21 || Beasiswa

10 3 0
                                    

Arfin tiba di gerbang sekolah yang ternyata sudah ditutup. Tidak biasanya dia datang terlambat  ke sekolah karena bangun kesiangan. Mendengar kejadian kemarin di sekolah dari mulut Viona  dan Marsha, hari ini Mama membiarkannya bangun siang dan memberikan kebebasan untuk  mau berangkat sekolah atau tidak. Tentu saja Arfin memilih berangkat meski kesiangan. Karena di sekolah dia bisa menemukan Marsha.

Arfin mengerling jam tangannya dan melihat jarumnya menunjukkan pukul 07.15. Mas Ari yang melihat Arfin datang terlambat ke sekolah langsung membukakan pintu gerbang. Untung Mas Ari, Security SMA SEMESTA yang masih lajang di usianya yang ke 35 tahun itu cukup akrab dengannya, jadi tidak perlu susah payah menyogoknya untuk membuka pintu gerbang.

"Thankyou, Bos," ucap Arfin saat melewati gerbang.

"Buah delima dimakan Mama, sama-sama." Mulailah pentas pantun Mas Ari. "Mama keselek biji pepaya, jangan diulangi lagi,ya?"

"Siap!" Arfin terkekeh.

"Oh iya, emang berita yang di Mading itu bener tho, Mas?"

"Benerlah, masa Mading beritain hoax."

"Yang soal Mas Arfin itu. "

"Iya...." Arfin sudah tak mau mengelak. Dia mengangkat tangan tanda "mau ke kelas dulu", meninggalkan Mas Ari yang garuk-garuk kepala karena bingung. Bingung antara Arfin serius menjawabnya atau tidak, karena dia mengaku dengan entengnya tanpa beban.

Arfin berjalan santai menuju kelas, karena sudah tahu pasti Pak Jayus, guru Kimianya  sudah datang. Berjalan cepat juga percuma sudah terlambat. Saat masuk kelas, anak-anak langsung berisik. Dan pak Jayus yang sedang menerangkan reaksi kimia langsung menghentikan aktivitasnya lalu menatap Arfin tajam di balik kacamatanya.

"Pagi, Pak. Maaf saya terlambat." Saat Arfin mengedarkan pandangan, dia menemukan teman-temannya di bangku belakang. Awan mengangkat tangan menyapanya, Didi mengangkat-angkat alis berulang kali dengan jahil padanya, sementara Ridho senyum-senyum seolah dia sedang menggoda cewek. Arfin sampai setengah ngeri melihatnya.

"Kenapa terlambat?" Dengan nada tajam pak Jayus bertanya.

"Kesiangan, Pak." Arfin menjawab jujur tanpa mau mengada-ngada. Mau dihukum apapun terserah, dia juga sudah sering dihukum untuk alasan lain. Tapi Pak Jayus hanya geleng-geleng kepala.

"Kepala Sekolah mencari kamu, temui sana."

"Ada apa ya, Pak?" Arfin mengernyit penasaran. Teman-temannya yang mendengar juga berspekulasi sendiri adanya kemungkinan masalah kemarin yang heboh, ditambah Arfin yang bolos sekolah. Atau karena Arfin yang datang telat hari ini?

"Duh, Saya nggak tahu."

"Kalau gitu saya permisi dulu, Pak."

"Hmmm..."

Setelah Arfin berbalik, Pak Jayus menggebrak meja. "Yang masih mau ribut, bisa ikut Arfin ke ruang Kepala Sekolah," ucap beliau tajam.

Selama perjalanan menuju ruang kepala sekolah, Arfin malah memikirkan hal lain yang pasti akan disampaikan kepala sekolah. Seperti de Javu. Dia pernah mengalami hal ini saat masih kelas 1 SMP. Sehari setelah dia tahu bahwa dia bukan anak kandung papanya, dia juga dipanggil Kepala Sekolah untuk hal yang menyangkut masa depannya.

Arfin tiba di ruang kepala sekolah lalu mengetuk pintu. Dia sedikit terkejut saat ada yang membuka pintu dan itu Bu Ana, wali kelasnya.

"Arfin, Pak," ucap Bu Ana pada Pak Muldoko, Kepala Sekolah. Beliau membukakan pintu lebar-lebar agar Arfin masuk.

"Oh iya, masuk, Fin." Pak Muldoko tersenyum pada Arfin. "Duduk, duduk."

Arfin duduk di depan meja Kepala Sekolah sementara Bu Ana duduk di sampingnya. "Ada apa ya, Pak, manggil saya?" tanya Arfin kemudian, mengerutkan kening ingin tahu apa perkiraannya benar.

Pak Muldoko berdehem sebentar sebelum akhirnya membuka mulut.

"Harvard." Saat Beliau memulai, kerutan di dahi Arfin mengendur. Rasa penasarannya terjawab sudah. Kemungkinan yang dia pikirkan tadi ternyata memang benar.

"Kemarin Bapak mendapat telepon dari Kepala Sekolah SMP kamu dulu. Beliau menyampaikan bahwa dulu kamu dapat undangan beasiswa di Harvard University saat masih kelas 1 SMP setelah sebelumnya kamu dapat medali emas olimpiade SAINS Internasional, betul?"

Arfin mengangguk membenarkan.

"Kenapa ditolak?" Pak Muldoko menatapnya lekat-lekat, menunggu jawaban logis apa yang bisa Arfin berikan.

"Belajar nggak harus sampai sana kan, Pak? Di mana saja bisa."

"Alasan macam apa itu?" Pak Muldoko heran. "Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Cina."

"Kan ke Cina Pak, bukan Amerika," kilah Arfin.

Pak Muldoko menghela napas sabar. "Pusat ilmu pengetahuan ada di Harvard. Universitas yang diimpikan orang di seluruh penjuru dunia. Para ilmuan berkumpul di sana."

Arfin diam membenarkan. Siapa sih yang mau menolak beasiswa superior itu? Tapi dari dulu dia harus memprioritaskan hal yang lebih penting dari itu. Mamanya.

"Kali ini kamu mendapat undangan yang sama. Masuk ke Universitas Harvard. Mau diterima?" Pak Muldoko memamerkan kertas di tangannya.

"Ayo, Fin, pikirkan lagi. Demi masa depanmu." Bu Ana mencoba membujuk. "Coba bicarakan lagi sama orang tua kamu, ya?"

Percuma, pikir Arfin. Sebenarnya alasan dia menolak karena tahu betul mamanya tidak akan setuju. Sama seperti ketika dia mendapatkan beasiswa itu waktu SMP. Dia tidak ingin membantah karena memikirkan kesehatan mental mamanya.

"Begini saja, besok suruh orang tua kamu datang menghadap saya. Saya hanya nggak ingin siswa yang berpotensi seperti kamu disia-siakan. Karena ini tentang masa depan yang dipertaruhkan," lanjut Pak Muldoko. Tidak mau bersikap tidak sopan, akhirnya Arfin mengiyakan.


***

"Hei Guuyyysss... Gue punya kabar yang bakal bikin satu sekolah heboh!!!"
Lani geger sekembalinya dari kelas IPA 7. Dia memang biasa ke sana untuk menemui Zoya, mengorek informasi tentang Arfin.

"Apaan?" Mona yang sedang menghafal puisi dari Marsha dan Marsha yang sedang senyum-senyum bahagia karena melihat nilai 90 di kertas ulangannya langsung menghentikan aktivitas. Mereka berdua dan Rara kompak bertanya.

"Arfin dapat beasiswa ke Harvard lagi, Guys."

Seperti dugaan Lani, mereka bertiga langsung tercengang tak percaya.

"Serius?" tanya Marsha kemudian.

"Iyalah. Lo yang deket sama Arfin, kok gue yang tahu duluan, ya?" sindir Lani,  menjulurkan lidah ke Marsha. Marsha membalasnya dengan mendengus sebal.

"Ya ampun kok gue speechless, ya?" Rara menangkupkan ke sepuluh jari-jarinya sambil berkhayal yang tidak mungkin.

"Emang keren banget tuh anak." Mona mengangguk, memang sudah dari dulu dia  mengakui kekerenan Arfin. Lihat itu nilai matematika Marsha jadi bagus sejak dia belajar bareng Arfin. Tidak sia-sia Marsha dekat dengan cowok jenius.

Tiba-tiba ada getaran di Smartphone Marsha di saku roknya. Setelah dicek ternyata ada  chat dari Arfin.

Ke kantin yuk

Marsha tersenyum membacanya, lalu cepat-cepat dia balas.

Yuk

Marsha keluar dari bangkunya, dan sebelum pergi dia bertanya pada teman-temannya, "Gue mau ke kantin, ada yang mau nitip?"

"Gorengan, pake sambel saos kecap."

"Gue roti piscok."

"Gorengan tambah es teh deh jangan lupa sedotannya minta 2."

Teman-temannya langsung berebut nitip ini itu karena kelaparan tapi males gerak.

"Oke, tapi nggak janji mau beliin, ya?" Setelah nyengir, Marsha langsung kabur takut ditimpuk mereka.

Sedang semangat-semangatnya melangkahkan kaki ke kantin agar cepat bertemu dengan Arfin, mendadak ada yang menarik tangan Marsha saat dia melewati toilet sekolah. Tubuhnya tertarik sampai masuk ke dalam toilet cewek, lalu bunyi pintu berdebum di belakangnya.

Marsha baru sadar apa yang sedang terjadi padanya ketika dia melihat Viona di depannya sedang menggulung seuntai rambut dengan telunjuknya sok imut. Di belakang Marsha ada dua teman Viona, Kinan dan Shenan.

Secrets (Season #1)Where stories live. Discover now