Part 15

14.4K 728 11
                                    


“Akan aku bantu.”

“Jangan keluar dulu, Hima.”

Yama melontarkan kalimat-kalimat dalam nada yang tegas, cenderung memerintah malah, namun ia tidak akan menurut.

Tetap dibawa dirinya turun dari mobil segera, seperti yang sudah direncanakan.

Pria itu pun juga bergerak cepat keluar.

Dalam hitungan detik, sang suami sudah ada di sampingnya. Siap membantu berjalan.

Namun, sebagai wanita yang mandiri, dirinya akan menolak bantuan ditawarkan Yama.

Melangkahkan kaki lebih dulu, ketika pria itu mulai berusaha untuk memapahnya.

Kedua kaki masih dapat digunakan dengan baik, apalagi bergerak. Jadi, tak perlu dirinya diperlakukan seolah baru mengalami lumpuh.

Lagi pula, secara fisik, ia sudah pulih, hingga diperbolehkan pulang oleh dokter lebih awal dibandingkan waktu yang diberikan.

Selama menjalani perawatan, Sahima tidak pernah melanggar aturan. Meminum obat sesuai diresepkan. Lalu, menyantap semua makanan yang disediakan rumah sakit.

Sahima ingin lekas sehat seperti sedia kala.

Dengan begitu, ia tak perlu lama-lama cuti dan meninggalkan bisnis-bisnisnya.

Tanggung jawab sebagai pimpinan utama terlalu besar. Ada puluhan staf yang harus diurus. Besok aktivitas bekerja akan dimulai.

Dokter juga sudah mengizinkan, walaupun dengan catatan, tak boleh sampai kelelahan.

Sahima tentu bisa mengatasi tantangan itu. Ia akan menjaga kesehatan sebaik-baiknya.

Minimal secara fisik harus tetap bugar, walau hatinya masih hancur berkeping-keping oleh kejadian mengenaskan dialaminya.

Rasa duka yang mendalam, tak akan mudah sembuh. Kemungkinan besar pula tidak bisa dihilangkan, terus menganga luka tersebut.

“Mau ke mana, Hima?”

Langkah kaki spontan dihentikan saat Yama melontarkan tanya padanya. Sang suami ada di belakangnya dengan jarak semeter.

Bahkan, lengannya dipegang cukup erat.

Sahima lantas membalikkan badan dan juga memfokuskan pandangan secara penuh ke kedua netra Yama yang menatapnya tajam.

Sedari pria itu sampai di rumah sakit, pagi tadi, senantiasa melemparkan sorot nyalang seakan menyimpan amarah padanya.

“Mau ke mana?”

“Masuk ke rumah, memang apa lagi?”

Sahima tentu sengaja menjawab sinis karena sikap sang suami juga tak menyenangkan.

Yama tidak memberikan balasan apa-apa, namun malah bergerak sangat cepat dalam membopongnya. Lalu, berjalan dengan gesit menuju ke pintu utama kediaman mereka.

Tak sulit bagi Yama membukanya karena menggunakan sensor sidik jari.

Pria itu belum juga menurunkannya, ketika mereka sampai di ruangan tamu.

“Aku bisa jalan sendiri.” Sahima tentu saja berusaha untuk melepaskan diri.

“Kedua kakiku masih baik-baik saja. Bisa aku pakai berjalan.” Sahima menekankan lagi kata-katanya. Nada tetap sinis.

Dan nihil respons dari sang suami.

Yama pun tak menoleh padanya. Pandangan pria itu hanya fokus ke depan. Seolah-olah semua yang dikatakannya, tidak didengar.

Merebut Suami KembaliOnde histórias criam vida. Descubra agora