Chapter 3 - Figurin*

15.4K 1.2K 38
                                    

*semacam ukiran atau cetakan berbentuk seperti hewan atau manusia

"Sugar.. Yes, please.."

Lirik lagu milik Maroon5 ini berkumandang di ruang tamu Platina, tempat ia menyanyikan lagu itu dengan iringan keyboard yang ia mainkan. Belum sempat nada terakhir ia capai, tiba-tiba pintu depan rumahnya menjeblak terbuka. Platina memekik kaget. Terdengar suara sendok-sendok jatuh dari arah dapur yang menandakan ibunya juga terkejut.

Platina menoleh dan melihat Aren berdiri di pintu depan dengan mata membelalak dan terlihat bersemangat, namun ada kekhawatiran yang tampak samar dari raut muka Aren. Kegelapan berdiri di belakangnya, hanya ada samar-samar lampu jalan yang menyusup dari balik punggung Aren.

"Siapa itu, Pat?" tanya Esmerada, Ibu Platina, sambil berjalan ke ruang tamu sambil mengelap sendok-sendok makan.

"Hanya Aren, Bu," kata Platina.

Esmerada memakai baju rumah selutut bewarna ungu. Rambut dan bola matanya yang hitam diwariskan kepada Platina. Ia tersenyum memandang Aren, yang sedang nyengir untuk berusaha menyembunyikan semangat yang menggebu-gebu, lalu memintanya untuk masuk dan duduk di ruang tamu karena sebentar lagi makan malam sudah siap.

"Ayahmu belum pulang, Nak?" tanyanya ramah.

Aren dan ibunya Platina sudah lama mengenal. Sudah biasa bagi Aren keluar masuk rumah ini dengan maksud menemui Platina.

"Belum, bu. Sepertinya ayah kerja lembur lagi malam ini." Aren tersenyum dan duduk di kursi ruang tamu. Ayahnya bekerja sebagai pegawai perusahaan tekstil di kota sebelah.

"Baiklah, kalau begitu lebih baik kau makan saja di sini dan nanti bisa kau bawa sebagian makanannya untuk makan malam ayahmu." Sambil berkata begitu, ia berjalan kembali ke dapur untuk menyelesaikan masakannya.

"Kau kenapa sih? Jangan bilang kau takut gelap dan sendirian di rumah jadi buru-buru kesini?" tanya Platina sambil memandang Aren galak. Ia sebal nyanyiannya diinterupsi dengan tidak sopan oleh temannya itu.

Aren menggelengkan kepala, tetapi semangatnya kembali muncul, malahan tersenyum penuh rahasia pada Platina. "Tidak, tidak. Maaf atas pintu yang tadi terbuka keras. Tapi, aku tidak sabar menunjukkan sesuatu padamu."

"Apa itu?"

Platina mengernyit penasaran sambil memandang Aren, yang baru ia sadari berkeringat entah karena apa. Platina mengedikkan kepala meminta penjelasan.

"Tidak bisa di sini. Kita harus ke kamarku sekarang," jawab Aren agak berbisik sambil melirik ke arah dapur memastikan tidak ada yang mendengarnya berbicara selain Platina. "Aku bertaruh kau tidak akan memepercayai ini."

"Tidak bisa sekarang. Kita harus makan malam dulu. Bisa mati kita nanti kalau tidak makan masakan Ibu."

Mereka berdua menahan tawa. Ibu Platina terkenal keras kalau tentang makanan. Ia tidak akan mengizinkan Platina pergi kemana pun kalau tidak makan dulu masakan buatannya.

Aren terdiam berpikir kemudian berkata, "Baiklah kalau begitu, sepertinya ini bisa menunggu."

Kemudian, masakan datang dan mereka makan malam bertiga. Masakan yang terdiri dari semur daging dan kentang, serta wortel dan buncis rebus, menjadi menu mereka malam itu. Setelah makan banyak, beramah-tamah, dan bercanda sopan, Platina meminta izin untuk pergi kerumah Aren. Ibunya mengiyakan dan berkata bahwa ia akan tidur lebih dulu karena lelah dengan pekerjaan di rumah sakit hari itu. Ibu Platina adalah perawat yang bekerja di Rumah Sakit Ethernal milik Universitas Ethernal.

Mereka berdua buru-buru menuju rumah Aren yang terletak di sebelah utara rumah Platina. Rumah mereka kembar identik dengan warna cat berbeda, rumah Aren bercat cokelat, rumah Platina bercat abu-abu. Aren berjalan cepat menuju kamarnya di lantai dua.

THE OUTSIDERS [END]Where stories live. Discover now