Chapter 33 - Tebing Allbion

7.3K 652 50
                                    

Suara debur ombak membentur karang terdengar bersahutan dengan burung-burung yang memekik di atas lautan. Laut memantulkan warna biru cerah milik langit. Secercah sinar matahari melingkupi seluruh air laut yang bergoyang perlahan. Sesekali, ombak besar datang dan berakhir di tebing karang berwarna putih, dimana Platina sedang berdiri di atasnya.

Platina tidak pernah terlalu suka dengan laut. Aroma asin yang menguar, selalu membuatnya mual. Namun, di Tebing Allbion, Platina mulai menyukainya. Ia bisa melihat hamparan luas air biru yang bebas menggenang dan menari mengikuti angin. Angin menyentuh lembut rambut hitam Platina. Pakaiannya yang lusuh dan penuh darah, telah digantikan dengan atasan putih dan celana cokelat serta sepatu kulit yang diberikan oleh Raja Morven.

"Pat, sudah waktunya."

Platina menoleh ke arah Ruby yang mengenakan pakaian serupa dengannya. Rambut merah Ruby tetap terikat rapi ke belakang. Platina berjalan ke arah Ruby yang menatap langit sambil menyipitkan mata.

"Langit sedang cerah. Ini kesukaannya," kata Ruby sambil tersenyum sedih.

Platina mengangguk menyetujui. Siang itu, akan diadakan upacara pemakaman Corby dan Xavier. Sebenarnya Platina tidak ingin ikut, tapi si kembar memberitahunya bahwa alangkah tidak sopan bila tidak mendatangi pemakaman seorang teman.

"Seandainya Corby bisa melihat ini."

Ruby memegang tangan Platina. "Aku yakin ia sedang melihat. Dari atas langit."

Mereka berjalan bersama menuju halaman belakang Kastil Elviera. Di sana, sudah berkumpul teman-teman mereka, semuanya berpakaian sama. Platina melihat Aren dan Flavian sedang berbincang. Sungguh pemandangan yang aneh. Kedua remaja itu tidak pernah akur sejak awal. Selalu ada Corby yang menengahi mereka.

Dada Platina masih saja terasa sesak ketika mengingat Corby. Ia masih menganggap kematian Corby sangat tidak pantas. Hidup Corby masih bisa lebih berguna dibandingkan mati di tangan Peython secepat itu. Pelupuk matanya terasa berat. Ia buru-buru mengusap mata dengan lengan bajunya.

"Bagaimana keadaanmu, Pat?" tanya Braz ketika ia dan Ruby sudah berada diantara teman-temannya.

Platina mengangkat bahu. "Aku tidak yakin aku baik."

Braz memandangnya prihatin. "Jangan terlalu lama menyimpan kesedihan di dalam hati. Rasa sedih bisa menjadi racun."

Sebuah tepukan keras di punggung membuat Platina menoleh. Ia melihat Aren sedang nyengir lebar. "Corby dan Xavier pasti tidak ingin melihatmu murung."

"Mengingat Corby tersenyum dan nasehat bijak dari Xavier, bukan berarti harus membuat kita bersedih. Kita seharusnya senang, bisa mendapatkan kesempatan hidup bersama mereka," kata Flavian.

Platina terpana mendengar kalimat panjang yang terucap dari mulut Flavian. Kalimat terpanjang yang pernah rambut pirang itu ucapkan biasanya merupakan sebuah ejekan.

"Flav, kata-katamu membuat perasaanku sedikit lebih baik," kata Platina sambil tersenyum.

"Bagaimana dengan kata-kataku?" tuntut Aren.

Platina mengernyit. "Mungkin lebih baik kau mengatakan sesuatu pada Ruby." Ia terkekeh pelan saat melihat Aren kelabakan menghadapi ucapannya.

"Di mana Awra?" tanya Flavian. Ia mendapatkan tatapan terimakasih dari Aren yang telah menyelamatkannya dari situasi canggung bersama Ruby.

"Aku di sini."

Rambut emas Awra berkibar tertiup angin. Ia mengenakan baju terusan selutut berwarna putih. Wajahnya terlihat kesal. "Pelayan di kastil tidak punya baju seperti kalian yang seukuran denganku. Aku terpaksa harus memakai kain berumbai seperti ini."

THE OUTSIDERS [END]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant