3 || Nenek dan Marsha

16 6 0
                                    

Jam di tangan Marsha sudah menunjukkan pukul 11.30 ketika angkot menurunkannya  di depan gang kompleks rumahnya. Dia sudah masa bodo saat orang-orang di angkot menertawai sepatunya yang seling.

“Ada MPLS tambahan Mas, Mbak.” Itu alasan yang dia berikan meskipun mereka tidak bertanya. Alasan yang tidak masuk akal. Memangnya Matematika, ada tambah-tambahan segala?

Hari pertama masuk sekolah memang belum ada pelajaran, makanya anak-anak bisa pulang cepat. Marsha berjalan cepat menuju rumah agar tidak ada yang ngeh tentang sepatunya yang seling. Sesampainya di depan rumah, Marsha terkejut karena ternyata sudah ada seseorang yang menunggunya di sana.

"Andi?" Marsha heran kenapa laki-laki itu tetiba saja disitu. Bukannya seharusnya dia sedang di luar kota sama Kakaknya?

Andi tersenyum. Seolah tahu apa yang ada di pikiran Marsha, dia berkata, "Gue kabur, Sha. Nggak betah. Nggak nyaman banget gue di sana."

Dasar anak Mami, Marsha membatin. Andi tinggal di rumah mewah tepat di sebelah rumah Marsha yang sederhana. Rumah Andi 2 lantai dan semua lantainya menggunakan marmer. Rumah paling mewah di kompleks mereka. Dan Andi juga anak bungsu. Kakak laki-lakinya bekerja di perusahaan bonafit di luar kota. Bisa dibilang, semua orang di keluarganya memanjakannya.

Setelah ketahuan bahwa Andi naksir Marsha, Bu Dira, Mama Andi ingin menjauhkan mereka dengan mengirim Andi pada Kakaknya. Bu Dira tidak setuju karena katanya keluarga mereka adalah musuh bebuyutan. Ada masalah apa antara keluarga mereka, Marsha sendiri Tidak tahu. Tidak ada yang memberi tahu termasuk Ayah. Beliau malah bilang kalau Bu Dira aja yang mengada-ada.

Dan sebenarnya, tidak perlu dibuat jauh pun mereka tidak akan mungkin berhubungan. Karena Marsha sama sekali tidak punya perasaan apapun pada Andi.

"Gue juga kangen sama lo," lanjut Andi.

"Pulang gih. Kan tahu sendiri mama lo nggak suka  sama gue. Ntar ketahuan lagi nemuin gue disini, habis lo, bisa dikirim ke Antartika ntar.”

"Lo ngusir gue?" Andi mengernyit hampir putus asa. "Padahal gue udah mati-matian buat ketemu sama lo.”

Marsha mencebikkan bibir. "Lo juga bukan siapa-siapa gue ini."

Marsha sudah menolak Andi berkali-kali, tapi cowok itu tetap saja berlagak tidak mengerti. "Kalaupun gue peduli soal mati-matian lo itu, emang lo berani nentang nyokap lo?"

Sesaat Andi membuka mulut untuk menjawab tapi kemudian diurungkannya. Lalu dia menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.

"Bingung kan mau jawab apa?"

"Seenggaknya kita pacaran aja dulu, urusan restu orang tua kita pikirkan nanti."

Marsha mengernyit mulai dongkol. "Enak aja bilang gitu. Entar pas lagi sayang-sayangnya malah lo tinggalin, ya ogah! Udah sana pulang!" Marsha mengibaskan tangannya menyuruh Andi pergi. Marsha sudah akan berlalu untuk masuk ke dalam rumah, tapi Andi malah mencekal pergelangan tangannya.

"Dengerin dulu, Sha- "

"Ehm, ehm...."

Sebuah deheman memutus kata-kata Andi. Ayah Marsha, Bayu, sudah berdiri di ambang pintu rumah. Andi langsung melepas cekakan tangan di pergelangan tangan Marsha. Takut dengan tatapan Pak Bayu.

"Marsha, masuk!" Ayah menyuruh dengan suara dalam dan tegas.
Marsha menoleh pada Andi sebentar untuk berbisik, "Tuh hadepin dulu ayah gue." Lalu segera masuk ke rumah meninggalkan Andi.

Ayah di belakangnya menutup pintu.

"Andi lagi... Andi lagi. Kamu bilang dia ikut kakaknya, kok bisa-bisanya nongol lagi? Kamu ngasih harapan apa ke dia?" Ayah mencecar ketika Marsha meletakkan tasnya asal di meja makan lalu mengambil air di gelas dan meneguknya sekali habis.

Secrets (Season #1)Where stories live. Discover now