Chapter 34 - Berpisah Jalan

6.7K 650 25
                                    

Aren berjalan sendirian di lorong, dengan penerangan remang dari obor yang menggantung di dinding. Ia melangkahkan kaki tak tentu arah. Pikirannya masih dikuasai oleh emosi. Aren masih tidak paham alasan Platina meninggalkan Algaria. Ia kesal dengan temannya itu. Namun sebersit penyesalan muncul, Aren sadar kalimat terakhir yang ia ucapkan pada Platina terdengar kejam.

Kakinya berbelok ke lorong di sebelah kiri. Jendela-jendela besar menghiasi tembok. Aren bisa melihat langit gelap dengan bintang-bintang berkedip menemani cahaya bulan. Debur ombak terdengar lebih keras di malam hari. Aren melihat laut yang berubah warna menjadi hitam, gelap, dan pekat, seakan bisa menelan apa pun yang cukup bodoh menghampirinya.

"Mungkin laut bisa menghilangkan pikiranku sekarang," gumamnya.

"Kau memikirkan apa?" tanya sebuah suara di belakang Aren.

Aren berbalik cepat. Tangannya sudah berada di gagang pedang. Ia menghela napas lega saat menyadari pemilik suara itu adalah Awra, yang sedang nyengir melihatnya.

"Kau selalu membuat orang terkejut dengan kehadiranmu," kata Aren. Ia kembali berjalan dengan Awra di sebelahnya.

"Bukan salahku. Pikiranmu sedang tidak berada di sini. Kau membuat dirimu sendiri rentan diserang."

Aren terdiam mendengar perkataan Awra. Pikirannya mengembara kembali ke dunia nyata. Apakah ada cukup waktu baginya untuk kembali tepat waktu? Mulai besok, ia dan teman-temannya akan memersiapkan diri untuk pergi berperang.

Mereka berdua terus berjalan sampai melewati sebuah ruangan besar yang menguarkan bau makanan. Perut Aren berbunyi seketika. Awra tertawa terbahak di sampingnya. Mereka masuk ke ruangan itu dengan rasa lapar yang menyerang.

Ruangan besar itu dipenuhi dengan suara bising peralatan masak yang saling beradu. Aren terkesima memandangnya. Puluhan orang sedang melakukan tugas memasak dengan cepat. Panci-panci besar berada di atas tungku kayu, yang telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga apinya tidak akan terlalu besar atau kecil. Beberapa orang menggunakan pisau dapur yang tajam untuk memotong bongkahan ikan besar menjadi lebih tipis lalu dimasukkan ke dalam wajan besar.

Aren menelan ludah. Rasa laparnya semakin menguat ketika mencium bau makanan dan melihat proses memasak di dapur itu.

"Ada yang bisa saya bantu, Sir?"

Aren menoleh ke arah suara. Seorang pria paruh baya tersenyum padanya. Ia memakai pakaian hitam yang penuh noda bekas percikan masakan. Perutnya terlihat membuncit dari balik pakaian. Ia terlihat ramah dengan tatapan matanya yang sendu.

"Emm ... " Aren sedikit bingung karena dipanggil Sir, yang membuatnya merasa lebih tua.

"Kami ingin makan malam," sahut Awra, "masakan kalian tampaknya enak."

Pria paruh baya itu tampak senang ketika masakannya dipuji. Ia tersenyum lebar. "Ada tempat di ujung dapur ini untuk makan. Saya rasa teman-teman anda juga ada di sana."

Aren dan Awra menganggukkan kepala sambil mengucapkan terimakasih. Mereka berdua berjalan ke arah yang ditunjukkan pria itu. Setelah berbelok ke kiri, ada sebuah ruangan yang lebih kecil dari dapur. Di sana terdapat dua meja panjang dengan kursi panjang di kedua sisinya. Mereka mendapati Flavian serta Ruby berada di salah satu meja.

"Ah, kalian sudah di sini," kata Awra sambil duduk di samping Flavian. "Masakannya enak?"

Flavian hanya mengangguk sambil menyuapkan daging ikan dari garpu ke mulutnya. Piringnya berisi ikan berbumbu dengan kentang tumbuk dan sayuran rebus.

"Sudah lama kalian di sini?" tanya Aren. Ia duduk di samping Ruby yang juga sedang makan. Semangkuk sup jagung dan ikan terletak di depan Ruby.

"Baru sebentar," jawab Ruby setelah menelan makanan di mulutnya. "Di mana Platina?"

THE OUTSIDERS [END]Where stories live. Discover now