Suka-suka Peri

13 5 0
                                    

Saga

Sudah terhitung tiga hari Anna berada di Bumi. Hari ini pun aku menatap rumah pohonnya dari rumah lain di seberang, berharap dia sudah ada di sana, sedang membuka pintu untuk menyapu debu ke luar rumah seperti kebiasaannya. Namun, tentu saja dia tidak muncul-muncul.

Aku menggaruk kepala tidak sabaran. Ada rasa sesal tidak ikut pergi bersama mereka dengan paksa. Waktu itu, aku pikir tidak baik untuk ikut pergi dan mengganggu mereka yang punya urusan penting di sana.

Sampai kapan dia di sana? Mbak Amma dan Lofi jelas punya urusan penting, tapi Anna dan Radit tidak. Aku tebak mereka tidak lama, tapi aku tidak punya jawaban pasti agar tenang.

Ck, kalau Lofi tidak ikut, aku sudah minta alat teleportasinya untuk pergi ke sana. Siapa lagi, ya, yang punya alat itu di sini?

'Kamu benar-benar ....' pasrah Sady, suaranya terdengar agak menggaung di kedua telingaku seolah dia bicara di ruangan besar kosong sendirian.

"Apa? Aku tidak berbuat salah, jadi jangan protes," kataku, bangkit dari duduk, turun dari atap rumah entah siapa dan memanjangkan kayu rambat untuk pegangan selagi aku melompat langsung ke tanah dari tingkat dua.

Baru saja aku menapakkan kedua kaki dengan selamat, tiga orang langsung menghampiri. Dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Salah satu laki-laki berkata, "Saga, kami hendak bersenang-senang di telaga teratai. Mau ikut?"

Telaga teratai ... Aaa, danau di tengah hutan belakang kastel itu? Aku jadi ingat kalau aku belum mengajak Anna ke sana. Dia pasti suka pemandangan teratai yang mekar di malam hari.

"Tidak dulu, deh. Aku ada perlu ke kastel," tolakku, tanpa menunjukkan diri yang sedang bad mood.

"Hendak mengatur hari 'Mekar Bunga?" tanya teman yang perempuan—aku belum mengenalnya.

"Mekar Bunga?" ulangku.

"Kita belum benar-benar menyambut Peri sesuai adat leluhur, bukan?" timpal teman laki-laki yang lain. "Ditambah hari itu juga hari pesta remaja."

Sady mendadak berlontar, 'Haduh, sejak kapan kalian menyambut Peri? Bukankah kalian menyelenggarakan perayaan seperti itu hanya karena percaya pada mitos orang-orang dulu?'

Aku membalasnya dalam hati. Agaknya mulai dari empat generasi di belakang Nenek Yul, kelahiran atau kemunculan Peri mulai dirayakan setelah adanya panceklik panjang di generasi itu. Padahal, peri tidak bisa mengatur musim dan cuaca.

'Ingatkan Nenek Mel untuk segera membuka sekolah,' tekannya.

"Oh, itu? Mungkin saja. Nenek Mel belum memberitahu apa pun padaku sejak sepulang dari Bumi kemarin," jawabku pada mereka, kemudian mengangkat tangan tak begitu tinggi dan memberikan lambaian singkat. "Sampai nanti."

Aku sampai di kastel, langsung diizinkan menemui tanpa menunggu Nenek Mel luang atau semacamnya. Nenek sedang rapat dengan dua menteri. Dan saat melihatku, mereka berdua menyelesaikan perbincangan dan mempersilahkanku ke sana.

"Aku tidak bermaksud mengganggu padahal," ungkapku sambil bergeser tak jauh ke hadapan Nenek.

Meski sekarang sudah menduduki tahta di Nascombe, Nenek tetap berpakaian biasa dengan jubah cokelat menutupi badan sampai mata kaki. Ada tusuk konde dari tembaga dan kristal, berhias daun Maple merah sebagai pengganti mahkota Adiraja/Adiratu yang cukup berlebihan kalau dipakai setiap hari.

Senyum di wajah kerutnya masih hangat seperti sebelum-sebelumnya. "Kamu ini. Pura-pura sopan, meski tau kalau kamu akan lebih diperhatikan dan diutamakan."

Duh, sisi to-the-pointnya juga sama saja.

Aku menyilangkan tangan di belakang tubuh. "Wahai Adiratu, Saya ingin meminta pertolongan," santunku. "Permintaan ini sangat mendesak."

"Coba katakan."

"Saya butuh alat teleportasi Iredale. Ada keperluan yang hendak aku selesaikan di Bumi," ungkapku.

"Keperluan apa lebih tepatnya?"

Aku datang ke sini atas dasar tebakan, ternyata Nenek memang memegang alat teleportasi. Aku sudah menyiapkan banyak alasan yang sekiranya tepat. "Hutang. Saya ingin melunasi hutang pada teman kelas. Tenang saja, Saya tidak akan menunjukkan diri. Saya cukup pintar bersembunyi."

Nenek Mel tentu tidak langsung mengiyakan. Dia tau betul aku orangnya seperti apa.

"Lalu, alasan sebenarnya apa?"

Tuh, kan.

Aku berhenti bersikap terlalu santun seolah kami orang lain. "Aku ada urusan penting di Bumi. Itu sungguhan. Mumpung aku luang, aku ingin menyelesaikannya sebelum semakin kepikiran."

Nenek mengacungkan telunjuknya padaku sejenak. "Selesaikan urusanmu selama tiga jam—"

"Dua puluh empat," selaku secara impulsif.

"Tidak. Membayar hutang seharusnya tidak selama itu. Empat jam," bantahnya.

Aku bersikukuh. "Delapan belas jam."

"Lima jam."

"Enam," kataku agak lantang. "Enam aja, deh. Yaaa?"

Nenek menghempas napas, menoleh ke kanannya. "Jepara?"

Seorang pelayan kastel mendekat. Perempuan itu membelalak padaku dan segera memberi hormat pada kali berdua.

"Tolong ambilkan alat teleportasi."

"Baik."

Yes! Lantangku dalam hati.

Singkat cerita, aku mendapatkan alat itu dan segera pergi ke rumahku yang ada di Bumi. Tempat Anna dan yang lain tinggal sementara. Aku terdiam sejenak melihat halaman kecil yang tidak terawat dan merapikannya seketika dengan menumbuhkan bunga-bunga kecil dan semak, membentuk pagar di sepanjang tepi halaman. Nah, begini lebih enak dilihat.

Kubuka pintu tanpa mengetuk. "Annaaa!" panggilku.

Aku mendapatinya duduk di sendirian di pojok ruangan, memeluk kaki sambil menaruh dagu di antara kedua lutut, berhadapan dengan tablet dan melotot padaku.

"Kamu sendirian?" Aku melihat sendal di teras sempit sebelum pintu. Sendalnya ada empat pasang.

"Kak Amma sama Lofi butuh kemampuan Radit di sana," balas Anna, tak bangun dari duduknya dan kembali menatap ke layar. "Kamu ngapain ke sini?"

"Hmmm. Iseng aja."

Aku duduk di sebelahnya, mulai mengajaknya berbincang meski dia jelas cukup terganggu dengan kedatanganku pada awalnya. Lalu kami diam menonton film dokumenter yang tidak kuperdulikan. Karena yang penting buatku saat ini adalah menghabiskan waktu bersamanya.

Buku Harian Bumi [FF Forestesia]Where stories live. Discover now