16 || Ulangan Matematika

12 3 0
                                    

"Mereka bilang ternyata kamu playboy."

Arfin tertawa. "Terus?"

Marsha mengingat-ingat apa yang dia baca semalam di grup chat. Mereka masih di atas motor dan sebentar lagi akan tiba di sekolah, tapi tak juga kehilangan obrolan di jalan : dari isi podcast sampai kejadian berantem antara Mona dan Viona kemarin.

"Katanya kamu plin-plan nggak bisa pilih antara Viona atau Mona. Mereka kan jadi berantem...."

Arfin kembali tertawa. "Playboy apa plin-plan?"

"Emang kamu pilih siapa? Mona apa Viona?"

"Hmmm... pilihan yang sulit."

Jawaban itu membuat punggung Arfin mendapat satu pukulan dari kepalan tangan Marsha. "Pilih dua-duanya aja. Kamu kan Raja MPLS kemarin. Kalau Raja kan pasti punya Permaisuri sama Selir. Tinggal pilih aja mana yang mau dijadiin permaisuri, mana yang mau jadi selir. Terus cewek-cewek fans kamu itu jadiin dayang," ujarnya mangkel.

"Bagus juga idenya." Arfin manggut-manggut. Kayaknya keanehan Marsha masih berlanjut pagi ini, pikirnya.

"Ih! Udah ah, aku turun di sini aja," pinta Marsha akhirnya, kesal sendiri karena mendengar jawaban yang menyebalkan dari Arfin. Dasar tidak peka!

Arfin meyunggingkan sebelah bibir kemudian menarik tangan Marsha yang memegang ujung jaketnya, membawa tangan itu untuk memeluk perutnya.

"Udah, nggak usah mikir macem-macem." Tidak menuruti permintaan Marsha untuk berhenti, Arfin malah melajukan motornya lebih kencang lagi.

Marsha menahan senyum di belakangnya.

***

Anak-anak seantero sekolah sedang dilanda kebingungan. Setelah kemarin ada drama perkelahian antara Mona dan Viona yang memperebutkan sang Pangeran, sekarang mereka malah disuguhkan pemandangan Arfin dan Marsha yang berangkat sekolah sama-sama. Berboncengan pula! Terus bagaimana dengan pernyataan Arfin di podcast bahwa cowok itu tidak pacaran?

"Ternyata gampang banget ya bikin mereka senewen," bisik Marsha ketika mereka sampai di parkiran dan mengamati berbagai ekspresi absurd dari anak-anak yang melihat mereka. Dia turun lalu menyerahkan helmnya pada Arfin. "Pasti bentar lagi aku diserang di grup."

"Kamu keberatan? Mau aku jauh-jauh aja dari kamu?"

Ihhh Arfin ini memang tidak peka! Marsha dongkol, apalagi dia ingat lagi jawaban Arfin di podcast kemarin bahwa dia tidak pacaran... Maksudnya apa coba? Mau tanya pun gengsi!

"Udah, aku masuk duluan aja, ya? Kamu ntar aja 5 menitan habis aku masuk."

"Kok gitu? Kelas kita kan sebelahan?"

"Pokoknya gitu aja. Daaah...."

Marsha cepat-cepat kabur meninggalkan Arfin yang takjub melihatnya. Dia teringat kalau Marsha pernah mengatakan hal yang sama persis seperti dulu waktu setelah dia membukakan gerbang untuk cewek itu.

***

Di dalam gedung, tepatnya di depan ruang BK, Marsha berpapasan dengan Mona dan Viona yang baru saja keluar dari ruangan itu.

"Mona?" Marsha mengernyit. "Lo habis dipanggil guru BK?"

Mona mengangguk dengan muka kecut. "Gara-gara dia nih kemarin ngamuk-ngamuk nggak jelas! Terus ada yang rekam." Dia mengedik pada Viona dan cewek itu membalas dengan memberikan tatapan galaknya pada Marsha.

Ketika hendak berlalu, Viona sengaja menubruk bahu Marsha dengan arti mengancam. Marsha hanya menoleh pada Viona sebentar yang sudah agak jauh lalu geleng-geleng kepala.

"Terus lo dihukum nggak?" tanya Marsha kemudian.

"Nggak sih, cuma ditegur aja...." Mona mengeluarkan kipas tangan dari dalam tas dan mulai kipas-kipas ke mukanya. "Tapi kalau ada kejadian lagi, orang tua bakal dipanggil."

"Oohh...."

"Gue yakin sih Viona langsung ketakutan kalau sampai itu terjadi. Soalnya kan bisa mencoreng nama keluarga. Jadi kayaknya untuk sementara ini dia nggak bakalan macem-macem sama kita."

Marsha mengangguk. "Jangan sampai lo kebawa emosi kalau dia macem-macem lagi."

"Iya... masuk yuk." Mona mengamit lengan Marsha dan membawanya masuk kelas bersama.

Dan saat sampai di ambang pintu, tiba-tiba ada yang memanggil nama mereka berdua. Mei, senior mereka di Mading berjalan mendekat.

"Mon, lo mau nggak gue kasih tugas?" Tanya Mei seketika.

"Apaan, Kak?"

"Lo kan kemarin berhasil undang Arfin di youtube lo, nah... sekarang gue pengen lo bikin artikel tentang profil Arfin dan berbagai prestasinya. Boleh dari podcast lo boleh dari wawancara dia lagi. Minggu depan kan udah ganti bulan, nanti sekalian kita terbitin langsung. Gimana?"

Dahi Mona terlipat lalu menoleh ke Marsha. Setelah gak lama menatap sahabatnya itu, tercetus lah suatu ide.

"Marsha aja yang bikin kak. Dia kan yang lebih -AW!" Mona memekik saat Marsha mencubit pinggangnya. Sebenarnya dia ingin bilang Marsha yang lebih dekat sama Arfin, tapi urung setelah mendapat kode keras itu. "-lebih jago soal tulis menulis, Kak," lanjut Mona, akhirnya.

"Oh gitu?" Mata Mei pun beralih ke Marsha. "Tolong ya, Sha... mau kan?"

Marsha tersenyum terpaksa.

"Oke, deal!" Mei memutuskan secara sepihak. "Pokoknya minggu depan pas mading terbit harus udah ada, ya?"

"Iya Kak, diusahain."

Setelah puas mendengar jawaban itu, Mei pun akhirnya berlalu.

Menyisakan decak cemas pada Marsha. "Gue kan cuma suka nulis puisi... Nulis profil Arfin? Bisa nggak, ya?"

"Bisalah, pasti bisa! Konsepnya tinggal nyontek di google kan gampang. Ntar gue bantuin deh," ujar Mona menyemangati.

"Bener, ya?"

"Iya... lo kan udah bantuin gue bujuk Arfin, masa gue nggak bantuin lo?"

"Oke."

Jam pertama di kelas Marsha adalah pelajaran Matematika -yang menjadikan cewek itu merasa jadi cewek paling bego sedunia karena susah menangkap pelajarannya.

Seperti biasa, Bu Ana, guru yang paling menjunjung tinggi nilai kedisplinan, masuk kelas begitu bel berbunyi. Beliau membawa banyak kertas yang membuat jantung anak-anak mulai mencelos tak beraturan.

"Assalamualaikum, anak-anak, hari ini kita ulangan dadakan. Silakan semua buku dimasukkan, sisakan alat tulis di atas meja."

NAH, KAAAAN?

"Yaaaah, Bu... belum siaaaap."

"Besok aja Bu, ulangannyaaaa."

"Kan semalam sibuk ngerjain PR yang dikasih Bu Ana kemarin, jadi nggak sempet belajar...."

Suara-suara protes itu datang dari anak-anak di belakang, yang belajarnya hanya jika tahu besoknya ada ulangan, alias sistem SKS (sistem kebut semalam).

Rizki sang ketua kelas pun merasa perlu bertanggung jawab atas sikap teman-temannya, lalu berseru, "HEI KALIAN, JANGAN MALU-MALUIN GUE DOOONG, YUK BISA YUK." Lalu tersenyum ke arah Marsha yang sekarang tengah memperhatikannya.

"Ibu nggak nerima alasan apapun, ya? Ibu kasih PR kan juga biar sekalian untuk belajar. Yang belum siap bisa dipastikan nggak ngerjain PR atau nyontek jawaban temen," kilah Bu Ana.

Seisi kelas pun akhirnya hanya bisa pasrah saat Bu Ana mulai membagikan soal ulangannya. Apalagi Marsha. Dia memegangi kepalanya sambil bergumam, "mati gue!" Melihat soal-soal di kertas ulangannya langsung membuatnya migrain. Dia butuh obat, tolong! Bukan obat penghilang pening, lebih tepatnya dia ingin obat untuk pengencer otak, biar tidak bebal!

Ulangan dilaksanakan selama 2 jam pelajaran. Yang artinya mereka harus menyelesaikan 10 soal penuh rumus hanya dalam waktu 90 menit. Selama itu Marsha lebih sering gark-garuk kepala daripada menulis jawaban. Ada sih beberapa yang berhasil dia jawab, entah betul atau tidak, yang penting tulis aja dulu. Sampai akhirnya waktu yang diberikan berakhir, dan ada 3 jawaban dari Marsha yang ditulis asal-asalan.

"Lo bisa, Mon?" Tanya Marsha setelah mereka mengumpulkan kertas ulangan ke meja guru.

"Bisa donggg...." jawab Mona dengan senyum percaya diri.

"Oke karena banyak yang keberatan dengan ulangan dadakan ini, maka Ibu kasih tahu sekarang kalau minggu depan kita akan ulangan lagi." Mata Bu Ana menyapu ke semua anak yang kali ini tidak bisa protes. "Ibu mau bandingin nilai kalian saat ulangan dadakan sama yang nggak dadakan."

"Gitu dong, Bu, cakeeep...."

"Pokoknya kita nggak bakal kecewain Ibu deh! Asli!"

Begitulah seruan girang anak-anak cowok di belakang. Setelah melempar senyum pada mereka, Bu Ana pun pamit.

Membayangkan nilai ulangannya yang pasti lagi-lagi jeblok, Marsha menghela napas panjang, badmood seketika. Dia bahkan tidak peduli saat Mona dengan kesalnya membacakan komentar anak-anak di grup chat yang berspekulasi sendiri kalau pagi ini Marsha berboncengan dengan Arfin karena melakukan hal serupa yang pernah dia lakukan : pura-pura jatuh dan keseleo. Marsha hanya tertawa garing menanggapinya.

Sampai bel pulang sekolah berbunyi pun suasana hatinya yang buruk masih berlangsung. Dia menyuruh teman-temannya untuk keluar kelas lebih dulu karena masih ingin merenung. Merenungi kebodohannya dalam matematika.

Marsha mengeluarkan kertas-kertas ulangan matematikanya yang sudah bernilai. Menghela napas ketika melihat nilai terbaiknya hanya 70. Nilai paling bagus itu, catet! Padahal kan dia sudah rajin ikut kelas tambahannya Bu Ana, tapi nilainya tetap jeblok-jeblok.

Rizki yang tak urung memperhatikan kemurungan Marsha pun hendak menghampirinya untuk bertanya. Tapi niat hanyalah niat saat Arfin tiba-tiba datang dan mendahuluinya. Sudahlah, kali ini dia benar-benar nyerah! Dengan lesu Rizki pun keluar, meninggalkan mereka berduaan di kelas itu.

"Cantik-cantik ya nilainya," ujar Arfin tiba-tiba.

"Astaghfirullahal'adzim!" Jantung Marsha hampir copot karena tiba-tiba saja ada yang duduk di sebelahnya dan mengomentari nilainya.

"Kalau masih gagal, coba ganti suasana belajarnya," saran Arfin kemudian.

"Maksudnya?"

Arfin tersenyum menyuruh Marsha menebaknya.

Secrets (Season #1)Where stories live. Discover now