Halo, penghuni langit

11 2 0
                                    


Lofi



Ayah, Ibu, Fora. Bagaimana kabar kalian sekarang?

Bodoh juga aku mempertanyakannya. Kalian sudah mati.

Entah ini terdengar bagus atau tidak buat kalian, tapi kabarku baik.

Saat ini, aku sedang melihat langit Indonesia, berdiri bersandar di tembok jembatan jalan, di dekat jalan raya yang sangat padat.

Negara ini negara yang Athyana bilang 'memeluk segala perbedaan'. Aku tidak mempercayainya di awal. Namun, setelah sempat riset sedikit, mendapati negara ini memiliki lebih dari seratus bahasa, lebih dari seratus suku, dan masih menerima kedatangan ras lain yang ingin tinggal di sini, aku tidak bisa berkutik. Negara ini seribu kali lebih penyayang dibanding ras mana pun yang ada di Bumi-ku.

Oh iya, ini kali keduaku ke sini dalam urusan yang berbeda.

Sebelumnya, aku dipekerjakan Iredale sebagai personil tambahan dalam pengejaran seorang buronan.

Sekarang, aku dipekerjakan Iredale sebagai teknisi mereka.

Lihat, Bu? Aku bilang juga apa. Aku tidak perlu jadi Guru untuk melanjutkan hidup. Aku bisa makan dua kali dalam sehari sekarang, bahkan aku punya 'Kos-kosan'—kata Athyana, itu sebutan untuk tempat yang menyewakan tempat tinggal.

Suara gitar mendadak terdengar dari kejauhan. Seseorang duduk di pintu kendaraan Bumi yang disebut 'Mobil Angkot', memeluk alat musik 'Ukulele', dan bernyanyi.

"Anak rantaaau, jauh dari rumaaah. Jauuh, dari sayang, jauh dari kawan-kawan," lantunnya.

Ini perasaanku saja atau dia sedang menjabarkan situasiku?

Tapi, aku tidak jauh dari kawan-kawan.

Malah, kawanku ada di sini.

Aku bisa membayangkan ekspresi kalian. 'Lofi punya teman selain Rav dan Jepara?!', pasti itu yang kalian katakan.

Aku itu bukannya tidak mau berteman, hanya terlalu sibuk dengan hobi dan mengejar mimpi saja. Kalian sendiri yang anggap aku 'Keong'—istilah di Nascombe untuk orang yang lebih suka mendekam di rumah. Aslinya, aku berteman dengan siapa saja. Terutama pelanggan.

"Lofiii!"

Aku menoleh, mendapati Amara dan Athyana melangkah cepat ke arahku. "Kita mau beli makan, nih. Ikut, gak?" tawar Anna.

"Ikut lah. Kalian beli makanan apa?"

Senyum mereka merekah serentak. "Nasi padang!"

"Jauh sekali," timpalku seketika. Padang itu ada di pulau yang berbeda. Mereka serius hendak mencari makan sejauh itu?

"Kamu serius ngomong gitu, Fi?" ungkap Anna. "Itu cuma panggilan doang. Kita gak beli nasinya di padang."

"Tapi namanya Nasi Padang, kan?" heranku.

"Tahu sumedang belinya gak di sumedang, kok. Tuh, tukangnya di seberang jalan."

"Aneh," kataku. "Seharusnya nama tempat mewakilkan tempatnya dan seseorang harus ke tempat itu untuk mencari barangnya."

Kami pun bersiteru tentang nama makanan yang disatukan dengan nama tempat, nama bahan dan nama cara mengolah. Tempat ini ternyata memiliki cukup banyak kesamaan dengan tempatku. Fakta ini sedikit membuatku merinding.

Ibu, Ayah, Fora. Sudah dulu, ya.

Maaf, aku tidak mengobrol sendiri seperti ini lagi setelah kedatangan teman baru.

Teman baruku terlalu seru untuk tidak dihiraukan, meski aku tidak menunjukkannya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 29 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Buku Harian Bumi [FF Forestesia]Where stories live. Discover now