Chapter 10 - Ruby

10K 886 32
                                    

Platina, Aren, dan Ruby duduk melingkar di lantai rumah Platina sambil mengamati benda-benda yang ada di hadapan mereka. Figurine serigala, handphone Platina, dan sebuah figurine berbentuk burung elang yang melipat sayapnya, tersusun berjajar di lantai. Handphone Platina sama sekali tidak mau menyala, entah karena kehabisan baterai atau memang tidak dapat dinyalakan di dunia Algaria. Figurine serigala juga diam tak bergerak. Lupus tidak lagi hidup seperti di kamar Aren, bahkan mengeluarkan suara geraman pun tidak dilakukannya.

"Jadi, kamu ke sini dibawa oleh figurine berbentuk elang ini?" tanya Aren pada Ruby.

Ruby mengangguk pelan. Ia sudah mengganti baju kulitnya menjadi baju berbahan kaos biasa seperti milik Platina dan Aren. Rambut merahnya masih ia ikat kebelakang. "Ya benar. Namanya Avis," jawab Ruby pendek.

"Kalau kami boleh tahu, dulu dimana kamu tinggal?" tanya Platina agak takut. Ia merasa sudah berteman dengan Ruby tapi takut pertanyaannya tentang masa lalu menyinggung perasaan Ruby yang terlihat sensitif. Perasaannya bisa berubah sewaktu-waktu tanpa peringatan. Platina jadi merasa harus memilih tiap kata-katanya dengan benar sebelum berbicara dengan Ruby.

Ruby tersenyum mendengar nada suara Platina yang kentara sekali khawatir ia akan menolak menjawabnya. "Tenang saja, aku tidak akan marah kamu bertanya, Platina."

"Oh, panggil aku, Pat, saja," sahut Platina lega.

Ruby mengangguk. "Baiklah, Pat. Aku berasal dari sebuah kota besar dengan hingar bingar kemewahannya. Tapi, aku tidak pernah sekalipun dapat merasakan kemewahan itu. Mungkin, bisa dibilang, aku terbuang," cerita Ruby santai. "Aku tinggal di panti asuhan. Sejak bayi aku di tinggalkan disana. Aku tidak tahu siapa ayah dan ibuku. Saat aku bertanya pada ibu panti asuhan, ia berkata ada surat yang ditinggalkan tapi hanya berisi tulisan agar aku dinamakan Ruby. Aku tumbuh disana, sendirian, tanpa teman. Aku bersekolah di daerah pinggiran, tidak ada tempat bagi anak sepertiku untuk bersekolah di kota mewah. Aneh, kota sebesar itu menolak anak sekecilku dulu. Sampai SMA, aku tetap bersekolah di daerah pinggiran, tempatku dan anak-anak lain yang bernasib sama untuk menimba ilmu. Sayang sekali, banyak dari mereka berhenti sekolah karena dilarang oleh orang tua mereka. Mereka disuruh bekerja saja. Aku sempat merasa beruntung tidak memiliki orang tua karena tidak ada yang bisa melarangku untuk tidak bersekolah. Walaupun terkadang, aku merasa kesepian."

Platina dan Aren mendengarkan cerita Ruby dengan sedikit rasa bersalah. Keadaan mereka jauh lebih baik dari Ruby sejak kecil. Perasaan mereka tergambar jelas di wajah mereka sehingga membuat Ruby menghentikan ceritanya. "Kalian kenapa? Sudahlah jangan khawatir, aku sudah biasa menceritakan ini," ujarnya menenangkan kedua temannya.

Aren mengangguk kaku. "Maafkan kami jadi mengingatkanmu akan masa lalumu. Mungkin tidak perlu kamu ceritakan lagi kalau itu menyakitkan," kata Aren serius sambil memandang Ruby. Ia menjadi semakin mengagumi perempuan ini setelah mendengar cerita masa lalunya.

"Tidak perlu meminta maaf. Lagipula aku akan tetap menceritakannya. Rasa sakit itu sudah aku pendam dalam-dalam," ujarnya. "Aku akan melanjutkan ceritaku. Suatu hari, aku sedang berjalan sendirian menuju sebuah lapangan kosong di ujung kota. Siang itu, aku sedang menimbang keputusan, akan melanjutkan sekolah ke universitas atau bekerja saja. Kedua pertimbangan itu akan menjadi sebuah keputusan yang kejam manapun yang aku pilih. Saat aku sedang bingung, aku berjalan begitu saja melewati sosok bertudung hitam yang sedang duduk di pinggir jalan. Tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang jatuh di dekatku. Ternyata, itu adalah figurine elang ini. Aku menoleh untuk bertanya pada sosok bertudung hitam tadi apakah figurine ini miliknya. Namun, ia sudah menghilang. "

"Setelah itu, kamu langsung dibawa kesini?" tanya Aren.

"Aku membawanya ke balik lapangan kosong, saat itulah dia tiba-tiba hidup. Aku terkejut dan ingin berlari tapi tidak bisa. Tubuhku membeku. Matanya yang kuning cemerlang membekukan semua otot di tubuhku. Ia seperti dilapisi es di seluruh tubuhnya. Avis berbicara padaku bahwa ia akan membawaku ke suatu tempat yang akan menerimaku. Belum sempat aku bertanya, Avis sudah melebarkan sayapnya dan membawaku bersamanya. Aku merasa seperti dilapisi sesuatu yang licin tapi rasanya sangat panas. Aku hanya bisa menutup mataku dan saat membuka mata, aku sudah sampai di hutan ini. Avis kembali menjadi figurine dan tidak pernah hidup lagi sampai sekarang," Ruby mengakhiri ceritanya sambil memandang figurine berbentuk elang di depannya.

"Sejak saat itu, kamu tinggal di Carmine?" tanya Platina penasaran.

"Aku ditemukan oleh Raja Devon saat aku berkeliaran sendiri di tengah hutan mencari jalan keluar. Aku dibawa ke Carmine dan tinggal disini. Mungkin, inilah tempat yang Avis maksud. Disini aku merasa diterima, aku merasa hidup, aku merasa dimanusiakan. Tidak ada yang mencemooh dan mencela. Aku belajar melindungi diri bersama dengan penduduk disini walaupun aku adalah orang asing. Mereka tetap ramah padaku dan aku punya beberapa teman," jawab Ruby ceria.

Platina dan Aren ikut tersenyum melihat Ruby terlihat senang. Matahari sudah semakin tinggi dan sinarnya yang panas mulai memasuki jendela rumah. Platina berdiri untuk sedikit menutup jendela agar sinarnya tidak membakar kulit mereka. Dari jendela itu, Platina bisa melihat bukit-bukit diseberangnya. Sepanjang mata memandang yang terlihat adalah warna hijau dedaunan dan rumput serta warna coklat batang pohon dan rumah-rumah kayu. Rasanya benar-benar seperti menyatu dengan alam, batin Platina.

"Ruby, apakah menurutmu, kita sebagai para pendatang, memang harus mengalahkan Raja Nero?" tanya Aren.

Ruby menghela nafas. "Aku tidak tahu. Kita bisa apa untuk melawannya. Raja Nero itu kuat. Belum lagi sihir hitamnya yang tidak kita tahu bisa melakukan apa."

"Ruby, kamu tidak pernah ingin pulang? Kembali ke dunia kita?" tanya Platina yang masih berdiri di ambang jendela yang setengah tertutup.

"Tidak," sahut Ruby sambil menggeleng. "Aku bahagia disini. Inilah tempat tinggalku."

Aren mengangguk mengerti dan mulai memutar-mutar figurine serigala di tangannya. Platina menoleh ke jendela dan menyipitkan mata. Ia seperti melihat sesuatu di kejauhan. Rombongan manusia membawa tombak bergerak ke arah Carmine. Tubuh dan kepala mereka berkilau terkena sinar matahari. Apakah itu baju besi? Kenapa mereka memakainya? Platina bertanya-tanya dalam hati.

Tiba-tiba, suara terompet meraung memekakkan telinga. Para penduduk berteriak dari rumah-rumah mereka. Jalanan ramai dipenuhi para pria yang saling berseru pada keluarga mereka untuk bersembunyi dirumah. Platina dan Aren menutup telinga sambil berpandangan bingung. Ruby sudah berdiri dan berlari menuju pintu keluar.

"Tetap disini dan jangan keluar!" teriak Ruby. "Ada musuh datang."

Ruby turun dengan kecepatan luar biasa. Aren memandanginya berlari menuju rumah pohonnya. Sesaat kemudian, Ruby telah memakai baju kulitnya dan menyandang busur serta anak panahnya. Ia berlari menuju balik bukit. Aren ingin mencegahnya agar tidak ikut terlibat dalam pertempuran tapi gerakan Ruby terlalu cepat untuk dicegah. Aren menoleh pada Platina yang masih berdiri dekat jendela.

Platina memandang para pria dari Carmine mulai mendekati rombongan manusia berbaju besi. Aren sudah disebelahnya saat pertempuran dimulai. Bahkan dari rumah pohon Platina di ujung bukit ini, pertempuran itu terlihat mengerikan. Tombak dan pedang saling beradu. Anak-anak panah meluncur ke langit. Teriakan kesakitan mulai terdengar saat logam-logam besi mengenai mangsanya. Terik sinar matahari seakan makin memanaskan pertempuran.

"Sial. Seandainya saja aku bisa ikut bertempur. Aku benar-benar harus mempelajari ilmu berpedang," kata Aren kesal. Ia mengepalkan kedua tangannya erat-erat untuk menahan diri agar tidak berlari menuju pertempuran tanpa keahlian apapun dan mati konyol.

Platina hanya bisa membelalak melihat pertempuran di depannya. "Aku juga harus berlatih memegang senjata," kata Platina pelan. "Tapi, bukankah Carmine terlindungi dari ilusi? Kenapa rombongan manusia itu bisa masuk kesini?"

Aren menggelengkan kepala. Mereka terdiam sambil memandangi para penduduk Carmine yang sedang memperjuangkan tempat tinggalnya dari musuh. Rasa ngeri merayapi punggung mereka. Di dunia Algaria ini, pertempuran adalah hal yang nyata. Mereka tidak punya pengetahuan dan keahlian apapun dalam menghadapi pertempuran seperti ini. Tangan-tangan kematian terasa menghampiri mereka.

Para musuh terlihat jelas sedang terdesak dengan jumlah pasukan yang semakin sedikit namun mereka masih bertahan untuk menyerang. Para pejuang Carmine tetap berusaha mempertahankan keunggulan mereka dengan semakin banyak menyabetkan pedang atau gada, melontarkan anak panah, dan menusukkan tombak. Sorakan kemenangan terdengar keras dari pejuang Carmine setelah musuh terakhir mereka berhasil dibunuh. Langit berubah warna menjadi kemerahan bagai darah seperti ikut terluka akibat pertempuran yang baru saja terjadi. Carmine berhasil mempertahankan diri.

Platina dan Aren masih berdiri memandang akhir dari pertempuran itu melalui jendela. Mereka berpandangan dan mendesah lega. "Semoga Ruby selamat dan tidak terluka," kata Aren. Platina mengangguk setuju dan duduk di kasur mengistirahatkan kakinya yang sudah berdiri lebih dari satu jam sejak awal pertempuran. Aren duduk disebelahnya tanpa tahu harus melakukan apa. Mereka hanya menunggu.

THE OUTSIDERS [END]Where stories live. Discover now