Uta dan Maza

10 5 0
                                    


Kak Amma dan aku sedang berbincang sebelum tidur. Kami berdua sudah berbaring, menyelimuti diri, tinggal menunggu kantuk datang untuk mengantar kami pergi ke alam mimpi.

"Oh iya. Aku dengar dari Ayahanda kalau Uta dan Maza bakal ke sini lagi pas Iredale buka kamp pelatihan," ujarnya.

Aku menoleh. "Kenapa? Mereka Prakerin lagi?"

"Enggak. Katanya mau ikut ambil nilai buat 'level kemampuan'." Mata Kak Amma melebar. "Uta mau masuk organisasi keamanan di planetnya. Dan menurutnya mendapat nilai di sini bisa membantu."

"Niat banget ...." A-alien itu benar-benar ambisius sekali pada nilai, ya.

Aku menaruh kedua lengan yang terlipat di belakang kepala, mengingat-ingat Uta dan Maza, manusia asing dari planet jauh. Yang satu manusia tapi emosinya tidak wajar—dalam artian tidak tertata, bukan emosional. Yang satu lagi robot manusia yang lebih mirip dengan manusia dari pada teman manusianya.

Beberapa minggu aku habiskan waktu dengan mereka dan walaupun terlalu banyak hal dan konflik yang bersitegang, aku sudah menganggap mereka teman. Terutama Uta.

Berkat dia, aku bisa melalui badai emosi yang waktu itu menerjang hubunganku dengan keluarga baruku. Uta yang bisa dibilang manusia buatan, kurang paham emosi, dan tidak memiliki keluarga, telah membantuku untuk berdamai dan ikhlas pada segala hal yang terjadi. Sungguh sesuatu sekali yang namanya takdir.

"Aku agak risau," ungkap Kakak. "Dia, kan, tidak sekuat itu untuk benar-benar bertahan di arena. Aku takut dia memaksakan diri mengejar nilai tinggi."

"Uta memang begitu orangnya, kan? Entah dibilang 'Ambisius' atau 'impulsif', pokoknya dia bakal mengejar apa yang mau dia kejar dengan tenaga 120%," timpalku. "Tuhan tidak membebani seseorang selain sesuai dengan kesanggupannya. Itu juga berlaku pada Uta."

Kak Amma mendadak bilang setelah jeda beberapa saat. "Kok kamu jadi bijak begini?"

Aku mengerut alis. "Mana ada. Itu aku dengar dari orang-orang."

"Bukan. Kamu jadi lebih dewasa sekarang."

Kuberi tatapan horor. "Aku keliatan tua?"

Dia mendecak. "Kamu lebih bisa diandalkan. Pokoknya, dibanding dirimu yang masih di Bumi, kamu yang sekarang bisa menolong diri sendiri dan orang lain."

"Ngaco. Menolong orang lain apanya. Aku bukan pahlawan dan gak bakal mau jadi itu sampai kapan pun."

"Iya, deh. Iya." Kakak menaikkan selimutnya, lalu membelakangiku. "Cepat-cepat tidur. Besok, kami perlu bantuan kamu."

Ya. Besok, di hari terakhir aku berada di sini, aku dipinta membantu memindahkan kerangka utama alat teleportasi buatan GNA ke Iredale dengan menyumbangkan energi lebih ke Mima, si gadis berkemampuan 'Ruang'. Agaknya, karena ukuran alat itu lebih besar dan berat, Mima tak bisa memindahkannya, meski hanya dia dan alat itu yang pergi.

Aku menghempas napas, memiringkan tubuh, dan mulai memejamkan mata.

Hari terakhir di Bumi, kuhabiskan dengan kegiatan apa, ya?

Buku Harian Bumi [FF Forestesia]Where stories live. Discover now