Eropa atau timur tengah, yang jelas bukan bahasa Bumi kedua.

Agaknya, aku sedang melihat memori asing lagi karena tubuhku segera bangkit, meraih senapan, dan langsung berlari keluar tanpa aku kontrol. Suara chaos terdengar dimana-mana, orang-orang di sekitar yang berpakaian tentara berlalu lalang, berkata lantang, sementara senjata dan ledakan sibuk beroperasi di luar. Ya tuhan, memori apa lagi ini ... aku tidak mau melihat yang aneh-aneh lagi!

Langkahku terhenti sejenak melihat seorang prajurit menegak sesuatu dari botol besi dan limbung dalam sekejap. Tubuhnya kejang-kejang hebat. Rasa ragu mengikat hati, 'apa aku harus keluar dari tempat aman ini?' batin siapa pun pemilik memori ini. Aku ikut merasakan keraguannya. Jujur saja, meracuni diri agaknya lebih menarik dibanding apa pun yang akan orang ini temui di luar tenda.

Berbeda denganku yang bermental lemah, pria yang kuintip memorinya bermental baja. Dia menggeret diri meski tubuh dan hatinya berteriak 'kau akan mati jika keluar dari sini'!

Langkah mantapnya melangkah pergi. Langit di luar tenda sangat kelabu dan mendung, senada dengan apa yang terjadi di bawahnya saat ini. Di tanah berlumpur, banyak prajurit-prajurit gugur, tubuhnya terpecah belah, menyatu dengan daratan dan menjadi injakan prajurit lain yang masih hidup.

Ya Tuhan. Aku berusaha memejamkan mata, tapi tentu tidak bisa. Mengapa pemandangan seperti ini lagi?

'Untuk apa semua pengorbanan ini?' tanya si pria ini.

Pria ini melangkah gontai, mendekati salah satu mayat yang agaknya nyaris tak dibedakan karena menyatu dengan lumpur. Mayat ini kehilangan lengan kanan dan kaki kanannya bengkok ke dalam secara tak wajar—

Bukan mayat. Orang ini masih memompa paru-paru dengan sisa-sisa kesadarannya. Tanganku mengusap wajahnya, dan aku membeku sekujur tubuh.

K-karma—

Aku terkesiap, terbangun kedua kalinya. Saat mendapati tembok dan pagar rumah Saga, aku merasa lega bukan main.

Aku menutup mulut, mulai merasa mual. Itu ... Karma. Kenapa dia ada di medan perang Bumi? Aku tak yakin itu perang apa, tapi dari kemajuan senjata-senjata yang dipakai dan lambang bendera yang dibordir di seragam tentara tadi, aku cukup yakin itu perang dunia kedua.

Apa mungkin, Karma pernah terlibat di perang itu?

Radit menggeser pagar selagi melangkah masuk.

"Loh, kamu tadi pergi?" tanyaku.

"Iya, habis ngejar anak-anak."

Aku mengerjap. "Anak-anak?"

"Enggak. Bukan apa-apa." Radit menghempas napas, berdiri di sebelahku. "Gimana tadi? Dapat sesuatu?"

Aku mengusap keringat yang mengalir dingin di kening. "Hanya potongan puzzle. Entah maksudnya apa."

Namun, kenapa sekarang aku mendapat memori tentang pria itu? Dia sudah tiada. 

Buku Harian Bumi [FF Forestesia]Where stories live. Discover now