8 || Membuka Hati

16 5 0
                                    

Tumben sekali pukul setengah tujuh pagi Marsha sudah sampai di sekolah. Semalam dia bener-bener tidak bisa tidur. Meski begitu matanya tetap saja segar, tidak ngantuk sama sekali. Seolah  dia memang sedang ingin terus terjaga.

Kejadian semalam terus saja terngiang-ngiang di otak Marsha. Juga sikap manis Arfin. Itu yang menyebabkannya susah tidur. Meskipun kini dia berusaha menyibukkan diri dengan PR matematika yang tidak sempat dia kerjakan di rumah, dia sama sekali tidak bisa konsentrasi. Pikirannya kini sedang penuh oleh Arfin.

***

Flashback

"Arfin!" Marsha memanggil cowok itu setelah melepaskan rangkulan tangan ayahnya. Setengah berlari dia menuju Arfin yang menyambutnya dengan senyum.

"Gue mau bilang makasih-"

"Kirain apaan." Arfin memotong kata-kata Marsha. "Sekarang kamu masuk, mandi, makan... Habis itu mau ngomong apapun, terserah."

"Mau nunggu?" tanya Marsha.

"Seribu tahun juga nggak papa aku tunggu."

Gombal banget! Setelah mengangguk, Marsha berbalik kembali menuju rumah. Di ambang pintu, Ayah sudah menunggu dengan tangan menyilang di depan dada lalu berkata lirih saat Marsha di depannya, "Kecil-kecil sudah tahu pacaran!"

"Bukan, Yaah...." Marsha masuk rumah, tidak lagi menggubris saat Ayah dibelakangnya berseru pada Arfin, "Heh, kamu! Sini masuk! Ayah mau kasih wejangan!"

Deg!!

Apaan sih Ayah? Sebenarnya Marsha ingin mencegah pikiran aneh ayahnya, tapi dia sudah terlalu lelah. Ingin segera mandi. Akhirnya Marsha membiarkan saja Ayah melakukan apapun terhadap Arfin.

10 menit kemudian, setelah selesai mandi, Marsha muncul ke ruang tamu, tempat suara Ayah dan Arfin terdengar. Sejujurnya, Marsha takut Ayah akan memarahi Arfin karena mengira Arfin pacarnya. Dari SMP Ayah memang sangat ketat kalau sudah berhubungan dengan cowok. Tidak ada yang berani mendekati Marsha setelah mereka main ke rumah dan bertemu Ayah.

"Yang bagian itu kunci G lanjut E minor."

"Oh."

Marsha speechless saat mengintip mereka sedang asyik mencoba chord gitar sebuah lagu. Ayah memetik gitar sambil melantunkan potongan lirik lagunya Ebiet G. Ade. Kok bisa, sih? Pikir Marsha. Aneh banget Ayah bisa didekati secepat itu. Marsha pikir Arfin akan diinterogasi atau bahkan diusir!

"Nah itu pas," komentar Arfin disambut senyum puas Ayah.

"Iya ya, haha.... Kamu hafal juga ya lagunya Kang Ebiet?"

"Wah semua lagunya Mbah Ebiet saya hafal semua. Sampai chord gitarnya juga."

"Kayaknya lagi asyik, aku ganggu nggak nih?" Marsha muncul dengan wajah riang.

"Duduk sini, Nak."

Marsha duduk di sofa depan mereka lalu mengalihkan perhatiannya kepada Arfin.

"Fin, aku mau ngucapin makasih, kamu udah belain aku tadi. Nggak tahu deh gimana jadinya kalau nggak ada kamu." Kening Marsha berkerut. Aneh. Kok dia jadi nyaman ya, ngomong pakai aku-kamu ke Arfin?

"Udah itu aja?"

Marsha mengangguk polos.

"Tahu gitu mending aku pulang dari tadi."

"Ih kan kamu sendiri yang bilang mau nunggu," ujar Marsha, cemberut.

"Anaknya kok cantik sih, Yah," mendadak Arfin mengeluarkan jurus rayuan mautnya kepada Ayah yang masih sibuk dengan gitarnya. Marsha sampai melotot mendengar Arfin memanggil ayahnya dengan panggilan yang sama. "Mau lagi cemberut, mau marah...." Arfin beralih menatap Marsha intens. "Apalagi kalau senyum," lanjutnya.

Secrets (Season #1)Where stories live. Discover now