Part 14

12.6K 660 18
                                    


“Sudah malam, kamu nggak pulang, Saga?”

“Jam berapa?”

Sahima langsung mengecek ponsel. Tentu hendak melihat sekiranya pukul berapa saat ini, agar dapat memberi Sagara jawaban.

“Jam dua belas malam, lebih lima belas menit Waktu Indonesia Barat.”

Selepas dilontarkan kalimatnya, tawa sang sahabat pun pecah dengan kencang.

Namun, ia tak ikut tergelak karena merasa jika jawabannya tidak lucu dan patut untuk menjadi bahan tertawaan Sagara.

“Sudah malam sekali, ya? Aku kayak nggak berani pulang. Aku takut di jalanan ketemu preman. Kayaknya aku nginap di sini aja.”

“Kamu mau apa? Nginap? Di sini?” Sahima pun menarik kesimpulan atas celotehan cukup panjang dari kawannya itu.

“Sofa itu muat untuk aku tidur. Aku nggak akan rakus minta ikut tidur di ranjang pasien yang kamu gunakan, Hima.”

“Aku sadar diri badanku besar dan nggak akan muat. Bisa penyot ranjang pasiennya.”

Walau masih kebingungan dengan rencana Sagara, namun Sahima tertawa kali ini.

Entah bagaimana bisa cara sang sahabat seperti melawak, ditambah ekspresi wajah yang mendukung untuk berguyon.

Jadi, mana mungkin ia tidak terbahak.

Saat dirinya berhasil tertawa, Sagara justru menampakkan mimik sangat serius dalam tatapan yang semakin intens padanya.

“Kenapa, Saga?”

“Kenapa denganku? Bukankah aku harusnya bertanya kayak begitu ke kamu, Hima?”

“Banyak masalah yang kamu sembunyikan dariku, walau bukan kapasitas atau hakku untuk tahu semua beban yang kamu simpan.”

Sahima segera paham arah pembicaraan akan kemana. Ia masih menimang apakah meneruskan atau mengakhiri bahasan ini.

“Kamu menyembunyikan masalah-masalah yang bagaimana saja, Hima? Bisa salah satunya kamu ceritakan denganku?”

“Apa aku perlu menebak agar kamu mau buka suara? Aku pandai mengungkapkan masalah yang paling kamu sembunyikan.”

Diamnya Sahima, membuat Sagara harus menerapkan rem sebentar untuk mulutnya agar tidak terus berbicara. Walaupun masih ada beberapa hal belum dilontarkannya.

Jika terus mencerocos, pasti akan membuat Sahima semakin ragu terbuka padanya. Jadi harus ditahan diri, sekalipun sangat ingin tahu semua yang wanita itu rahasiakan darinya.

Selama sepuluh tahun dekat sebagai kawan baik, harusnya Sahima bisa memercayainya. Bukan malah menanggung masalah sendirian seolah wanita itu tidak punya siapa-siapa.

Kontras dengan dirinya yang selalu senang terbuka pada Sahima. Menceritakan apa saja, termasuk hal-hal sepele sampai berbagai prakara rumit untuk dirinya selesaikan.

Selama itu pula, Sahima akan selalu menjadi pendengar yang baik. Kadang kala berikan saran-saran penyelesaian ciamik.

“Hima?” Sagara memanggil karena ia ingin segera mendapatkan respons dari Sahima.

Lalu, diraih kedua tangan wanita itu untuk digenggam. Usaha terus meyakinkan agar mau membuka diri dengannya lebih banyak.

Kepeduliannya pada Sahima akan selalu besar karena hatinya sudah secara penuh terpikat oleh sosok wanita itu, walau dirinya hanya dianggap sebatas kawan baik.

“Aku hancur.”

Dua kata terlontar disertai derai air mata yang deras, seketika menyebabkan Sagara tegang.

Belum pernah dilihat Sahima serapuh ini. Jadi sudah pasti beban yang tengah ditanggung oleh wanita itu amatlah serius dan berat.

Kurang ajarnya, ia baru tahu sekarang karena tidak cukup peka akan semua permasalahan yang harus ditanggung Sahima.

“Aku hancur kehilangan anakku.”

“Aku sudah sayang banget sama dia. Aku ingin melihat dia lahir dan aku besarkan.”

“Tapi aku bodoh ….”

“Aku nggak bisa jaga anakku dengan benar. Dia harus meninggal karena aku bodoh.”

Tangisan Sahima lebih mengencang, hatinya kembali terguncang akan rasa kehilangan calon buah hati pertamanya.

Sekeras apa pun berusaha tabah dan juga mengikhlaskan, duka atas peristiwa pahit ini tak mampu dilupakan dengan segera.

Sepertinya akan terus tersimpan di sepanjang hidup sebagai luka batin yang membekas.

“Maaf, Hima.”

“Maaf, aku gagal memahami penderitaanmu sehingga kamu menyimpannya sendiri.”

“Aku tidak becus menjadi teman yang bisa kamu handalkan untuk berbagi masalah.”

“Maaf, aku mengecewakan kamu, Hima,” ujar Sagara sarat akan rasa menyesal. Jari-jarinya cekatan menghapus jejak air mata Sahima.

“Aku tidak ada saat kamu membutuhkan aku untuk menyelesaikan masalah yang kamu punya. Aku selalu pikir kamu baik-baik saja.”

Sahima menggeleng cepat dengan netranya masih berlinang air mata. Tak suka didengar Sagara menyalahkan diri sendiri.

Apalagi, menyangkut masalahnya.

Sang sahabat tidak punya keterkaitan apa pun dengan semua prakara di hidupnya.

“Maafkan aku, Hima.”

Sagara lantas memeluk. Tidak tahan untuk diam ketika melihat wanita paling dicintainya dalam kondisi yang amat rapuh.

Dengan sengaja pula mengeratkan dekapan pada Sahima guna membuat panas Yama yang menyaksikan mereka dari pintu.

Hendak dilihat akan sampai sejauh apa si bajingan bisa menguasai kecemburuannya.

Dari sorot mata tajam yang mengarah tepat padanya, tentu sudah menunjukkan secara nyata ketidaksukaan Yama dengan kedekatan cukup intim antaranya dan Sahima.

Apa bajingan itu akan lepas kendali? Masuk ke dalam dan menghajar dirinya?

Ayolah, jika ia mendapatkan provokasi lebih dulu, pasti tak segan untuknya menciptakan pertengkaran hebat dengan si bajingan.

Kemarahannya harus dilampiaskan dengan cara membuat suami berengsek Sahima itu babak belur, pasti akan memuaskan.

Sayang, prediksinya salah total. Si bajingan tak bereaksi sama sekali. Justru menutup pintu ruang inap. Mungkinkah hendak pergi?

Di lain tempat, tepatnya lorong rumah sakit, Yama mati-matian mengolah emosi negatif agar tak meledak jadi kemarahan luar biasa yang berujung dengan amukan.

Dan sebenarnya hati Yama sudah begitu terbakar melihat sang istri direngkuh dengan mesranya oleh pria lain yang memanglah sudah lama menaruh hati secara khusus.

Dirinya seketika berpikir, benarkah di antara Sahima dan juga Sagara tidak pernah ada hubungan spesial yang terjadi?

Dan betulkah anak dikandung oleh sang istri adalah darah dagingnya? Bukan hasil dari percintaan terlarang yang mungkin saja terjadi di antara mereka berdua?

Sial, Yama tak bisa menyingkirkan praduga negatifnya ini, setelah melihat bagaimana dekat hubungan Sahima dan juga Sagara yang sangat tampak seperti kekasih.

“Berengsek!” Yama mengumpat dengan segala amarah tertahan untuk menghabisi Sagara yang masih sangat mencintai Sahima.

........................................

Gimana? Gimana? Komennya dong. Senang aja gitu baca komen yang ramai. Hahaha.

Merebut Suami KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang