15 || Rezeki Nggak Boleh Ditolak

12 3 0
                                    

Malam ini Mona menginap di rumah Marsha. Ayah sedang Penataran di luar kota, jadi  Mona punya alasan untuk menemani Marsha. Dia juga jadi leluasa untuk curhat dengan Marsha soal kejadian di sekolah tadi.

Malam belum begitu larut. Setelah menyelesaikan PR Matematika bareng-bareng, mencuci muka, sikat gigi, mereka akhirnya siap di atas tempat tidur. Bukan siap untuk tidur sih tepatnya, tapi siap untuk buka sosial media masing-masing. Untung tempat tidur Marsha berukuran Queen, jadi muat untuk mereka berdua.

Mereka memakai piyama kembar berbahan silk warna pink dan penutup mata yang dialih fungsikan sebagai bandana di atas kepala. Posisi duduk mereka pun sama. Sama-sama meletakkan sebuah bantal di atas pangkuan dan tangan memegang smartphone.

Mona sedang live di Instagram storynya sementara Marsha menscrol acak beranda instagramnya, lalu beralih ke pencarian dan menemukan akun Arfin. Dia membukanya. Sejak Arfin follow akunnya, dia belum follow balik. Tapi kenapa Arfin tidak pernah minta, ya?

Akun Arfin masih sama, hanya ada 1 foto di dalamnya. Marsha pun memencet tombol follow, sebagai tanda dia menerima pertemanan dari Arfin.

"Kepoin Arfin, ya?" Mona nyengir melihat layar smartphone Marsha.

"Ih, apaan sih?" Marsha langsung membalik smartphonenya, malu karena Mona memergokinya. Ternyata Mona sudah selesai menjawab pertanyaan para follower yang mengikuti live-nya, dia sampai tidak sadar.

"Gue tahu kok, sebenernya lo seharian ini lemes nggak ada semangat gara-gara podcast gue kemarin kan? Waktu Arfin nggak ngakuin kalau lo pacarnya, atau seenggaknya lagi deket  sama dia."

Marsha tersenyum getir lalu menoyor dahi Mona. "Sotoy. Gue nggak kenapa-napa kok. Lagian, ngapain dia ngaku kalau kenyataannya gue sama dia emang nggak ada hubungan?"

"Oh, ya?" Mona masih tersenyum menggoda Marsha. " Tapi lo suka kan sama Arfin?"

Kali ini Marsha tertawa. Tapi tawa yang dibuat-buat. "Gue nggak pernah bilang, kan?"

"Bohong." Mona mencebikkan bibir lalu termenung. "Sebenernya ada benernya juga sih omongan Arfin tadi. Kita emang bukan anak kecil lagi, ngapain ya gue kepancing emosinya Viona. Malu-maluin banget gue bertingkah kayak tadi, ngeladenin Viona. Lo nyesel nggak sih  ngomong kayak tadi ke Arfin?"

Marsha menggeleng pelan. "Viona emang tunangannya Arfin, kok."

Mona terkesiap. "Masa sih? Bohong, kan?

"Emang bener." Marsha menyandarkan punggungnya ke tembok di belakang.

"Kok gue nggak pernah denger, ya?" tukas Mona. "Mereka juga jarang tampil berduaan  di sekolah."

"Kan di sekolah? Di luar sekolah siapa tahu?"

"Gue tetep nggak percaya, ah. Gue yakin dia tuh sukanya sama lo. Lihat sih dari cara perlakuannya ke lo. Dari tatapan matanya juga kelihatan kali. Mungkin dia perlu waktu aja buat nembak."

"Apaan sih, nggak usah halu!" ketus Marsha.

"Lo tadi denger kan, banyak follower gue yang nanyain soal Arfin? 'Kak, itu si Arfin rumahnya mana, mau gue samperin' , 'kak, punya nomor WhatsApp nya nggak?', 'kak, sering undang dia dong.'" Mona membacakan komentar-komentar yang bermunculan saat live tadi. "Fans baru bermunculan, jadi saingan lo tambah banyak, tau!"

"Masa sih?"

"Yee... Otak lo lagi penuh kali ya sama Arfin, jadi nggak denger gue bacain komen- komen yang masuk?"

"Ya nggak gitu juga."

"Kalau saran gue nih, daripada Arfin nggak nembak-nembak, mending lo aja yang nembak duluan... tahu sendiri Arfin jadi rebutan sana sini."

Marsha mengernyit tak setuju dengan saran Mona. "Emangnya dia barang, bisa diperebutkan sana-sini?" ujarnya. "Kalau dia bener-bener sayang sama gue, dia nggak akan kemana-mana kok."

Mendadak Mona memandang Marsha dengan kagum. "Duile, yang lagi jatuh cinta... dalem, bo!"

Marsha menahan senyumnya saat tiba-tiba smartphonenya berdering. Perut Marsha mencelos sementara Mona bersiul menggodanya saat melihat nama Arfin terpampang di layar.

"Halo?" Marsha menjawab setelah menjulurkan lidah ke Mona.

"Halo Marsha. Marshareva Arifianti kelas 10 Bahasa 1 SMA SEMESTA."

"HAH?" Marsha melongo mendengar Arfin menyapanya panjang. Lalu setelah beberapa saat akhirnya sadar dia menjawab, "Maaf ya salah sambung," sambil senyum- senyum.

"Oh... Terus ini siapa ya? Boleh kenalan nggak?"

"Nggak ah, nanti ketahuan ayah. Ayahku galak."

"Aku udah ijin kok katanya boleh."

Marsha tertawa kecil teringat waktu Arfin pertama kali ke rumah berkenalan dengan ayah. Arfin dengan santainya mampu mengambil hati ayah. Dia saja heran.

"Kamu udah nggak marah, kan?" Arfin lanjut bertanya.

"Aku nggak marah kok, ngapain aku harus marah sama kamu?"

"Nggak tahu. Lagian aku perhatiin di sekolah dari pagi sampai pulang kamu kayak nggak ada semangat. Kenapa? Lagi ada masalah?"

Iya, kamu masalahnya. Sebenernya Marsha ingin menjawab begitu, tapi gengsi. Tapi setelah mencerna kata-kata Arfin barusan yang bilang bahwa Arfin memperhatikannya dari pagi sampai pulang... Jantung Marsha berdegup kencang, mungkinkah selama di sekolah Arfin memperhatikan dia terus tanpa sepengetahuannya?

Marsha senyum-senyum sambil menggigiti kuku ibu jarinya. Duh, kayaknya sebentar lagi dia bakal meleleh.

"Nggak papa," jawabnya. "Mungkin lagi PMS aja."

"PMS?"

Arfin bertanya apa itu PMS? Wah, ternyata ada yang Arfin tidak tahu juga. Marsha  pikir Arfin tahu segalanya.

"Siklus bulanan cewek."

"Ooh," ujar Arfin pendek. "Kamu lagi apa? Belum ngantuk?"

"Lumayan, sih. Kamu?"

"Tidur gih, jangan begadang."

"Kenapa emang?"

"Ntar bangun kesiangan kalau begadang, telat nggak dibolehin masuk sama Mas Ari. Ntar kita nggak bisa ketemu di sekolah," canda Arfin.

"Oh iya ya, ya udah aku tidur deh." Marsha langsung nurut.

Arfin tertawa geli. "Ya udah met bobo, ya. Aku tutup teleponnya."

"Heem. Dah... Assalamualaikum."

"Waalaikum salam."

Sambungan telepon pun ditutup. Jantung Marsha hampir copot saat tiba-tiba  Mona berseru di sampingnya.

"Ya ampun, tuh kan, tuh kan, gue bilang apa? Arfin tuh perhatian sama lo."

Marsha bahkan lupa kalau ada Mona di sampingnya selama Arfin menelepon. Dih, tahu gitu dia keluar kamar aja tadi, ngobrol sama Arfinnya sambil ngumpet.

"Ih apaan sih, Mon!"

"Lo tuh yang apaan? Muka udah kayak kepiting rebus gitu, tingkah kayak orang gila  senyam senyum sendiri masih aja berkilah."

"Peduli gajah ah, gue mau tidur!" Marsha berusaha semaksimal mungkin untuk menahan senyum. Ditutupinya mukanya dengan bantal, dia lalu berbaring miring membelakangi Mona.

"Huuu... Bilangnya aja tadi nggak suka. Dasar ceweeek..." Mona mendengus geli, "Ya udah sono tidur. Mimpi indaaah."

Marsha juga tahu malam ini dia pasti akan bermimpi indah.

***

Kriiiing....

Marsha mengernyit dalam tidurnya saat mendengar suara mirip jam Beker, tapi ini lebih memekakkan telinga. Dengan mata masih terpejam, dia menutup telinganya dengan bantal.
Kriiiing.....
Mendengar suara itu untuk yang kedua kalinya, Marsha menyerah. Dia mendudukkan  tubuhnya dengan sebal.

It's gonna be another day with the sunshine (Akan ada hari lain yang lebih cerah)
Hessarun bayi changur barkkae bichugo
(Dengan mentari yang akan bersinar dengan terang di jendela kamarku)


Marsha mengerjap-ngerjapkan matanya saat sadar yang didengarnya tadi adalah lagu korea.

Marsha menoleh ke sisi sebelah kanannya yang sudah kosong. Pasti Mona yang sudah  menyetel musik ini keras-keras memakai speaker bluetooth Ayah yang segede gaban di deket televisi itu untuk membuat Marsha bangun dengan cepat.

Berhasil sih... sekarang Marsha malah  senyam-senyum mendengarkan lagu ini yang seolah mewakili isi hatinya yang sedang berbunga-bunga. Akhirnya Marsha menyibakkan selimut, bangun dari tempat tidur sambil ikut  bernyanyi.

Saat keluar kamar, Marsha mencium aroma roti bakar yang menggiurkan. Perutnya tiba-tiba berontak minta diisi. Dia menemukan Mona sedang menyiapkan roti bakar di dua piring, melapisi roti itu dengan selai coklat crunchy. Alunan suara Jang Nara masih menggema di udara dan Mona juga sedang asik ikut bernyanyi. Dia sudah memakai seragam lengkap dengan bandana pink kesayangannya. Marsha melongok jam dinding di atas TV yang menunjukkan pukul 5.30.

"Udah rapi aja Neng, baru setengah enam," seloroh Marsha yang kemudian duduk di meja makan.

Mona tersipu. "Iya lah, kan mau dijemput Babang tamvan. Nggak kayak lo susah banget dibangunin."

"Bintang mau jemput?" Dahi Marsha berkerut. "Kirain kita mau berangkat bareng?"

"Hehe, lo semalem udah tidur sih, jadi nggak sempat gue kasih tahu. Lo ikut kita aja sih."

"Nggak ah." Bibir Marsha manyun. "Ntar gue jadi obat nyamuk."

"Ya nggak lah, cuma berangkat sekolah."

Marsha tetap menggeleng. "Gue naik bis aja."

"Telepon Arfin aja suruh jemput."

Saran Mona langsung membuat Marsha mendelik padanya. Marsha mengambil roti bakar di piringnya, menggigitnya.

"Ya udah habisin roti bakarnya, terus mandi, dandan yang cantik." Mona mengerutkan  kening saat memandang wajah Marsha lalu nyengir. "Eh, jerawat lo kemana?"

"Hah?" Impulsif, Marsha meletakkan rotinya kembali ke piring lalu menuju ke kamarnya lagi, mencari cermin kecil di dalam laci nakas. Dia memandang wajahnya sendiri dalam pantulan cermin. Merasa heran karena jerawat yang sudah menghantui hidupnya selama 2 hari ini sudah menghilang tak meninggalkan jejak pula.

Yeee... Marsha melompat kegirangan. Berarti dia tidak perlu menutup mukanya lagi saat bertemu Arfin nanti.

Jam 6.15 tepat mereka sudah siap berangkat sekolah. Penampilan mereka tampak kontras. Marsha dengan hanya polesan bedak dan rambut diikat ekor kuda sementara Mona dengan make up minimalis dan natural. Mereka keluar rumah sambil mendendangkan kembali lagu Jang Nara yang tadi diputar. Sesekali cekikikan karena mengucapkan lirik yang asal-asalan.

Tepat saat Marsha mengunci pintu, sebuah mobil berhenti tepat di depan rumahnya. Mona langsung menyambutnya dengan sumringah. Saat kaca mobil diturunkan, Marsha bisa melihat wajah Indo-Jerman Bintang di dalam, tersenyum ramah padanya. Bintang lalu turun dan membukakan pintu untuk Mona. So sweet banget, kan? Marsha selalu iri kalau sudah melihat mereka.

"Yuk, Sha, daripada naik bis..." ajak Mona setelah dia masuk ke mobil. Setelah menutup pintu Mona, Bintang kembali mengitari mobil dan ikut masuk.

"Nggak Mon, makasih."

"Beneran?"

Marsha mengangguk.

"Ya udah kita duluan, ya?"

"Oke. Mas Bintang hati-hati ya nyetirnya."

"Siap!"

Marsha melambaikan tangan. Cewek itu memanggil Bintang dengan sebutan "Mas" karena Bintang senior mereka saat SMP. Sekarang dia baru masuk universitas Negeri jurusan Psikologi  lewat jalur SNMPTN.

Mona membalas lambaian tangan Marsha sampai akhirnya mobil itu bergerak lalu menghilang dari pandangan Marsha.

Sambil memegang kedua tali ranselnya, Marsha mulai melangkah melewati halaman rumah yang secuil. Namun baru beberapa langkah meninggalkan rumah, mendadak ada sebuah motor CBR berhenti di sebelahnya. Jantungnya hampir copot.

Marsha terkejut saat melihat orang itu membuka kaca helm full facenya.

"Tadi yang pesen ojek online, ya? Saya siap antar jemput, gratis!" Mata cokelat Arfin merayu.

Dan tanpa Arfin duga akan segampang ini meminta Marsha, cewek itu memanjat ke jok belakang CBR nya. Duduk manis di sana.

"Rejeki nggak boleh ditolak, kan?" ucap Marsha dengan senyuman lebar.

Secrets (Season #1)Where stories live. Discover now