20 || Rembulan Berbohong

12 3 0
                                    

Dalam perjalanan, Arfin hanya diam. Saat Viona menanyakan sesuatu pun dia hanya menjawab dengan anggukan atau gelengan. Termasuk saat Viona berusaha menghiburnya.

"Ck, kenapa kamu galau terus begitu, sih? Udahlah, Fin. Nggak ada yang mempermasalahkan identitas kamu kok. Percaya deh sama aku."

Kata-kata itu membuat Arfin menoleh dan mengunci tatapannya pada Viona. Tapi yang berada di pikirannya bukanlah cewek itu, melainkan Marsha. Mendadak dia teringat kata-kata Marsha padanya.

"Tapi aku bukan suka sama seseorang dari masa  lalunya, kok. Apalagi itu bukan salahmu. Kamu nggak bisa milih dari rahim mana kamu dilahirkan. Ya, kan?"

Lalu pikirannya kembali berkelana. Menuju kejadian di sekolah, di depan Mading, saat Marsha menggenggam tangannya. Artikel yang ditulis Marsha itu berkelebat di kepalanya. Berulang- ulang.

5. ANAK HARAM
Dia hanya BERKEDOK SEMPURNA! Nggak punya PAPA! Mamanya yang dari keluarga terhormat "Ishida" rupanya sudah hamil dengan laki-laki lain sebelum menikah dengan Papanya yang sekarang. Papa biologisnya lari ke luar Negeri meninggalkan mamanya.

Arfin membuka mata, dan langsung tercenung. Bagaimana mungkin dia tidak menyadari ini dari awal? Memori otaknya membaca ulang sekali lagi....

Papa biologisnya lari ke luar Negeri meninggalkan mamanya.

Jantungnya mencelos dan lagi-lagi dia tercenung setelah kedua kalinya menyadari. Untuk point yang terakhir, bahwa ayah biologisnya pergi ke luar Negeri memang sama seperti  apa yang Mama ceritakan padanya. Tapi dia ingat betul, untuk detail itu dia tidak pernah memberitahu Marsha.

Bukan Marsha.

Lemas, Arfin menyandarkan punggungnya di punggung jok. Beginilah akhir dari sesuatu yang dikuasai oleh emosi gelap dan tidak mau mencari terang. Selalu penyesalan.

Mobil perlahan berhenti saat memasuki area parkir sebuah gedung bertuliskan 77club. Kening Arfin terlipat saat menoleh ke Viona. Dia tidak menyangka Viona akan membawanya ke tempat seperti ini.

"Lo sering ke sini?" tanya Arfin setelah mobil terparkir.

"Nggak. Ini pertama kalinya," bisik Viona malu-malu. "Tapi gue udah janjian juga sama temen-temen. Mereka pasti udah di dalem."

Arfin keluar setelah Viona. Dia baru paham, ternyata ini yang Viona maksud "kamu pasti akan lupain semua masalah". Mungkin Viona bermaksud membuatnya teler terus tidak ingat apapun.

Di dalam, Arfin malah semakin pusing melihat lampu warna-warni yang menyorot ke segala arah. Apalagi mendengar lagu jedag-jedug dari DJ yang memekakkan telinga. Viona melambai pada teman-temannya yang duduk di dekat pintu, lalu bergabung bersama mereka.

"Eh, lo masih sama Arfin?" tanya seorang cewek berambut pendek bergelombang setelah mengerling genit pada Arfin.

"Iyalah, malah sekarang kita satu sekolah." Viona menjawab dengan bangga. Dia menyuruh Arfin untuk duduk di sebelahnya, tapi tidak dituruti.

Arfin mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru diskotik dengan perasaan tidak nyaman.

"Dia makin cakep aja sih." Tutur teman Viona yang satu lagi.

Arfin mengenal mereka tapi tak kenal nama. Mereka teman SMP Viona dan pastinya satu circle. Dan entah apa  yang Viona bilang ke teman-temannya tentang hubungan mereka, Arfin tidak peduli.

"Gue mau pulang," pamit Arfin saat bau alkohol dan rokok bersatu menyengat hidungnya.

"Kok pulang? Kan kita baru mulai?!" Viona menggeleng.

"Gue makin pusing di sini."

"Jangan tinggalin gue sendiri di sini dong...."

"Sendiri? Mereka ini nggak lo anggap orang?" Arfin berbalik lalu melangkah pergi dari tempat itu. Mengabaikan teriakan Viona dan bisik-bisik kedua temannya. Dia ingin cepat pulang dan berharap Marsha masih ada di sana, di depan rumahnya. Meski kemungkinan itu kecil.

Saat turun dari taksi yang mengantarnya sampai depan rumah, Arfin kecewa karena dia tidak melihat sosok Marsha lagi di sana. Dia sempat berpikir untuk pergi ke rumah Marsha untuk menemuinya, tapi cepat-cepat diurungkan. Lebih baik mereka bertemu di sekolah besok, setelah keadaan Marsha lebih baik. Dia tahu sekarang Marsha pasti sedang sakit hati karena penolakannya tadi.

Setelah masuk rumah dan menutup pintu, mata Arfin melebar karena terkejut melihat pemandangan yang tersaji dihadapannya sekarang....
Di dapur, Marsha dan mamanya sedang memasak bersama sambil bercengkrama. Arfin menyipitkan mata, memastikan bahwa apa yang dilihatnya sekarang adalah nyata. Jantung Arfin mencelos gembira begitu menyadari bahwa dia sedang tidak berhalusinasi. Marsha benar-benar ada di sana.

Marsha yang sedang memotong sayur, tidak melihat Arfin datang karena posisinya berdiri membelakangi cowok itu. Sementara Mama yang sedang menata meja, tersenyum saat melihat Arfin. Diana mengedikkan dagu ke arah Marsha, menyuruh Arfin untuk meminta maaf padanya. Marsha sudah menceritakan seluruh kejadian di sekolah maupun di depan rumahnya tadi padanya.

Arfin membalas senyuman mamanya, mewakili rasa terima kasih. Kemudian Diana pergi untuk memberikan waktu dan tempat bagi mereka untuk menyelesaikan masalah.

"Kalau Arfin sukanya makan apa sih, Tante?" tanya Marsha yang tidak menyadari kalau Diana sudah menghilang dari tempat itu.

"Kamu."

Impulsif, Marsha menghentikan aktivitasnya memotong wortel. Dia terkejut mendengar suara yang menjawabnya bukan suara Diana, melainkan suara anaknya. Dia menoleh, mengernyit melihat Arfin berdiri di sana, memasukkan satu tangannya ke saku celana  sambil menyandarkan sisi tubuhnya ke tembok.

Menggigit bibir, Marsha berusaha tidak mau peduli dan kembali pada aktivitasnya memotong wortel meski sudah tidak bisa fokus lagi. Air matanya tiba-tiba menggenang. Lalu tak sengaja pisau itu mengenai kulit telunjuk Marsha.

"Auw!" pekiknya, melepaskan pisau lalu memegang telunjuk kiri dengan tangannya yang lain.

Melihat itu, Arfin buru-buru menghampiri Marsha. Dibawanya telunjuk Marsha ke bawah pancuran keran sink cuci piring di dekat mereka, membersihkannya.

"Katanya pergi sama Viona? Kok pulang?" Marsha bertanya sarkas, memperhatikan Arfin yang kini sedang mengusap lukanya dengan tisu dapur hingga darahnya  berhenti keluar.

"Sakit, kan? Makanya fokus kalau lagi pegang pisau," ucap Arfin.

"Jauh lebih sakit yang di sini." Marsha menunjuk bagian dadanya setelah Arfin melepaskan tangannya. Satu air mata menetes di pipi. Arfin menghapusnya.

"Harusnya aku percaya sama kamu. Bukan kamu pelakunya, kamu nggak tahu apa-apa," tutur cowok itu. Dia benar-benar merasa bersalah. Apalagi sekarang melihat mata Marsha yang sembab karena air mata.

"Kenapa baru percaya sekarang?" tanya Marsha.

"Bego banget aku baru sadar. Ada hal yang kamu nggak tahu tapi orang yang menulis artikel itu tahu."

"Apa?"

Arfin enggan menjawabnya.

"Kenapa sih orang-orang bilang kamu jenius? Aku nggak ngerti."

Arfin menggeleng. "Jadi, kamu maafin cowok bego ini kan?"

Marsha mendengus geli mendengar Arfin membuat panggilan aneh untuk dirinya sendiri. Lalu tersenyum dan mengangguk. Arfin melihat mata Marsha bersinar layaknya pijaran bintang.

"Duduk yuk." Arfin meraih jemari gadis itu, membawanya ke kursi malas di pinggir kolam renang. Marsha senang memandangi dua paviliun di depannya yang menampilkan cahaya dari lampu-lampu kekuningan yang hangat. Indah. Kemudian matanya beralih ke atas, ke langit yang terang karena sinar bulan purnama.

"Cantik ya, bulannya." Komentar Marsha melihat bulan yang berwarna kemerahan.

"Cantiknya bulan itu cuma topeng. Tergantung dekat atau jauhnya dari bumi, atmosfer, awan, dan debu," terang Arfin. "Yang paling penting, bulan nggak mengeluarkan cahaya sendiri.  Cahayanya dari matahari, kan?"

"Owh, iya ya Terus warna aslinya apa?"

"Abu-abu."

"Ternyata selama ini aku dibohongi. Bulan sama sekali nggak cantik, ya?"

Arfin tersenyum samar.

"Kamu... Kenapa nggak jadi pergi sama Viona?" Karena suasana jadi hening, Marsha mengulang pertanyaan tadi yang dia sudah mendapat jawabannya. Dan jadi merasa bodoh sendiri setelahnya.

"Nggak." Arfin menggeleng. "Takut diapa-apain."

"Ih, rese!" Marsha memukul lengan Arfin.

"Kamu hobi mukul, ya?" tanya Arfin sambil mengelus lengannya.

"Iya." Marsha nyengir.

"Terus kenapa juga kamu nggak langsung pulang, malah di sini?" Giliran Arfin yang bertanya.

Marsha berdiri lalu melangkah maju. Dia diam, memejamkan matanya, membiarkan tubuhnya bermandikan sinar bulan. Sungguh Arfin mengagumi Marsha, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dan senyumnya.

"Mama kamu nggak sengaja lihat aku nangis di depan rumah tadi, terus diajak masuk. Malu banget."  Marsha menertawakan dirinya sendiri lalu menoleh pada Arfin. Kemudia dia kembali duduk di samping Arfin. "Niatnya mau ngembaliin novel-novel mama kamu yang aku pinjem, tapi katanya nggak usah, buat aku aja."

Arfin kembali meraih kelima jari gadis yang sudah mencuri hatinya sejak pertama kali mereka bertemu itu.

"Mulai sekarang aku janji, kalau aku akan terus percaya sama kamu. Nggak peduli apapun yang aku dengar atau lihat, aku cuma akan percaya apa yang kamu bilang. Nggak akan pernah biarin kamu nangis lagi." Dia menatap dalam manik mata Marsha untuk menunjukkan keseriusan.

Marsha tersenyum melihat keseriusan di mata Arfin lalu memberikan kelingkingnya. "Janji?"

Meskipun tahu ini kekanakan, tapi Arfin tetap mengaitkan kelingkingnya di kelingking  Marsha. "Janji."

Setelah melepas kaitan kelingkingnya, Arfin melipat dahi saat bertanya, "Jadi tas kamu tadi isinya novel semua?"

Marsha mengangguk. "Iya."

"Pantesan sakit banget tadi punggungku kena timpuk."

"Hah?" Marsha seketika ingat tadi melempar tasnya ke punggung Arfin karena terlalu  kesal. Dia lalu nyengir bersalah. "Sori," ucapnya.

"Nggak papa, harusnya yang aku terima lebih sakit dari itu."

Marsha menggeleng. "Ya enggaklah."

Arfin benar-benar berfikir apa yang dia tuduhkan ke Marsha dengan apa yang Marsha timpukkan ke punggungnya tidak sepadan. Untung Marsha cepat memaafkannya.

Ada keheningan sesaat yang terasa kikuk, dan Arfin harus mencari bahan untuk mencairkan suasana.

"Udah jadi puisinya?" tanya Arfin akhirnya.

Marsha mengangguk. "Pokoknya kamu harus nonton aksi panggung Mona pas pensi."

"Siap. Udah malem, Ayah nggak nyariin?"

Marsha diam sebentar lalu menjawab, "Tadi Mona yang jemput, ngenterin ke sini. Pasti ayah ngiranya aku lagi sama Mona, bukan di sini sama kamu."

"Kalau gitu aku anterin pulang."

"Nggak usah." Marsha menggeleng cepat-cepat. "Ntar Ayah tahu dong kalau aku bohong pakai Mona buat ke sini. Terus kamu dimarahin ayah."

"Nggak papa, digebukin juga nggak papa. Kita makan dulu, ya. Kamu yang masak tapi."

Marsha mendengus geli. "Dasar!"

Secrets (Season #1)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant