19 || Jatuh Cinta itu Sakit

12 3 1
                                    

Perasaan Arfin tidak kunjung membaik meskipun sudah seharian hanya bermain game online di kamar. Hatinya sakit bukan karena malu rahasianya terbongkar ke permukaan publik. Pandangan orang terhadap dirinya pun dia tidak peduli. Yang dia sesalkan adalah : kenapa di saat dia memberikan cinta dan kepercayaan penuh kepada Marsha, gadis itu malah menghancurkannya dalam sekejap?

Inilah alasan kenapa Arfin bersembunyi di sini. Dia ingin berusaha memadamkan semua emosinya dan rasa kecewanya kepada Marsha. Berkali-kali dia mencoba berpikir jernih, tapi gagal. Berbagai dugaan tentang motif apa yang Marsha miliki sampai dia melakukan ini terus berseliweran di otak Arfin. Kenapa?

Kenapa, kenapa, kenapa! Terus saja kenapa hingga tempurung kepalanya sakit.

Layar Smartphone yang dia letakkan di atas meja belajar menyala, menampilkan nama "Marsha" yang sedang berusaha menghubunginya. Arfin terhenyak di atas kursinya. Dia tidak salah lihat, kan? Tangannya secepat kilat bereaksi dengan menggeser tombol penerima panggilan ke atas lalu menempelkan smartphonenya ke telinga. Dia bahkan terkejut sendiri atas tindakannya ini.

"Halo? Halo? Arfin?"

Hati Arfin menghangat saat mendengar suara lembut itu menyapanya. Dia ingin balas menyapa. Tapi di sisi lain dia masih bingung dan kecewa, sampai tidak tahu apa yang seharusnya dia lakukan. Dia hanya diam, tidak membalas sepatah katapun.

"Arfin, aku tahu kamu lagi dengerin aku," lanjut suara Marsha. "Kamu di rumah, kan? Keluar, ya? Aku di depan rumah kamu, pengen ngomong-"

Tut-tut-tut....

Arfin memutus sambungan telepon lalu turun dari kursinya menuju jendela balkon kamarnya. Dia menyibak kordennya hingga membentuk celah lalu mengarahkan tatapannya ke bawah, ke depan gerbang rumahnya. Ke arah Marsha.

Marsha benar-benar ada di sana. Berjalan mondar-mandir gelisah. Arfin terus melihatnya dengan perasaan keruh yang tidak bisa dia jelaskan. Sampai akhirnya suara ketukan di pintu membuatnya terkejut.

"Arfin, boleh masuk nggak?"

Suara Viona terdengar di balik pintu. Untung pintunya sudah dia kunci, jadi Viona tidak bisa sembarangan masuk. Tapi jujur saja, kehadiran Viona bersama Pak Freddy, papanya, membuat keadaan semakin memburuk. Pak Freddy bilang mereka tidak peduli dengan status Arfin yang bukan anak kandung sahabatnya, Hermawan.

Arfin tahu modus Pak Freddy menjodohkannya dengan Viona. Beliau ingin agar perusahaannya bisa diakuisisi oleh perusahaan Internasional milik keluarganya. Iyalah, perusahaan itu milik keluarga mamanya. Jadi tidak masalah kalaupun dia bukan anak kandung papanya.

"Ngapain ke sini?" tanya Arfin tanpa membuka pintu. Dia sudah kembali ke meja belajarnya, mengabaikan Marsha, meski pikirannya terus tertuju pada cewek itu.

"Pengen lihat keadaan kamu. Dari tadi di kamar terus. Keluar yuk, jalan-jalan?"

"Ke mana?"

"Pokoknya ikut aja, aku jamin kamu bakal lupain semua masalah kamu."

Faktanya, Arfin memang sedang butuh udara segar agar pikirannya tidak selalu tertuju pada Marsha dan rasa kecewanya. Jadi tanpa pikir panjang lagi, dia segera menuju pintu dan membukanya.

"Ayo," katanya.

Viona tersenyum lebar melihat kemunculan Arfin. Meski Arfin tidak membalas senyumnya dan masih terkesan dingin, setidaknya Arfin masih mau menerima ajakannya. Itu saja bisa membuat Viona jadi sebahagia ini.

Marsha duduk di kursi panjang samping gerbang rumah Arfin, tepatnya di bawah lampu jalan yang berwarna kuning temaram. Kedua tangannya menggenggam smartphone yang layarnya menyala. Matanya hampir tidak berkedip menatap layar itu. Dia masih berusaha menghubungi Arfin meskipun tidak ada tanggapan sama sekali setelah Arfin memutus kontak mereka tadi.

Dia berdiri secara mendadak saat melihat gerbang rumah Arfin dibuka dan sebuah mobil berwarna hijau daun keluar dari sana. Mobil itu berbelok ke arahnya. Dia bisa melihat Arfin dan Viona di dalam mobil melalui kaca depan.

Arfin pura-pura tidak lihat atau memang tidak lihat beneran, sih? Marsha mengerutkan kening, sementara Viona yang duduk di kursi setir menatapnya remeh.

"ARFIN!" Marsha berseru memanggil tepat saat mobil itu sampai di depannya dan melewatinya. Dan Marsha bernapas lega merasakan ada secercah harapan ketika mobil itu berhenti tiga meter darinya. Arfin keluar lalu menghampirinya.

"Masih di sini?" Arfin bertanya dengan nada sedingin kutub.

"Aku mau jelasin yang di Mading... Aku-"

"Gue percaya bukan lo pelakunya. Udah, kan? Puas? Udah sana pulang, gue mau pergi, tuh udah ditunggu Viona."

Marsha merasa sakit hatinya saat mendengar Arfin memakai Lo-gue lagi dengannya. Lebih-lebih saat Arfin memilih untuk tetap pergi bersama Viona. Dia pikir Arfin menemuinya karena sudah tidak marah. Sakit hati, marah, cemburu, berkumpul di dada Marsha hingga sesak.

Marsha menggigit bibir untuk menahan air matanya yang sudah menggenang di pelupuk. Air mata Marsha baru jatuh satu per satu setelah Arfin memunggunginya. Diliputi perasaan kecewa, dia melepas tas selempangnya lalu melemparnya ke punggung Arfin keras-keras saat cowok itu baru beberapa langkah berjalan.

"Gue benci sama lo!"

Marsha berteriak melampiaskan kekesalannya, lalu diam menunggu reaksi Arfin. Ternyata Arfin tidak menengok lagi ke belakang meski punggungnya kena timpukan tas Marsha. Arfin hanya diam sekejap lalu meneruskan langkahnya menuju mobil dan masuk, tanpa peduli lagi seperti apa keadaan Marsha sekarang.

Putus asa karena Arfin tidak lagi memedulikannya, Marsha berjongkok mengambil tasnya. Menyembunyikan wajahnya yang sedang tersedu. Memikirkan betapa konyol dirinya sekarang. Harga dirinya remuk, jatuh sejatuh-jatuhnya.

Apa sih yang dirinya harapkan? Kenapa rela jauh-jauh datang ke sini hanya untuk menerima penolakan dari Arfin?

Marsha baru tahu ternyata mencintai seseorang bisa sesakit ini.

Secrets (Season #1)Where stories live. Discover now