Seri II ; EP 01

7.8K 445 21
                                    


"Manis nggak?" tanya Sahima untuk rasa jeruk yang baru saja dimakan suaminya.

Yama hanya membalas dengan anggukan pelan sembari mengunyah buah di dalam mulutnya. Ia lantas melihat pergerakan Sahima yang hendak bangun dari kursi. Segera diraih tangan istrinya.

"Kamu mau kemana?"

"Aku mau ambil jeruk buat kamu. Kenapa?"

"Jangan kemana-mana, aku nggak mau kamu pergi meninggalkan aku, Hima."

"Aku nggak akan kemana-mana."

"Aku akan selalu di sini, bersama kamu," ujar Sahima dengan mantap, tentu akan ditepati ucapannya.

Lalu, ditempatkan diri kembali ke kursi. Upaya menunjukkan pada sang suami jika dirinya tidak akan pergi, seperti apa telah dikatakan.

Namun, tangannya malah digenggam dengan kian erat. Tatapan pria itu tambah intens.

"Apa yang membuat kamu begitu takut aku pergi? Aku tidak akan kemana-mana, Yama."

"Aku bermimpi buruk ...."

"Aku berselingkuh dengan mantan pacarku, dia namanya Frasha. Aku menghianati pernikahan kita, Hima. Sampai akhirnya kita bercerai."

Sahima melebarkan senyum. Lalu, bergerak naik ke ranjang, duduk di tepian, dekat suaminya.

Dipeluk segera pria itu dengan rengkuhan erat. Ia mengusap-ngusap pelan punggung sang suami, berusaha menenangkan hati pria itu.

"Mantan kamu memang ada namanya Frasha?" tanya Sahima dalam canda.

"Nggak ada."

Sahima tertawa pelan dan amat singkat, lantas. Ia merasa tergelitik akan respons suaminya.

"Aku kira kamu punya mantan pacar rahasia di belakangku." Lantas diberikan komentarnya.

Sekadar ingin bercanda menanggapi cerita sang suami yang dialami selama koma empat belas hari. Sepertinya semua bisa diingat Yama secara detail, sehingga dapat dengan runut disampaikan.

Dari cara sang suami menuturkan tadi, tampak jelas raut ketegangan pada wajah, seakan Yama tidak nyaman dengan mimpi-mimpi yang dialami.

"Aku percaya kamu setia, Sayang."

"Semua itu nggak perlu kamu pikirkan terus. Cuma bagian dari salah satu mimpi kamu selama koma." Sahima coba meyakinkan sang suami.

"Yang terpenting sekarang, kamu sudah sadar dan bisa kembali berkumpul denganku, Yama."

"Aku bahagia bisa meluk kamu kayak gini," ujar Sahima tak segan mengungkap isi hatinya.

Sang suami tidak membalas. Namun dari cara Yama membalas rengkuhan, ia tahu pria itu juga merasakan hal yang sama dengannya.

Dan baginya cukup. Tak perlu mendengar jenis kalimat-kalimat romantis dari mulut Yama.

Sang suami tipikal yang tidak akan cukup pandai merangkai kata-kata manis. Ia sudah hafal semua sifat pria itu karena mereka menjalin kasih hampir sepuluh tahun lamanya.

"Yansa ..."

Ditengah keheningan yang tercipta di antara mereka, telinganya mendengar sebuah nama diluncurkan oleh sang suami.

"Yansa? Siapa itu? Apa nama mantan kamu yang muncul lagi di mimpi kamu, Sayang?"

"Bukan." Yama lekas meralat.

Segera pula diakhiri pelukannya dengan sang istri. Ditempatkan kedua tangannya di pundak kanan dan kiri Sahima. Ditatap lekat wanita itu.

"Itu nama anak kita, Hima."

"Yansa Adyatama Djaya." Yama memperjelas.

"Di mimpi-mimpi kamu itu, ada anak kita? Nama dia adalah Yansa Adyatama Djaya?"

"Dia cewek? Ataukah cowok?" Sahima semakin penasaran. Ingin penjelasan yang lebih rinci.

"Yansa adalah anak laki-laki."

Sahima pun hanya menunjukkan anggukan pelan sebagai balasan karena tak bisa berkomentar.

"Aku ingin punya anak seperti Yansa."

"Eh? Gimana, Yama?" Sahima kaget sendiri akan apa yang diminta oleh sang suami.

"Aku ingin kita punya anak namanya Yansa, Hima. Mukanya mirip kamu dan aku.'

Setelah mendengar jawaban sang suami, maka didapatkan pemahaman yang sangat jelas.

"Nanti kita buat anak mirip Yansa, ya." Sahima berusaha menanggapi santai, tapi ia tengah merasa malu sesungguhnya.

Wajahnya juga memanas. Bahasan tentang memiliki anak membuatnya sedikit gugup.

Hingga hari ini, pasca lima minggu menikah. Dan satu minggu setelah Yama siuman dari koma, mereka belum pernah tidur bersama.

Ya, benar-benar tak pernah melakukan hubungan suami-istri yang sah setelah mengikat janji suci pernikahan.

Jadi, akan butuh waktu untuk hamil. Harus difokuskan diri pula mengurus Yama sampai pria itu pulih total. Baru dipikirkan soal punya anak.

"Mau bulan madu lagi?"

"Eh gimana? Bulan madu lagi?" Sahima coba memastikan kembali jika tak salah mendengar apa yang ditawarkan oleh sang suami.

"Iya, bulan madu lagi, Hima."

"Kenapa harus bulan madu lagi?"

"Untuk buat anak." Yama menyengir, kali ini.

Liburan mereka tak berjalan indah karena dirinya mengalami hal terduga. Jadi bukankah harus diulangi bulan madu yang manis?

"Kayaknya nggak perlu pergi bulan madu untuk buat anak. Kita bisa bikin di rumah, 'kan?"

Sahima hanya memberikan opsi pilihan dirasa masuk akal, dibanding harus merencanakan lagi bulan madu. Apalagi, Yama belum sembuh.

"Malam ini buat anak?"

Sahima jelas melebarkan bola mata atas respons yang dilontarkan oleh sang suami. Sedangkan, Yama sudah tertawa dengan renyah.

Tubuh Sahima tegang mendadak, saat sadar jika lingkaran tangan milik pria itu mengerat di pinggangnya. Yama juga mendekatkan wajah.

Sang suami ingin menggodanya.

"Ranjang pasien ini cukup untuk kita berdua, Hima. Mau coba buat anak di sini saja?"

"Eh?" Sahima spontan bereaksi.

Hendak dilontarkan balasan lanjutan, namun ia sudah mendapat ciuman tepat di bibirnya.

Pagutan yang lembut dilakukan sang suami.

Sahima rindu kedekatan intim di antara mereka, selepas dua minggu melihat Yama berbaring tak berdaya dalam kondisi koma.

Sungguh ia amat bersyukur bisa berkumpul kembali dengan laki-laki paling dicintainya.

...................

Gimana? Gimana? Lanjut nggak?

Merebut Suami KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang