Chapter 39 - Awal Baru

8K 684 41
                                    

Pemakaman Aren berlangsung khidmat. Cahaya matahari pagi menerangi makam yang tanahnya masih berwarna merah. Bunga-bunga berbeda jenis dan warna terletak indah di atas makam itu. Batu nisan bertuliskan nama Aren dan ayahnya terukir di batu persegi panjang yang ditancapkan di tanah. Puluhan orang berkumpul mengenakan baju hitam, sebagian memakai payung hitam, saling menangis dan menguatkan. Mereka adalah teman-teman Aren.

Satu per satu pengunjung makam mulai melangkahkan kaki untuk pulang setelah memberikan ucapan duka kepada Sang Ayah. Platina berdiri di samping Ayah Aren yang sedang mengelus nisan putranya. Adele berpegangan tangan dengan Debra, sedangkan Chloe menangis di dada Ethan. Lylod tidak membawa buku, bukti dari keseriusannya datang ke pemakaman teman terbaik yang pernah ia kenal.

Di dalam tanah yang Platina pijak, Aren bersemayam. Platina sudah menjelaskan semua yang ia dan Aren lalui kepada Ayah Aren, termasuk penyebab anaknya meninggal dan asal usul istrinya. Platina takut Ayah Aren akan marah atau tidak menerima kematian putranya. Namun, justru Ayah Aren dengan mudah mencerna semua penjelasannya tanpa banyak pertanyaan. Ia malah berterimakasih pada Platina karena telah membawa pulang jasad anak laki-lakinya.

"Dari dulu aku sudah menyangka, Valora bukan berasal dari dunia yang sama denganku. Tapi, aku tetap menyayanginya," kata Ayah Aren ketika semalam berbicara dengan Platina di rumahnya. "Setelah pemakaman, aku memutuskan untuk pindah ke luar kota. Bukan untuk melupakan istri dan anakku, tetapi untuk melanjutkan hidup baru."

"Kenapa anda tidak marah padaku? Ini semua terjadi karena ulah ayahku." Platina bertanya dengan nada tidak percaya.

Ayah Aren tersenyum, senyuman yang mirip dengan putranya, membuat Platina lagi-lagi diserang rasa rindu. "Mungkin aku seharusnya berterimakasih karena ayahmu telah membawa Aren menuju ke dunia yang membutuhkan dirinya. Ingat kata-kata terakhirnya, Pat. Aren bahagia."

Platina mengingat ulang seluruh percakapannya dengan Ayah Aren yang masih tersimpan jelas di kepala. Punggungnya ditepuk oleh seseorang, menyadarkan dirinya dari lamunan. Ia menoleh dan melihat Ayah Aren kembali tersenyum.

"Jaga dirimu, Pat. Aku akan kembali ke sini untuk menjenguk istri dan anakku."

Platina balas tersenyum sambil mengangguk. Ia melihat Ayah Aren menyalami teman anaknya satu per satu sambil tetap melengkungkan bibir ke atas. Platina melambai kepada pria yang telah kehilangan keluarganya itu. Ia merasa sedih, kematian Aren sebenarnya tidak menyakiti siapapun kecuali ayahnya.

"Pat, kau tidak pulang?" tanya Adele. Kedua matanya sembab, bekas menangis terus-menerus sejak pagi setelah Platina memberitahu dirinya tentang Aren.

"Sebentar lagi," jawab Platina lirih. Ia memandang makam Aren dengan tatapan sendu, seakan ingin ikut berbaring di sebelah lelaki itu. Platina segera menyingkirkan pikiran negatifnya sambil menggelengkan kepala. Ia akan bertahan menjalani hidup, kemudian berbahagia seperti pesan Aren.

"Aku kira, masih akan ada banyak waktu untuk bertemu dengannya, membicarakan kemenangan kalian di Algaria," kata Ethan menerawang. Ethan, Lylod, Adele, Debra, dan Chloe sudah mendapat penjelasan dari Platina tentang kematian Aren. Sedangkan teman-teman Aren yang lain, hanya mengetahui bahwa lelaki itu mengalami kecelakaan lalu lintas.

Suasana makam sangat sepi, hari itu hanya Aren yang dimakamkan. Daun-daun saling bersentuhan menciptakan suara gemerisik yang menenangkan. Angin semilir menerpa pepohonan, membuat bunga-bunga dan dedaunan yang menguning terlepas dari tangkainya, menghasilkan hujan warna-warni seperti musim gugur.

"Indah sekali," ujar Chloe saat melihat parade warna beterbangan di sekitarnya, "mereka seakan mengantar kepergian Aren dengan suka cita. Aren benar. Ia pasti bahagia."

Debra mengambil bunga-bunga kecil yang jatuh ke rambutnya. Ia meniup hiasan ringan itu sampai semuanya kembali beterbangan dari tangannya. "Hidup bagaikan bunga dan daun-daun ini. Mudah datang dan pergi, namun meninggalkan kesan yang tak terlupakan bagi orang-orang terkasih."

Platina mengangguk menyetujui perkataan teman-temannya. Mungkin Aren telah tiada, tapi kenangannya akan selalu ada di hati mereka semua. Ia memejamkan mata sejenak, menikmati angin kecil menyapu kulitnya. Ketika membuka mata, ia melihat Aren memakai baju putih bersih sedang tersenyum bahagia padanya di atas makam. Platina mengerjapkan mata karena terkejut. Sedetik kemudian, Aren menghilang tanpa jejak. Platina menyunggingkan senyum perlahan. Aren telah menampakkan wajah bahagianya untuk Platina.

"Ayo, kita pulang," kata Platina. Mereka semua mengangguk setuju lalu berjalan bersama, menjauh dari makam Aren. Platina menoleh satu kali lagi untuk berbisik, "dunia harus mengetahui dirimu. Selamat tinggal, kawan."

Belum sampai keluar area pemakaman, Ibu Platina datang menjemputnya. Ia tersenyum senang melihat ibunya yang memakai pakaian hitam. Platina menghampiri sang ibu dan memeluknya. Semalam, ia juga menceritakan semua peristiwa yang terjadi padanya dan Aren di Algaria dengan sangat hati-hati, khawatir jika ibunya akan menjadi cemas dan terlalu melindungi dirinya. Tetapi, dugaannya lagi-lagi salah. Sang Ibu justru memeluk Platina sambil berkali-kali mengucap kata bangga. Ternyata, ibunya sudah mengetahui bahwa Fidel adalah seorang penyihir, bukan karena diberitahu secara sukarela, tetapi suatu ketika Ibu Platina pernah melihat suaminya itu melakukan sihir untuk mengangkat benda berat.

Teman-teman Platina mengucapkan sampai jumpa padanya dan ibunya. Mereka saling berjanji untuk bertemu tidak lama lagi setelah keadaan lebih tenang. Ibu Platina mengusap kepala anaknya dengan penuh rasa sayang. Platina menikmati belaian lembut wanita yang paling ia cintai itu.

Ia menoleh ke belakang dan melihat dua pria berambut pirang sedang meletakkan bunga di atas makam Aren. Salah satu pria itu berbalik lalu bertatap mata dengannya. Platina tersenyum, yang dibalas dengan lambaian dari laki-laki itu.

"Mereka temanmu?" tanya ibunya yang juga melihat kedua pria di makam Aren.

Platina tersenyum sambil menggandeng lengan ibunya untuk berjalan. "Ya, salah satunya temanku."

"Satunya lagi?"

Platina tersenyum penuh rahasia.

THE OUTSIDERS [END]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن