12 || Gagal Kabur

25 5 9
                                    

Jam pulang sekolah sudah berbunyi dan hari ini Marsha ada jam kelas tambahan. Dia memeriksa kertas jadwalnya dan mengernyit saat melihat kelas yang akan dipakai adalah kelas 10 ipa 7 which is kelas Arfin. Dalam hati dia bertanya-tanya apakah Arfin akan ikut kelas tambahan lagi untuk hanya sekedar duduk di sebelahnya?

Fuuuh... Marsha menghembuskan nafas dalam-dalam. Hari pertama kelas tambahan waktu itu sih tidak masalah karena perasaannya ke Arfin masih biasa saja. Tapi sekarang dia takut nanti akan canggung dan jadi tidak bisa konsentrasi kalau Arfin ada di sebelahnya.

"Hari ini ada kelas tambahan?" tanya Mona ketika Marsha merapikan buku-bukunya dan memasukkannya ke dalam tas.

"Iya." Marsha mengangguk. "Mau ikut?"

"Ya nggaklah." Mona nyengir. "Tadinya mau ajakin lo nobar drakor di rumah gue. Iya, kan, Lan? Ra?" Dia menoleh pada Lani dan Rara untuk bertanya.

"Ya Ampun Mon, sori gue lupa. Gue juga ikut kelas tambahan...." Lani menangkup kedua telapak tangannya dengan mimik menyesal.

"Karena ada Arfin tuh." Rara menimbrung sambil lalu.

Mona ber-ooh sebentar. Tapi setelah beberapa detik otaknya konek dahinya langsung berkerut bingung. "Arfin? Kok bisa?"

Setelah itu Mona mengalihkan perhatiannya kembali pada Marsha untuk bertanya. "Kok lo nggak cerita sih? Bukannya Arfin pinter matematika, ya?"

"Mana mau sih dia cerita?"

Padahal Marsha sudah membuka mulut untuk menjawab, tapi Lani sudah duluan menyindirnya.

"Udah ah, gue mau ngecup tempat duduk dekat Arfin," sambung Lani yang akhirnya buru-buru keluar kelas.

"Gue juga pulang dulu," pamit Rara.

"Dih, segitunya." Marsha berbisik sebal setelah kedua temannya itu menghilang dari pandangan.

Melihat tingkah Marsha yang kesal pada Lani, Mona jadi tersenyum meledeknya. "Cie  yang lagi cembokuuur. Buruan gih, ntar keburu habis kuota bangkunya."

"Tenang Sis, masih luber-luber kuotanya." Marsha tak terlalu serius menanggapi.

"Kan kemarin belum ada yang tahu kalau Arfin ikut kelas tambahan. Sekarang semua cewek pasti tahu. Lo jangan kaget."

Marsha menatap Mona dengan kerut di keningnya karena tak percaya. Ah, masa sih?

Dan ternyata kata-kata Mona bukan isapan jempol belaka. Marsha shock ketika sampai  di depan pintu kelas, dia melihat semua bangku sudah penuh, bahkan ada yang duduk bertiga. Termasuk Lani, Vidy, dan Santi.

Dan sebagian besar penghuninya memang anak perempuan. Rizki pun sudah tidak kelihatan di kelas tambahan ini sejak kalah tantangan dengan Arfin. Hanya ada satu bangku yang tersisa, yaitu bangku di sebelah Arfin. Posisi bangku seperti yang dia tempat saat kelas tambahan yang lalu.

Entah kenapa bangku itu kosong. Mungkin tidak ada yang berani duduk di samping Arfin  atau Arfin sendiri yang terang-terangan melarang siapapun duduk di sebelahnya.

Mata Marsha mengarah pada Arfin yang sedang membolak-balik buku paket dengan santainya. Tatapan Marsha terus melekat pada sosok itu. Entah kenapa dia tak punya daya untuk mengalihkannya. Sosok Arfin di hadapannya seolah sedang bersinar. Dan Marsha menatapnya dengan tatapan takjub.

Jantung Marsha mencelos dan mulai berdegup dengan kerasnya ketika Arfin mendongak, memergokinya. Saat itu Marsha seolah lupa cara untuk bernapas. Terlanjur malu, Marsha menunduk, kedua tangannya naik turun di tali ranselnya. Daripada dia mati mendadak di sini, akhirnya dia memutuskan tidak akan mengikuti kelas.

Ketika berbalik, Marsha terkejut mendapati Bu Ana yang tiba-tiba sudah ada di hadapannya.

"Ayo masuk," ajak Bu Ana.

Gagal untuk kabur, akhirnya Marsha mengikuti Bu Ana memasuki kelas. Mata Bu Ana  membelalak ketika mendapati kelas yang begitu ramai. Bukannya mengucapkan salam, beliau  malah mengucap istighfar keras-keras.

Marsha tersenyum canggung pada Arfin yang bersemangat menyuruhnya duduk di sebelah cowok  itu. Marsha tidak punya pilihan lain karena itu satu-satunya tempat duduk yang tersisa dan mengabaikan suara-suara kecewa anak-anak karena dia yang kedapatan tempat duduk itu. Usut punya usut ternyata tadi banyak yang berebut kursi itu, jadi Arfin mengambil keputusan untuk tidak ada yang boleh duduk di sana.

Setelah menaruh buku-buku di mejanya, Bu Ana melipat tangannya ke dada dengan tatapan mata yang keras menuju pada Arfin.

"Arfin. Kamu keluar!" sentak Bu Ana. Beliau tahu sih kalau ini semua karena Arfin biang keroknya. "Kan sudah ibu bilang, kamu tidak perlu lagi ikut kelas tambahan. Kenapa masih ngeyel?"

"Wah, Bu Ana pilih kasih. Bukannya pelajaran tambahan itu hak semua siswa?" Arfin berusaha merayu Bu Ana.

"KELUAR!!!"

Arfin pasrah karena ternyata rayuannya tidak mempan. Dia menoleh  pada Marsha sebentar sebelum mengangguk. "Oke."

Arfin menunduk untuk mengambil tasnya di bawah bangku, dan sebelum menegakkan  tubuh, dia berbisik pada Marsha, "Yang semangat belajarnya...."

Mau tak mau Marsha mengulum senyum menahan girangnya karena baru saja diberi  semangat oleh Arfin.

"Oke." Marsha menjawab sambil mengacungkan jempolnya.

Sepeninggalan Arfin, anak-anak mulai protes pada Bu Ana.

"Yaaah, Bu Ana nggak asik nih."

"Iya nggak asik kalau nggak ada Arfin..."

"Kenapa nggak biarin di sini sih, Bu?"

"Yang sudah nggak berminat ikut pelajaran tambahan, silakan keluar!" Bu Ana yang tidak  mengindahkan protes mereka, mengusir dengan sopan.

Ternyata lebih dari separuh murid yang keluar hingga sekarang ruang kelas menjadi sangat lega. Bu Ana tercengang menggeleng-geleng tak menyangka begitu besarnya pengaruh Arfin pada  anak-anak didiknya.

Secrets (Season #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang