Chapter 6 - Hutan

12.5K 1K 36
                                    

"Kita mau ke mana?" tanya Platina.

Perempuan yang tadi mengancam mereka, sekarang menoleh pada Platina. "Jangan bicara! Atau aku sumpal mulutmu," jawab perempuan itu ketus.

Platina menghela napas kesal. Saat ini mereka semua sedang berjalan menuju hutan. Kegelapan di hutan benar-benar pekat. Suara-suara hewan hutan mulai terdengar, walau sebagian besar darimana suara itu berasal tidak dikenali olehnya. Ia dan Aren dipaksa untuk mengikuti para penawan tanpa boleh bicara satu kata pun. Padahal mereka sedang berusaha untuk menjelaskan awal keberadaan mereka di hutan itu.

Kaki Platina terasa dingin karena tanpa alas melewati rumput-rumput hutan yang berembun. Ia menggosok-gosokkan kaki ke celana jeans untuk membuatnya hangat. Ia melihat Aren melakukan hal yang sama di sebelahnya.

Platina memerhatikan perempuan penawannya yang sekarang berjalan di depan. Cahaya lentera yang dibawa perempuan itu cukup untuk menerangi jalan. Platina bisa melihat sosok perempuan itu sekarang. Ia memiliki rambut berwarna merah. Bajunya yang berwarna hitam terbuat dari kulit. Busur dan anak panah tersandang di bahunya. Sepatu yang dipakainya belum pernah dilihat oleh Platina di toko mana pun. Sepertinya sepatu itu khusus dibuat untuk menjelajah hutan dan pengunungan, atau untuk berperang? Platina bergidik saat mengingat novel-novel fiksi yang pernah ia baca, dimana akan terjadi banyak peperangan.

"Kita harus bicara dengan mereka. Ini gila. Kita tidak bisa jadi tawanan di tempat asing ini. Bahkan kita tidak mendapat penjelasan apa pun," bisik Platina cemas pada Aren.

Aren mengangguk. Ia berjalan di samping Platina dan menoleh ke belakang. Dua pria berbadan besar dan tegap berjalan di belakang mereka. Aren baru menyadari bahwa mereka kembar. Salah satu dari mereka membawa lentera yang diangkat tinggi-tinggi sehingga menerangi wajah mereka berdua. Mereka memiliki rambut cokelat pendek, hampir seperti tentara. Rahang mereka berbentuk tegas dan kaku. Pandangan mereka lurus ke depan. Baju mereka juga terbuat dari kulit tapi berwarna hijau tua. Mereka menggenggam senjata seperti tombak berpisau panjang.

Rombongan ini terus berjalan masuk ke dalam hutan. Aren menarik napas menguatkan diri.

"Halo, permisi mengganggu, tapi kami benar-benar ingin berbicara dengan kalian. Kami ini dari—" kata-kata Aren terputus oleh sodokan benda tajam di punggungnya.

Para pria di belakang Aren menodongkan senjatanya tanpa ampun, menunggu perintah perempuan berambut merah untuk menusuk Aren. Ia membeku di tempat tanpa berani bergerak.

"Kalian harus mendengarkan kita. Kita tidak berasal dari sini. Bahkan kita tidak tahu kenapa kita bisa ada di sini," teriak Platina keras-keras. Ia sudah tidak tahan karena mereka tidak diberi kesempatan untuk berbicara.

Perempuan berambut merah berhenti berjalan dan menoleh pada mereka. Wajahnya setengah terkejut setengah penasaran mendengar kata-kata yang diucapkan Platina.

"Dari mana kalian? Beraninya kalian memasuki rumah penyihir di sana tadi," ujarnya lambat-lambat.

"Pe ... Penyihir?" tanya Platina tidak percaya.

"Begini, kami dari dunia yang disebut Bumi, nah apakah ini Bumi? Bukan? Baiklah bukan, lalu ini negara apa? Bukan negara juga? Sial, disebut apa tempat ini?" tanya Aren cepat-cepat sebelum ia dilarang bicara lagi.

Sekarang para penawan mereka memberi perhatian penuh pada Platina dan Aren. Senjata sudah ditarik dari punggung Aren.

"Aneh kalian bertanya. Kami menyebut tempat ini Algaria," jawab salah satu pria di belakang Aren dengan suaranya yang berat.

Platina dan Aren saling berpandangan. Sepertinya perkiraan mereka benar. Mereka ada di dunia fiksi bernama Algaria. Perasaan senang membuncah pada diri mereka. Impian mereka menjadi kenyataan. Namun, mendadak perasaan gundah datang menyusup ke pikiran. Bagaimana dengan kehidupan mereka di dunia nyata? Apakah mereka menjadi orang hilang di sana?

THE OUTSIDERS [END]Where stories live. Discover now