Chapter 12

18 2 0
                                    


“Hai Mama, Papa,”

Ucap cowok itu lalu berjongkok di samping kedua makam yang berdampingan tersebut. Mengangkat kedua tangannya untuk berdoa, kemudian menaburkan bunga di kedua makam tersebut.

“Ma, Pa, Leon kangen. Kira-kira Leon kapan nyusul, ya?”

Leon mengarahkan pandangannya ke atas. Ia sebisa mungkin menahan air matanya agar tidak jatuh di depan makam kedua orang tuanya.

They're back, Ma, Pa. But why?

Cowok itu menghapus air mata yang telanjur menetes di pipinya. Ia tak bisa lagi menahan tangisnya.

“Yang Leon takutin sekarang, mereka bakal ngambil temen-temen Leon, Ma, Pa. Leon takut kehilangan temen-temen. Orang-orang yang jadi tempat Leon pulang, mereka rumah bagi Leon. Leon gak mau kehilangan mereka setelah Leon kehilangan kalian. Leon takut jadi malapetaka buat mereka. Kira-kira Leon bisa ngelindungin mereka gak ya, Ma? Pa?”

Leon selalu ingin terlihat kuat di depan orang-orang, namun aslinya ia tidak sekuat itu.

Sudah banyak rasa pahit yang ia rasakan di hidupnya. Orang tuanya, Kakek-Neneknya, Paman, serta Kakak sepupunya juga pergi meninggalkannya.

“Semoga dari atas sana kalian bisa denger Leon, dan semua keluh kesah Leon. Doain juga biar Leon bisa lindungin temen-temen. Leon pulang dulu ya? Waktu Leon gak begitu banyak. Dadahh, Mama, Papa! Leon sayang kalian,”

“Leon?”

Leon terdiam sebentar mendengar panggilan itu, Leon mengenali suaranya.

“Leon, sayang?”

Leon sontak menoleh. Ia mengenali suara seseorang yang memanggilnya.

“Liana?” Ucap cowok itu ketika melihat Liana—pacarnya yang juga merupakan wakil ketua OSIS di Raven.

“Iya, ini aku.” Liana mulai mendekat ke tempat Leon berdiri, persis di depan makam kedua orang tua Leon. Leon menghapus air matanya, berharap Liana tidak melihat itu.

“Ziarah, ya?”

Leon mengangguk.

“Kalau kamu?”

“Aku ke sini buat ngikutin kamu, maaf ya.” Ucapnya. Mereka berdua memang baru pulang setelah rapat OSIS di sekolah, lebih sore dari biasanya.

“Ohh, gak pa-pa. Gak usah minta maaf,”
Mereka berdua mulai berjalan untuk keluar dari area pemakaman.

“Aku juga denger tadi kamu ngomong apa aja di makam Mama Papa kamu,”

“Oh ya? Terus? Kamu liat dong aku nangis?”

Liana mengangguk. Leon menunduk sambil tersenyum kecil, walaupun itu bukan senyum bahagia.

“Aku lemah banget, ya? Kayak gitu aja nangis,”

Liana mengerutkan keningnya saat Leon mengatakan itu.

Baginya, Leon adalah orang yang sangat kuat. Banyak kejadian tidak menyenangkan di hidupnya, bahkan menyakitkan. Dan Leon bisa melewati itu semua, tanpa dendam kepada siapa pun.

“Maksud kamu ngomong gitu apa? Justru kamu kuat banget,”

“Aku gak sekuat itu, Na. Aku lemah, tadi aja aku nangis. Kamu liat kan?”

“Leon, nangis bukan berarti lemah. Nangis itu cara mengekspresikan emosi, kesedihan. Semua orang pasti pernah nangis, kan?”

Leon mulai berani menatap mata Liana saat ia berkata seperti itu.

“Kamu jangan pernah ngomong gitu lagi ya?  Kamu itu kuat. Kuat banget.”

Leon menghela nafasnya, “Thank you ya, Na.”

Middle School NightmareWhere stories live. Discover now