1 || Love at The First Sight

66 11 30
                                    

"Kenapa telat!?"

Rian, kakak kelas XI yang menjabat sebagai Wakil Ketua OSIS itu mendapati Marsha telat datang ke sekolah lalu menanyainya dengan nada tajam dan penuh intimidasi. Tangannya sudah menggenggam sebuah spidol berwarna merah.

"Maaf Kak, bangun kesiangan," jawab Marsha polos. Sesekali dia melirik spidol merah itu. Entah hukuman apa yang akan diberikan padanya.

"Lagu lama!" Rian tersenyum sinis. Tangannya mencopot tutup spidol lalu dengan gerakan cepat mencoret pipi kanan dan kiri Marsha membentuk tiga garis masing- masing menyerupai kumis kucing. Marsha hanya berjengit khawatir dan pasrah saja tidak bisa melawan. Entah seperti apa bentuk mukanya sekarang.

Sudah rambutnya menjadi aneh karena diikat menjadi tujuh dengan pita warna-warni, juga topi setengah bola terpasang di atas kepalanya...

"Besok lagi nggak boleh telat datang ke sekolah dengan alasan apa pun, ngerti?!" bentak Rian setelah tangannya selesai melaksanakan tugas.

"Baik, Kak."

"Sana masuk aula, gabung sama teman-temanmu."

"Ya, Kak."

Dengan kepala menunduk, Marsha berjalan menuju aula, menghindari tatapan mengintimidasi dari para kakak kelas. Acara yang sedang berlangsung adalah sesi pembacaan tata tertib sekolah yang dibacakan oleh Pengurus OSIS yang ditunjuk. Mata Marsha menemukan Mona -teman sebangku sejak kelas 7 SMP dan sekarang kebetulan sekelas juga- sedang duduk bersila di kerumunan anak-anak sekelasnya. Barisan nomor tiga.

Sedikit terengah-engah, Marsha meminta maaf pada Lani saat menjejalkan tubuhnya di antara dia dan Mona.

"Kaget gue! Darimana aja, sih?" Mona bertanya. Tapi belum Marsha sempat menjawab, Mona mengernyit menemukan hal aneh di muka Marsha, lalu kembali bertanya, "Kenapa muka lo?"

"Hukuman dari Kak Rian gara-gara gue telat. Kesiangan. Kapas atau tisu dong!"

Mona cepat-cepat mengeluarkan tisu lalu diteteskannya minyak zaitun yang tak pernah absen dari tasnya. "Nih. Kebiasaan bangun telat lo nggak bisa hilang ya dari SMP. Heran gue!"

"Marsha cantik banget sih, lo. Miaauuuwww...." Lani di sebelahnya cekikikan mengejek. Marsha meliriknya sebal.

"Biarlah telat jadi trendmark gue." Setelah nyengir, Marsha mengoleskan tisu itu pelan- pelan ke pipinya.

"Lho kok nggak hilang, Sha?" Mona menatap prihatin sahabatnya.

"Masa sih?" Jantung Marsha mulai dag dig dug karena takut.
Kali ini Mona mengeluarkan senjata andalannya dari dalam tas. Cermin. Menyuruh Marsha melihat pantulan wajahnya di sana.

Cermin itu menampilkan wajah Marsha dengan coretan spidol yang tak bisa terhapus meski sudah dia usap berulang kali dengan tisu. Sekarang dia sudah hampir menangis.

"Mona... Gimana, nih? Kayaknya ini spidol permanen, deh!"

Mona mengeluarkan micellar waternya lalu membantu Marsha mengusapnya ke wajah dengan kapas. Tapi dia segera menampilkan ekspresi prihatin saat yang dilakukannya masih saja sia-sia.

"Duh, gue juga bingung nih, Sha. Nggak ada yang berhasil. Rese juga sih Kak Rian!"

Marsha menutup mukanya dengan kedua telapak tangan. Membayangkan mukanya akan tetap seperti ini selamanya karena tak bisa dihapus.

"Wakil Ketua OSIS pula dia, Mon. Gue harus gimana? Nggak mungkin gue samperin terus maki-maki, kan?"

"Memangnya kalau dia bukan Wakil Ketua OSIS, lo bakal berani maki-maki dia?"

Secrets (Season #1)Where stories live. Discover now