22 || Kisah Manis pun Dimulai (End)

13 3 0
                                    

Dua bulan kemudian...

Pensi Sekolah diadakan hari ini. Halaman Sekolah sudah ramai oleh para siswa meskipun acara baru saja dimulai dengan sambutan Pak Mulyadi, Sang Kepala Sekolah.

Arfin masih berdiri di depan Mading, termangu membaca artikel yang di tempel di papan. Judulnya masih sama : 5 fakta tentang Arfin. Bunyi semua poinnya juga masih sama, kecuali poin nomor lima. Tulisan fakta bahwa dia anak haram itu sudah berganti dengan :

5. Si Jenius yang berhasil mendapatkan beasiswa Harvard University Amerika meskipun dia tolak. Tapi sebagai gantinya dia langsung loncat ke kelas XI.
Jadi, manusia nggak bisa dilihat dari cara seperti apa dia dilahirkan, kan? Tapi dilihat dari tumbuh menjadi apa dia sekarang.

Bibir Arfin melengkungkan senyum tipis saat membaca bagian itu. Sejak poster itu diterbitkan dua bulan yang lalu, kabar tentang statusnya sebagai anak hasil di luar nikah tidak lagi menjadi gunjingan di sekolah. Seperti ditelan bumi, atau terbawa angin. Lenyap begitu saja.

Ini baru kerjaan Marsha, pikir Arfin, yang menyesali perbuatannya yang waktu itu dengan kejamnya menuduh. Tapi yang pasti, siapapun orang  yang melakukannya, pasti sedang iri atau ada dendam pribadi dengannya, entah siapa. Padahal Arfin merasa hidupnya selama ini lempeng-lempeng saja, tidak pernah dia merasa melakukan hal yang bisa menyakiti orang lain. Apa motif orang itu melakukannya?

Arfin mengangkat smartphonenya, membaca kembali isi chat yang dia dapatkan dari nomor tak dikenal.

Jangan senang dulu, itu baru permulaan. Sabar ya, kita masih punya banyak waktu untuk bermain-main.

Arfin yakin pemilik nomor ini adalah dalangnya. Awalnya Arfin ingin menyelidiki siapa dia sebenarnya. Tapi karena isi chat itu menyuruhnya untuk menunggu, oke, dia akan menunggu tamu kehormatan itu. Jangan pikir dia akan takut.

"Maafin gue, Sha, gue juga nggak pengen kayak gini...."

Arfin memasukkan kembali smartphone ke dalam saku lalu menoleh ke sumber suara serak itu berasal. Marsha dan Mona sedang berjalan ke arahnya dengan posisi Marsha memberenggut, tangannya menyilang di depan dada. Mereka berhenti saat sampai di depan Arfin.

"Semalam gue makan seblak ceker setan pedes banget dibawain sama Bintang. Mau nolak tapi sayang bangeeet," lanjut Mona, masih mengatupkan kedua telapak tangannya, memohon maaf yang sedalam-dalamnya.

Mona memang sepertinya kesulitan bicara karena tenggorokannya yang sakit. Padahal  hari ini dia harus tampil di panggung pensi untuk membawakan puisinya Marsha.

"Kalau gitu biar Marsha yang naik ke atas panggung?" usul Arfin.

"Uhuk. Iya gue juga udah mau bilang gitu ke Marsha. Ya Sha, ya... Please? Masa batal  sih, sayang banget."

Marsha yang sudah tahu akan kemungkinan ini berdecak. "Tapi kan gue malu."

"Malu itu kalau kamu plagiat karya orang." Arfin mencoba meyakinkan Marsha.

Akhirnya gadis itu menarik napas pasrah. "Ya udah deh."

Mona langsung berjingkrak dan bertepuk tangan. "Yeee...Yuk ke ruang Mading, uhuk, gue dandanin." Dia menarik tangan Marsha untuk masuk ke dalam ruang mading. Semua alat  make upnya, dress yang akan Marsha pakai, sudah dia taruh di dalam sana. Untung Mei dengan  senang hati meminjamkan kunci ruangan itu.

"Woi Bro!"

Tahu-tahu datang Didi yang merangkul Arfin dari belakang. Dia bersama Awan, Ridho, dan Brian menemui Arfin. Mereka sudah mengenakan jaket kulit sebagai kostum untuk unjuk gigi di atas panggung. Meskipun sudah tidak sekelas karena Arfin sudah di kelas 11, tapi mereka tidak mau kehilangan dia begitu saja.

Arfin mendapat hak istimewa itu setelah mamanya berhasil menolak beasiswa Harvard.

"Sebetulnya Mama juga nggak mau kamu pakai acara loncat-loncat kelas segala, tapi yah... Mama udah nggak bisa menangani Kepala Sekolahmu itu yang keras kepala. Mama cuma ingin kamu berproses seperti anak-anak seusiamu lainnya. Punya banyak teman, punya kenangan masa-masa sekolah yang indah. Setelah lulus SMA, terserah kamu mau menentukan masa depanmu sendiri seperti apa. Mau kuliah cuma setahun, dua tahun, mau ke Amrik, UK, Jepang, terserah kamu." Begitulah kata-kata yang dia ingat setelah Mama keluar dari ruang Kepala Sekolah.

Arfin memandangi teman-temannya yang mendadak stylish demi mendapatkan perhatian dari cewek-cewek satu sekolah. "Wuih, keren amat kalian, pada mau ngamen di mana?" komentarnya.

"Ayolah ke depan. Bentar lagi kita tampil, nih. Ngapain masih di sini?" ujar Awan tak  sabar. Agak gugup juga.

"Tau nih Arfin, kayaknya lagi nungguin si Yayang. Bener, kan?" Didi menambahkan.

"Kalian duluan ke depan sana, gue nyusul," Arfin tidak menyangkal.

"Nggak ada nyusul-nyusulan. Lo harus ikut, nonton penampilan kita." Didi memaksa.

"Denger nggak tuh!" Awan  mengarahkan telunjuknya ke udara, meminta teman-temannya mendengarkan. "Tuh Pak Mul udah mau selesai sambutannya."

Otomatis teman-temannya menajam telinga, mendengarkan suara Pak Kepala Sekolah dari panggung pensi di halaman melalui pengeras suara.

"Habis ini kita tampil. Yuk, Guys," ajak Ridho. Arfin terpaksa nurut ketika tubuhnya diseret untuk ikut mereka. Daripada nanti dibilang tidak setia kawan!

"TERIMA KASIH BAPAK KEPALA SEKOLAH UNTUK SAMBUTANNYA." Roy, anak kelas 12 yang terpilih menjadi host, membawakan acara dengan berapi-api. "NAH, SAATNYA KITA MULAI ACARA HIBURAN PEMBUKA. KITA SAMBUT BAND Dari KELAS 10 IPA 7, THE ORIGINAAAAL !!!"

Tepat sekali saat baru sampai di samping panggung, nama band kawan-kawan Arfin ini dipanggil. Mereka langsung naik ke atas panggung dengan gaya sok keren. Ada spanduk besar sebagai background panggung bertuliskan :

WELCOME PADI REBORN
DI PENTAS SENI HUT 65th SMA SEMESTA 2021

Beberapa hari yang lalu, pihak panitia acara sudah memberitahu para siswa bahwa akan  ada Padi yang datang untuk memeriahkan acara pensi mereka. Bukan pihak sekolah yang mengundang, tapi Padi memang sedang ada kegiatan surprise tour ke sekolah-sekolah. Kebetulan SMA Semesta yang terpilih.

Itu yang membuat area halaman sekolah dipenuhi para siswa yang antusias, tak mau melewatkan kehadiran band papan atas itu.

Saat Intro musik dari lagunya Ariel -Moshimo Mata Itsuka- dimainkan, para penonton langsung histeris. Ridho, sang vokalis mulai bernyanyi. Meskipun liriknya memakai bahasa Jepang, tapi para penonton ikut menyanyi memakai bahasa aslinya. Karena tidak ada yang familiar dengan lagu itu versi bahasa Jepangnya.

Arfin tertawa-tawa saat mendengar Ridho yang banyak salah lirik. Mulutnya sekenanya saja mengucapkan kata, yang penting seperti bahasa Jepang aja, toh para penonton juga tidak ada yang sadar.

Akhirnya lagu selesai dimainkan dan mereka turun panggung. Mereka langsung protes pada Arfin yang menertawakan penampilan mereka. Ngajarin kagak, ngetawain doang. Mereka berdebat sampai tidak mengindahkan Roy yang mempersilakan seseorang untuk tampil. Sampai akhirnya seseorang yang dipanggil itu naik ke atas panggung....

Semua terpaku dan terpukau seolah melihat bidadari berdiri di sana. Hening. Karena sang Bidadari bukanlah Viona, ataupun Mona.

Tapi Marsha.

Bahkan selama beberapa detik, Arfin gagal mengenalinya. Marsha sudah didandani Mona sedemikian rupa dengan riasan natural. Rambutnya dibuat bergelombang dengan hiasan indah di satu sisi. Gaunnya panjang dan sopan berwarna pink pastel dipadu dengan highheels putih.

"Itu Marsha?" Awan bertanya masih tercengang.

"Ya ampun ternyata dia cantik banget." Didi berkomentar sambil tercengang. "Lo bener-bener nggak salah pilih, Fin. Gue nyesel ngeremehin lo."

Arfin tidak menjawab karena fokus memperhatikan Marsha yang kini tengah mengambil gitar yang sudah disediakan lalu duduk di kursi yang sudah disediakan pula. Ketika jemarinya memetik dawai gitar, melodi medley mulai terdengar merdu  dan indah, siap mengiringi puisi yang akan dia bawakan.

Your joke
About me who always sparkles
"Try the hand stretch," you say
Ah, I'm tired of seduction
Show me that this is not insanity
When those glittering dreams begin to appear
Maybe it's a sign for me
I wonder if it's for you too
Then, I'll make sure my fingers reach for it
And this hand holds it
I won't let it slip away in the middle of the night
Under the dim light

Petikan terakhir gitar selesai dan...

Aplaus langsung membahana untuk musikalisasi puisi yang begitu apik dibawakan Marsha dalam Bahasa Inggris. Marsha berdiri, meletakkan gitar ke tempatnya semula, lalu menangkupkan kedua telapak tangannya sambil menunduk ke berbagai sisi penonton. Berterima kasih karena aplaus mereka. Setelah itu dia turun dari panggung pelan-pelan, takut keseleo karena tak terbiasa memakai high heels. Jantungnya masih berdegup kencang karena nerveous. Berbagai pujian dia dapatkan dari anak-anak yang dilewatinya.

Marsha melihat Arfin menghampirinya bersama teman-temannya.

"Puisinya bagus, main gitarnya juga," komentar Arfin saat tiba di hadapan Marsha. "Tapi aku baru tahu kamu bisa main gitar?"

"Jago juga Bahasa Inggris lo." Awan ikut berkomentar sambil garuk-garuk kepala. "Sayang banget gue nggak mudeng artinya."

"Makasih..." Marsha tersenyum girang kepada Arfin dan Awan sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke muka  yang penuh peluh. "Aku nerveous banget, tahu nggak? Mona mana, sih?" Dia melongok-longok ke belakang tubuh Arfin dan mengedarkan pandangan ke sekeliling, tapi tidak menemukan Mona di manapun.

"Sha, mundur dikit dong," ucap Didi tiba-tiba, matanya sama sekali tidak berkedip memandang Marsha.

"Kenapa, sih?" Marsha bertanya bingung.

"Cantiknya kelewatan." Hal itu membuat Didi mendapat toyoran di kepala dan tawa gelak-gelak dari teman-temannya.

Marsha tersenyum awkward karena gombalan receh Didi dan tingkah kekanak-kanakan mereka. Sementara itu, Arfin menghujamkan tatapan maut pada Didi.

"Ups..." Didi yang menyadari kesalahannya langsung menutup mulutnya dengan tangan. "Sory lidah gue tadi keseleo," ujarnya.

Ridho yang belum mendapat jatah, menoyor kepala Didi keras-keras dan langsung mendapat protes dari yang punya kepala. "Kenceng banget lo, Dho! Mentang-mentang jenis kelamin di buku rapor udah diganti! Bangga lo?"

Ridho memang sudah secara rahasia mengganti keterangan jenis kelamin di buku rapornya yang salah, harusnya laki-laki tapi diketiknya perempuan. Sialnya, Didi yang mulutnya kayak rem bolong itu melihatnya.

"Jangan kenceng-kenceng, bego!" Ridho mengamit leher Didi kencang dengan lengannya.

"Marshaaaa...." Mendadak sosok dibalik kecantikan Marsha muncul menyeruak ke tengah-tengah mereka. Mona meraih tangan Marsha, lalu meraka berjingkrak-jingkrak bersama dengan girang. "Gue nonton lo dari belakang sana, uhuk." Mona menunjuk ke arah jauh di belakangnya. "Lo keren banget sumpah!"

"Makasih, Mon. Berkat lo juga gue jadi percaya diri.... dikit," tutur Marsha.

"Lo juga cantik banget. Tahu nggak, cewek-cewek di belakang sana muji-muji lo banget."

"Lebay." Marsha tertawa.

Saat masih asiknya ngobrol, tiba-tiba Viona datang, memeluk lengan Arfin. Yang punya tangan tentu saja terkejut.

"Fin, kamu siap-siap ya, bentar lagi kita dipanggil sebagai Raja dan Ratu Sekolah." Viona memberitahu, kemudian matanya beralih kepada Marsha, menatapnya dengan tatapan remeh.

"Hah, lagi?" Arfin berdecak tidak suka sambil berusaha mengeluarkan tangannya dari rangkulan Viona. Marsha pura-pura tidak melihat.

"Pokoknya kamu harus tetap disini nggak boleh kemana-mana." Viona bersikukuh tidak  mau melepas rangkulannya.

"Mampus Lo, Fin!" Didi terbahak.

"Lo nggak bisa kabur lagi sekarang," Awan menambahkan.

"Sekali-kali Arfin dibikin malu, lah...." Kali ini Ridho ikut cekikikan.

"Apaan kalian, norak semua!" balas Arfin, lalu beralih ke Viona. "Lepasin tangan gue."

Viona mencebikkan bibirnya lalu menggeleng pelan.

"Dasar cewek gatel, sih!" sindir Mona tiba-tiba, mewakili Marsha yang malas  meladeni.

"Apa lo bilang?!" Viona maju menghadapi Mona dengan berkacak pinggang.

"Ya lo udah tahu Arfinnya nggak mau masih nempel aja!"

"Gue takut Guys kalau dua cewek udah berantem. Lebih serem dari perang dunia ketiga," bisik Didi kepada kawan-kawannya.

"YOHOOOO GUYYYYS, MASIH SEMANGAT, KAN? SEBENARNYA SEKARANG MASUK SESI PENGUMUMAN RAJA DAN RATU SEKOLAH, TAPI BERHUBUNG SUPER BAND KITA TELAH DATANG LANGSUNG SAJA YA KITA SAMBUT... PADI REBORN!"

Para Siswa langsung heboh dan berseru histeris ketika para personel Padi muncul dari arah gerbang sekolah dengan pengawalan. Mona dan Viona pun ikut antusias menyambut, melupakan perhelatan mereka. Semuanya meneriakkan nama Padi. Tempat penonton langsung  bejubel dan penuh sesak.

Sampai di atas panggung, Fadly sang vokalis dengan ramahnya menyapa semua penghuni sekolah yang menonton. Tak lama, lagu pertama mulai mereka bawakan, berjudul Sobat.

Para guru yang lahir di era 80 dan 90an hafal dengan lagu ini. Mereka ikut menyanyi mengiringi suara Fadly. Dan ternyata Marsha juga hafal dan ikut menyanyi. Apalagi saat mencapai Reff, semua penonton ramai berjingkrak-jingkrak.

Oh, sobat... Maafkan aku mencintainya....
Aku tak bermaksud membuatmu sungguh tak berarti...

Melihat Marsha yang ikut berjingkrak seru mengikuti musik sambil bernyanyi, Arfin melongo tidak menyangka Marsha akan seheboh itu.

Detik berikutnya, tiba-tiba kepala Arfin mencetuskan ide untuk melarikan diri lagi. Mumpung semua mata tertuju ke atas panggung, terlebih Viona.

Secrets (Season #1)Where stories live. Discover now