Chapter 4 - Pergi

14.1K 1.1K 34
                                    

Setelah keterkejutan Platina mereda, Aren mengajaknya untuk duduk di kasur dan menatap figurin, yang sekarang menjadi serigala hidup di kamar Aren. Serigala itu mengamati mereka berdua.

"Namaku Lupus," kata serigala itu tiba-tiba membuat Platina dan Aren terkejut.

"Dia bisa bicara. Astaga, Aren," ujar Platina tanpa melepaskan pandangannya dari Lupus.

"Tentu saja aku bisa bicara. Apa menurutmu aku sama bodohnya dengan serigala-serigala yang hidup di sini?" lanjut Lupus sambil mendekatkan moncongnya yang bewarna putih ke Platina.

Platina tetap diam di tempatnya dan terlihat semakin tertarik pada Lupus. "Keren! Kau benar-benar hidup."

Lupus menegakkan lehernya dengan angkuh. "Sudah cukup terkejutnya, Nak. Saatnya untuk bicara hal yang lebih penting."

Platina dan Aren saling memandang dengan bingung. Hal penting apa dari seekor serigala, yang membuat ia ingin bicara dengan dua anak manusia biasa di dunia yang normal ini?

"Aku tahu kalian sedang bertanya-tanya dalam hati sekarang. Tapi, penjelasan bisa menunggu. Sekarang dengarkan aku. Simpan aku ketika aku tidak bergerak, jangan sampai hilang atau kalian tidak akan bisa kembali," kata Lupus serius.

"Kembali?" tanya Aren. "Kembali ke mana? Kami kan tidak kemana-mana." Aren menatap Lupus dengan waspada. Suara lolongan anjing terdengar dari luar jendela kamar, memecah keheningan malam.

"Saat ini tidak," kata Lupus seraya maju mendekati mereka perlahan. "Sekarang iya."

Lupus menerjang maju ke hadapan mereka dan api yang selama ini menyelubungi tubuhnya bertambah besar. Api itu menyelimuti Platina dan Aren.

Platina menjerit. Aren berusaha melepaskan diri. Api itu anehnya terasa dingin, bukan panas seperti yang seharusnya. Mereka berdua tercekik api sampai tidak bisa bernapas. Mereka memberontak, namun semakin kuat api itu menyelimuti mereka. Mereka hanya bisa menutup mata kerena dinginnya api menusuk mata. Dunia semakin gelap. Suara lolongan anjing yang tadi terdengar semakin pelan dan menghilang.

Bau pepohonan mendadak masuk ke hidung mereka. Platina dan Aren membuka mata perlahan-lahan. Mereka berdua ternganga tidak percaya. Sesaat sebelumnya, mereka berada di kamar Aren dan terlilit api. Sekarang, mereka berada di sebuah hutan yang penuh dengan pepohonan tinggi menjulang. Ranting-ranting pohon saling bertautan dengan pohon yang lain, membuat sinar matahari sulit menembusnya sehingga hutan terlihat sedikit lebih gelap dari seharusnya.

"Di mana kita?" tanya Aren. Ia berdiri dari rumput-rumput kasar tempatnya terduduk. "Tidak mungkin. Ini hutan? Hei, di mana kamarku? Aduh, gawat kalau sampai hilang, apa yang harus kukatakan pada ayah?"

"Tenang, Aren," ujar Platina menenangkan walaupun pikirannya juga berteriak panik. Ia berdiri kemudian memandang berkeliling. "Ini bukan hutan di perumahan kita, kan? Lagipula sekarang masih sore padahal tadi sudah malam ketika kita ada di kamarmu, jadi setidaknya kamarmu tidak hilang." Platina terkikik gugup. "Sepertinya kita yang menghilang."

"Syukurlah, aku tidak akan dimarahi ayah karena kamar, tapi karena kita hilang," kata Aren sambil nyengir walaupun ia benar-benar khawatir. "Ini bukan hutan di perumahan kita. Dan kau benar, hari masih sore. Sepertinya kita dibawa ke suatu tempat oleh api aneh tadi."

Ia melihat jam tangan dan mendapati angkanya berhenti di 20.37. Jamnya tidak berfungsi disini. Ia juga tidak membawa handphone. Aren menatap Platina khawatir.

"Di mana kita, Aren? Hutan apa ini? Negara apa?" tanya Platina bertubi-tubi. Ia mengambil handphone di sakunya untuk mencari tahu keberadaan mereka. Platina menghela napas saat handphone-nya tidak bisa menyala.

"Bisakah kita kembali? Bagaimana cara kita untuk kembali?" tanya Platina lambat-lambat. Lalu, ia teringat sesuatu. Lupus! Serigala itu yang membawa mereka kesini. Ia memandang berkeliling mencari sosok serigala.

Aren membungkuk dan mengambil sesuatu dari atas rumput. "Ia kembali menjadi figurin," kata Aren seakan bisa membaca pikiran Platina.

Platina melihat figurin itu dan tertunduk lesu. Figurin itu mati, tidak bisa membawa mereka kembali.

"Bagaimana cara menghidupkan ia kembali?" tanya Platina.

Aren mengangkat bahu. Figurin itu terasa dingin. Tidak ada tanda-tanda kehidupan seperti sebelumnya.

"Entahlah, Pat. Tapi, kurasa kita tetap harus menyimpannya. Siapa tahu ia akan kembali hidup dan mengembalikan kita," kata Aren.

"Baiklah," kata Platina. "Aren, sejujurnya—" Belum sempat Platina menyelesaikan kalimatnya, ada sesuatu yang terbang melewati matanya. "Hei, apa itu? Capung?"

Satu sosok hewan terbang lagi muncul dan berputar-putar di badan Aren. Hewan itu kecil, hanya sebesar jari kelingking mereka. Aren mengamati hewan itu dan membelalakkan mata. Jantungnya berdegup kencang. "Pat, kalau kau sadar, hewan ini—"

"Punya kaki dan tangan seperti manusia, ya aku sadar," sahut Platina. Ia juga sedang mengamati sosok itu yang sekarang sedang hinggap di pohon. "Tunggu dulu, mereka punya rambut." Ia melihat bentukan mirip rambut, yzng menempel di kepala hewan itu, berkibar terkena angin dari sayapnya.

"Apa-apaan ini. Tadi hutan, sekarang hewan ini. Apa mereka benar-benar hewan?" tanya Aren takjub.

Aren melihat bentuk hewan itu tidak sepenuhnya seperti hewan. Sayapnya seperti sayap capung, tapi bewarna biru transparan. Badannya lebih pendek daripada capung. Punya kaki dan tangan serta rambut. Aneh, pikir Aren. Tapi, mereka tidak punya mata. Tempat yang harusnya terdapat mata sama sekali bersih. Hanya ada bukaan kecil yang menjulurkan sesuatu seperti lidah di tempat yang seharusnya adalah mulut.

Dua sosok itu terbang saling mendekat dan masuk ke dalam hutan bersama-sama. Platina dan Aren saling berpandangan. Setengah takut setengah penasaran setelah melihat sosok terbang tadi. Pemahaman sedikit muncul di pikiran mereka. Mungkinkah mereka bukan berada di dunia tempat seharusnya mereka berada? Mungkinkah ini seperti apa yang mereka inginkan sejak kecil?

"Aren, sepertinya kita ada di dunia fiksi," kata Platina.

Aren mengangguk. "Aku juga berpikir begitu." Hatinya terasa campur aduk. Ini adalah keinginannya dulu. Sekarang ia ada di sini. Tetapi, apakah ini yang sekarang ia inginkan? Terpisah dari dunia nyata, terpisah dari ayahnya, rumah, sekolah, dan teman-teman sedangkan ia dan Platina hanya berdiri di sini, di hutan asing, tanpa tahu arah dan tujuan.

"Kita harus mencari tempat berlindung. Hari semakin gelap," ujar Platina sambil melihat ke atas. Bayang-bayang pepohonan semakin tinggi, cahaya semakin sedikit yang masuk menembus hutan.

"Ayo, Aren. Kita pergi dari sini. Aku khawatir hewan buas akan datang," ajaknya. Ia tidak tahu harus berbuat apa jika hewan-hewan buas hutan muncul di tengah malam dan menyergap mereka. Mereka tidak membawa senter atau apa pun yang mereka perlukan untuk bertahan hidup. Bahkan, mereka tidak memakai alas kaki dan masih memakai baju yang sama ketika terakhir ada di kamar Aren, yaitu kaos dan celama jeans. Entah bagaimana caranya, mereka harus bertahan di hutan aneh ini. Rasa takut dan khawatir menyelimuti mereka.

Aren mengiyakan sambil menggosok kacamata dengan ujung bajunya. Ia memasang kacamatanya dan menoleh kebelakang untuk mencari arah ke mana mereka akan pergi. Ia menajamkan mata lalu melihat siluet rumah di kejauhan.

"Pat, mungkin ini agak aneh atau memang kacamataku telah menipu. Aku melihat rumah di sekitar sana. Lebih baik kita ke sana dan meminta izin untuk menginap malam ini."

Platina memandang ke arah yang ditunjuk Aren dan mengangguk. Mereka berjalan menuju ke rumah itu. Bayang-bayang hutan makin menghilang. Kegelapan hampir datang. Suara-suara serangga hutan yang tak tampak wujudnya mulai terdengar saling bersahutan. Mereka mempercepat langkah dan tepat waktu sampai di depan rumah itu sebelum kegelapan benar-benar menyergap.

THE OUTSIDERS [END]Where stories live. Discover now