13 || The Podcast

11 5 0
                                    

Marsha merasa hari ini malah jadi hari terburuknya. Gara-gara treatment facial kemarin gagal total! mukanya yang mulus tiba-tiba saja dihampiri dua jerawat besar di tulang pipi sebelah kanan dan dahi. Dia menemukannya persis setelah bangun tidur. Ini semua gara-gara Mona! Rambutnya jadi bagus sih setelah creambath, tapi facialnya ternyata tidak cocok di mukanya. Mona harus bertanggung jawab!

Di sekolah, Marsha makin down saat menemukan muka Mona yang semakin kinclong.

“Ya ampun, Sha, sori... Gue nggak tahu kalau nggak cocok di muka lo. Besok gue bawain obat totol buat keringin jerawat lo, ya? Gue jamin ampuh!” ucap Mona dengan ekspresi  bersalah.

“Yakin nggak bikin jerawat gue makin parah?” Marsha skeptis.

“Di coba aja dulu.”

“Ya udah. Sini PR Kimia lo, gue mau nyontek,” todong Marsha.

“Nih, salin sepuas lo deh.”

Marsha nyengir, membuka buku Kimia Mona lalu menyalinnya. Dia memang paling bego kalau sudah ketemu sama rumus. Tapi kalau ketemu mapel bahasa, entah itu bahasa Indonesia atau Inggris, dia paling jago. Dia suka membuat kalimat, cerita, pantun, puisi. Makanya dia ingin mencoba membuat puisi untuk dimusikalisasi saat pensi nanti.

Seharian di sekolah, Marsha tidak mau keluar kelas sama sekali. Jajan juga dia nitip Mona pas ke kantin. Dia tidak mau bertemu Arfin dengan kondisi wajah seperti diantup tawon begini.

Sampai akhirnya bel pulang sekolah berdering, Mona meminjam kunci ruang Mading ke Kak Mei, sang pemegang kunci. Kemudian membawa semua keperluan podcastnya dari  dalam mobil ke ruang Mading.

Ada kamera lengkap dengan microphonenya yang berdiri tegak dengan bantuan standing tripod serta lighting yang sempurna. Dia meletakkan semuanya di depan meja yang akan digunakan untuk podcast, dengan kursi yang posisinya bersebelahan meskipun jaraknya dibuat agak jauh. Persiapannya yang sederhana selesai dengan cepat.

Lani mengajukan diri untuk ikut mewawancarai Arfin, sementara Marsha dan Rara memilih jadi penonton saja dan duduk di kursi yang tidak terekspos oleh kamera.

Mona sudah berdandan cantik dengan bando mutiaranya di atas kepala dan sudah selesai juga mendandani Lani, tapi Arfin belum muncul juga. Padahal sekolah juga sudah mulai  sepi karena para siswa sudah pulang ke rumah masing-masing.

“Duh, Arfin kok nggak datang-datang, ya? Sha, lo nggak ngibul kan waktu bilang Arfin bersedia diwawancara?” tanya Lani, gelisah.

“Sabar atu, Bebs.” Mona menjawab tenang sementara Marsha mendelik pada Lani.

“Si Lani masih bucin, ih?” kekeh Rara.

Marsha mengeluarkan buku Hujan Bulan Juni untuk berjaga-jaga, agar saat Arfin datang, dia akan segera menutupi mukanya yang jerawatan dengan buku itu.

“Lo udah bikin puisinya, Sha?” Mona bertanya saat melihat buku yang dipegang  Marsha.

“Belum. Ini lagi cari inspirasi.”

Dan perhatian mereka akhirnya teralih saat mendengar suara-suara cowok di luar.

“-kita duluan, Bos, kalau gitu.”

“Oke.”

Lalu Arfin dengan jaket hitam dan ransel di bahu kirinya muncul di ambang pintu. “Hai, Arfin.” Mona dan Lani kompak menyapa. Mereka sudah duduk di tempatnya masing-masing di depan meja. Arfin membalas dengan senyum ramah.

“Sini-sini, masuk.” Lani menambahkan. Tapi perhatian Arfin beralih pada cewek yang  duduk di samping pintu di depannya, yang sedang menutupi mukanya dengan buku. Meski tidak melihat wajahnya, Arfin tahu kalau itu Marsha. Dia lalu menghampiri dan menarik buku itu ke atas, menampakkan wajah Marsha.

“Kenapa wajahnya ditutup?" tanya Arfin.

Dengan berdebar, Marsha hanya membalas tatapan Arfin tanpa kata.

“Simpen dulu di tas.” Arfin mengulurkan buku itu kembali ke Marsha.

Entah kenapa Marsha langsung buru-buru memasukkan bukunya ke dalam tas. Setelah puas melihat wajah manis Marsha, Arfin duduk di kursi yang sudah disediakan. Meletakkan ranselnya di bawah. Wajah Marsha jadi seperti orang bego karena heran, kok Arfin  tidak komentar apapun soal jerawatnya? Jangan-jangan dia yang overthinking?

“Kayak gitu aja gue udah cemburu, tahu nggak?” bisik Lani ditelinga Mona setelah melihat perlakuan Arfin pada Marsha tepat di depan matanya. Tapi yang dibisiki malah senyam  senyum tidak jelas. Menurutnya interaksi mereka itu so sweet banget.

“Kita kenalan dulu, ya? Gue Mona, ini Lani, Rara. Marsha nggak usah lah, ya?” Arfin menatap Marsha yang balas menyunggingkan bibir singkat.

“Pertama-tama gue mau ucapin makasih banget lo mau datang kesini menuhin permintaan Marsha untuk diwawancara.”

“Oke.” Arfin hanya menjawab singkat. “Gue setuju kalau setelah ini kalian undang siswa-siswa yang berprestasi, baik akademis maupun non akademis. Bukan siswa yang populer aja.”

Kata-kata Arfin membuat jantung Mona seperti tertusuk pisau tajam karena ternyata niatnya diketahui Arfin. Meskipun rasanya menohok tapi memang ada benarnya juga sih, lebih berfaedah kalau dia mengundang siswa berprestasi. Bukan hanya untuk menambah subscriber  dan cari popularitas.

“Tuh Mon, dengerin,” ucap Lani menyebalkan.

“Insya Allah ya, moga bisa Istiqomah bikin konten yang bermanfaat,” jawab Mona, tersenyum.

“Arfin mau minum dulu?”

“Boleh.” Arfin mengambil botol air mineral yang diberikan Lani, lalu meneguknya. “Tahu aja kalau lagi haus,” ujarnya kemudian.

“Bisa kita mulai sekarang?” tanya Mona pada Arfin.

“Bisa.”

Mona mengangguk. “Sha, tutup pintu dong. Dari tadi banyak yang ngintipin nggak jelas. Ntar malah ganggu konsentrasi.” Mona menyuruh Marsha karena posisinya yang paling dekat dengan pintu.

“Oke.”

Pintu pun ditutup, acara podcast segera dimulai.

Secrets (Season #1)Where stories live. Discover now