18 || Secret

12 2 4
                                    

Pagi ini Marsha cerah. Waktu datang ke sekolah berdua dengan Arfin, dia tidak kabur duluan seperti kemarin. Dia bersedia masuk bersama cowok itu. Bahkan bersedia saat Arfin menautkan kesepuluh jari mereka. Bergandengan menuju kelas. Marsha sudah tidak peduli lagi dengan cemoohan anak-anak. Atau lebih tepatnya, dia sudah terbiasa.

Namun, ketika masuk gedung sekolah mendadak atmosfer menjadi aneh. Anak-anak yang mereka lewati menunjuk-nunjuk saat mereka lewat, berbisik-bisik. Awalnya Marsha kira itu efek karena dia jalan bersama Arfin, tapi ternyata bukan. Mata mereka hanya fokus pada Arfin.

Marsha menoleh pada Arfin dan tidak melihat tanda Arfin curiga dengan situasi ini. Cowok itu terkesan cuek. Apa gue yang berlebihan, ya? batin Marsha.

Sampai puncaknya, saat mereka melewati papan mading dan melihat banyak anak berkerumun di sana, membaca artikel yang ditulis Marsha.

Terdengar suara-suara menggaung tidak jelas memperbincangkan tulisan itu. Marsha semakin curiga. Apa ada yang salah ya tentang profil Arfin yang dia tulis? Arfin yang tak merasakan firasat apapun malah menarik tangan Marsha menuju lokasi itu karena penasaran. Marsha pun ikut penasaran.

Menyadari kehadiran Arfin, satu persatu anak mulai membubarkan diri. Ini yang membuat Arfin akhirnya mulai curiga. Dia memberikan tatapan bingung pada Marsha tapi cewek itu hanya mengedikkan bahu pelan.

Sampai tak ada siapapun yang tersisa di sana, Arfin dapat melihat artikel yang diketik rapi tertempel di papan mading yang berpintu kaca.
Masih menggenggam tangan Marsha, Arfin mengajaknya mendekat. Mereka berhenti saat di jarak yang pas untuk membacanya. Mata Arfin melekat erat pada artikel itu.


♥️5 Fakta tentang Arfin ♥️

1. Jenius dari lahir
2. Tidak mau pacaran
3. Cita-cita menjadi Dokter spesialis dalam
4. Hobinya olahraga panahan
5. ANAK HARAM
Dia hanya BERKEDOK SEMPURNA! Nggak punya PAPA! Mamanya yang dari keluarga terhormat “Ishida” rupanya sudah hamil dengan laki-laki lain sebelum menikah dengan papanya yang sekarang. Papa biologisnya lari ke luar Negeri meninggalkan mamanya.

Jantung Marsha mencelos setengah mati. Dia hampir tidak bisa bernapas sekarang. Dia sampai membaca poin nomor 5 berulang-ulang, tidak percaya bahwa artikelnya sudah berubah. Dia sama sekali tidak tahu menahu soal ini. Siapa yang tega menggantinya dengan tulisan macam ini?

Pelakunya pasti menonton podcast Mona bersama Arfin karena poin-poinnya yang ditulis sama kecuali poin nomor lima.

Masih shock dan menggigit bibir, Marsha menoleh pada Arfin untuk memastikan keadaannya. Marsha melihat perubahan ekspresi Arfin dari mengerutkan kening sampai hanya ada tatapan kelam dan kosong.

“Fin...” Tangan Marsha yang yang bebas dari genggaman tangan Arfin ikut menggenggam tangan cowok itu.

Arfin menoleh padanya, bertanya dengan tatapan dan nada yang sama datarnya, “Lelucon apa sih ini?”

“Bukan...” Marsha menggeleng. Sebenarnya dia ingin bilang “Bukan aku yang menulisnya,” atau, “Aku nggak tahu siapa,” atau apapun yang bisa membuat Arfin percaya bahwa dia memang tidak tahu apa-apa, bahwa itu bukan dia yang menulis. Tapi entah kenapa lidahnya kelu. Dia tidak mampu menjelaskan apapun. Tanpa sadar hatinya sakit saat melihat sorot mata Arfin yang tengah menuduhnya.

Meski Arfin bilang hanya Marsha yang tahu rahasia masa lalunya, tapi Marsha yakin ada orang lain yang tahu. Dan orang itu sedang menfitnahnya. Hanya air mata yang mewakili perasaan Marsha sekarang, menggantung di pelupuk matanya, siap jatuh.

Dengan gerakan perlahan, Arfin menarik tangannya agar terlepas dari genggaman tangan Marsha. Arfin benar-benar tidak mau menunjukkan emosi apapun padanya. Arfin melangkah melewatinya dan berlalu.

Meninggalkannya.

Tangis Marsha langsung pecah tak bisa dia bendung lagi. Dia tahu hati Arfin sehancur  apa sekarang. Dia menangis karena tidak berdaya untuk menahannya tetap disini bersamanya, percaya padanya.

“Marsha?”

Marsha menoleh dan buru-buru menghapus air matanya saat melihat Rian  menghampirinya.

“Nama lo Marsha, kan?”

“Iya, Kak.” Marsha tersenyum tipis menyadari Rian baru saja menanyakan namanya padahal ini sudah 3 kalinya mereka saling menyapa.

“Lo nangis?” Rian mengernyitkan dahi lalu menoleh pada poster di Mading.

“Gue nggak papa kok, Kak.”

“Tadi habis baca gue nyari-nyari orang Mading, mau nyuruh buat dicopot aja. Tapi ternyata Mei yang pegang kunci belum datang. Cuma Mei kan yang pegang kunci? Apa dia yang nulis ini?”

“Gue yakin bukan Kak Mei, Kak. Anak Mading yang lain juga nggak mungkin. Mereka kemarin sama gue nerbitin ini bareng-bareng.”

“Kok bisa ya? Jangan-jangan pelakunya beraksi setelah kalian pulang.”

Marsha menggeleng. “Lagian nggak ada yang dekat sama Arfin. Dari mana mereka bisa tahu tentang Arfin?”

Kening Rian bertaut. “Maksud lo, yang tertulis di mading itu bener? Kalau Arfin itu anak.....”

“Nggak tahu, Kak.” Marsha buru-buru menggeleng, biar spekulasi Rian menguap.

“Ya udah siapapun pelakunya, kalau ketemu biar dihukum sama Pak Pri,” ujar Rian menyebut guru BP mereka. “Kalau perlu dikeluarin dari sekolah.”

Marsha tersenyum kecil untuk menyetujui perkataan Rian.

Rian menepuk lengan Marsha untuk menyemangati. “Bilang ke Arfin nggak usah dipikirin hal-hal kayak gini. Tetep semangat!”

Marsha tersenyum mendengar motivasi itu. “Iya, makasih Kak,” ucapnya. “Gue ke kelas dulu ya, Kak.”

Rian menjawabnya dengan anggukan.

Di kelas, teman-temannya segera berbaur menghampiri saat melihat Marsha masuk kelas. Mona, Lani, Rara, dan beberapa temannya yang lain.

“Kok artikelnya bisa berubah sih, Sha?”

“Itu bener apa hoax sih?”

“Pasti hoax, kan?”

Marsha mendadak seperti orang linglung. Pusing mendengar pertanyaan mereka yang bersusul-susulan. Dia berjalan melewati mereka sambil mengibas-ngibaskan tangannya tanda tidak ingin diganggu dan jangan tanyakan apapun dulu padanya. Saat Vidy mau menginterogasinya pun, Marsha hanya mendelik galak.

“Nanti jam istirahat gue ajak ke kelasnya Kak Mei ya, Mon?” ajak Marsha setelah mencapai tempat duduknya.

“Kak Mei kan udah datang, tadi papasan di gerbang sekolah,” ujar Mona. “Nggak  sekarang aja?”

“Yuk, Mon.” Marsha tak sempat memikirkan apapun lagi. Dia bangun dari tempat duduknya lalu berjalan melewati tubuh teman-temannya menuju pintu kelas dan keluar. Disusul Mona di belakangnya. Setengah berlari, Mereka menuju kelas 11 IPA 3 di lantai 2, kelasnya Mei.

Di tengah jalan, tepatnya di bawah tangga menuju lantai 2, mereka berpapasan dengan Viona yang baru keluar dari kamar mandi. Saat melihat mereka, Viona melotot sambil menyilangkan tangan di dada.

“Kalian kan, biang keroknya? Gue tahu kalian anak Mading!”

Marsha membalas Viona hanya dengan tatapan, “Apa sih sok tahu” nya. Kemudian cepat-cepat lagi berlalu dari situ. Marsha sudah tak sabar mengetahui kebenaran.

“WOI!! GUE NGOMONG SAMA KALIAN! SONGONG BANGET SIH!”

Marsha maupun Mona tidak menggubris teriakan cempreng Viona. Mereka menaiki tangga itu dan saat sampai di anak tangga paling atas, mereka langsung menemukan Mei di depan kelasnya sedang membuang sampah.

“Kak Mei!” Marsha memanggil dengan napas tersengal.

Mei menoleh dan heran melihat mereka datang menghampirinya dengan napas ngos- ngosan.

“Ada apa nih? Kayaknya serius banget?” tanyanya.

“Emang Kak Mei belum baca yang di Mading apa? ” Marsha balik bertanya.

“Ngapain baca mading? Kan kita yang terbitin kemarin.” Mei mengernyit membenarkan letak kacamatanya, tidak mengerti kehebohan ini.

“Tulisan Marsha berubah, Kak, bukan kayak kemarin. Ini isinya jelek-jelekin Arfin gitu.” Mona yang menjawab.

“Bentar-bentar, gue lihat dulu.” Mei mengecek mading online di ponselnya, ternyata di situ artikel Marsha juga berubah. Padahal kemarin dia sudah mengecek ulang setelah semua diupload oleh Erin. Tidak ada yang salah. Mei mengernyit kebingungan. “Ya udah yuk ke bawah.”

Mereka bertiga pun turun menuju papan Mading, dan Mei langsung melakukan tindakan. “Print lagi file yang kemarin, Sha. Kita pasang lagi, copot yang ini.”

“Iya, Kak.”

Marsha pun masuk ruang mading sibuk mencari file di komputer itu, sementara Mei mencopot artikel yang sudah meresahkan seluruh penghuni sekolah.

Marsha mencelos karena setelah dia cari-cari, artikel yang dia tulis sudah berubah menjadi persis apa yang tertulis di mading saat ini! Matanya membelalak seketika.

“Kok bisa sih, Sha?” Mona yang turut melihat jadi ikutan cemas.

“Gimana, Sha?” Mei pun muncul karena Marsha yang ditunggu-tunggunya di papan mading tak kunjung datang. Dia pun mengucap Istighfar begitu melihat tulisan itu. “Kok bisa berubah, sih?”

“Gue juga bingung, Kak.” Marsha sudah tidak mampu berpikir lagi.

“Ya udah kita kosongin aja bagian Headline. Kamu tulis lagi aja ya, Sha? Cuma point ke-5 kan yang beda?” Pinta Mei. “Siapa sih yang rese bikin ulah kayak gini?”

“Kunci mading cuma ada di Kak Mei, kan?” tanya Marsha.

“Apa mungkin kunci Mading ada serepnya?” Mona menambahkan masuk akal.

“Nggak tahu. Kalaupun ada sih kemungkinan dipegang Pak Yanto, guru pembina Mading atau Ketua OSIS?”

Marsha tercekat saat mendengar Ketua OSIS disebut. Kak Mustofa? Tidak nyambung, sih. Karena Marsha juga tidak pernah melihat Arfin bahkan menyapa orang itu, apalagi ngobrol. Jadi tidak mungkin Ketua OSIS pelakunya. Apalagi Pak Yanto, jelas tidak mungkin.

“Jangan galau gitu dong, Sha.” Mona menepuk bahu sahabatnya, mencoba menghibur. “Kita juga belum tahu kan tulisan itu hoax apa nggak? Nggak mungkin juga Arfin nuduh kita yang masang, apalagi lo.”

Lo salah, Mon, batin Marsha. Arfin sudah menuduhnya. Selain karena dia sudah bilang ke Arfin mau menulis artikel tentangnya, hanya dia pula yang diberitahu rahasia ini oleh Arfin.

Marsha menghela napas panjang untuk menguatkan hati.


***

Arfin tidak terlihat batang hidungnya sampai bel pulang sekolah berbunyi.

Sementara itu, kabar berita bahwa Arfin sebenarnya anak haram santer tersiar di grup sampai tidak ada satupun makhluk di sekolah yang tidak tahu hal itu. Semua pro dan kontra tentang kebenarannya. Ada yang membenarkan karena Arfin tidak masuk dan mereka pikir pasti Arfin merasa malu, ada pula yang menolak kenyataan itu karena menganggap Arfin terlalu sempurna untuk memiliki latar belakang semacam itu.

Marsha merapikan buku-bukunya, memasukkannya ke tas, lalu mendengus sebal. Dia membodoh-bodohi sikap Arfin yang memilih untuk menghilang dan menghindar. Coba Arfin  tetap masuk sekolah dan bersikap normal saja, pasti semua penduduk sekolah tidak akan percaya artikel itu. Sekarang semua anak mengira dia menghindar karena malu.

“Mending lo ke rumah Arfin aja, ajak ngobrol, cari tahu itu benar apa hoax. Daripada lo galau terus gitu,” saran Mona. “Lo udah tahu rumahnya, kan?”

“Emang pantes gitu cewek nyamperin cowok?”

“Yaelah jaman sekarang cewek cowok sama kali. Demi cintaaa....” Mona menaik- naikkan alis menggoda Marsha.

Layak dicoba sih saran Mona, pikir Marsha.

Secrets (Season #1)Where stories live. Discover now