Chapter 29 - Kesendirian

6.4K 642 38
                                    

Platina dan Ruby terikat rantai besi pada tangan dan kakinya. Sinar bulan menerangi mereka dalam sebuah penjara batu. Wajah mereka menunduk. Rambut hitam Platina menutupi wajahnya, begitu juga rambut merah Ruby yang terurai. Pakaian mereka compang-camping seakan telah melewati penderitaan yang begitu berat. Tangan dan kaki mereka terlihat kurus dan kotor. Cairan gelap menetes melalui balik rambut mereka. Perlahan, mereka mengangkat wajah.

Wajah Platina dan Ruby kotor dan penuh luka sayat. Mulut dan hidungnya mengeluarkan darah. Mata mereka tampak cekung, dengan bola mata menatap lurus ke depan dengan nanar. Tatapan matanya seakan mengisyaratkan, mereka akan pergi selamanya.

Aren bangkit dari posisi tidurnya dengan mendadak. Ia buru-buru menoleh ke sekitarnya, setengah berharap dapat menemukan sosok Platina dan Ruby. Ia hanya melihat Awra, Flavian, Dave, dan Derrick yang tertidur dibawah sinar pucat bola sihir.

Aren terbangun dari mimpinya dengan peluh bercucuran. Ketakutan dan kemarahan berkumpul di hatinya. Suasana malam yang sunyi membuat suara jantungnya terdengar lebih kencang. ia menangkupkan tangan di wajahnya, berusaha untuk menghilangan bayangan Platina dan Ruby yang sekarat.

Sudah semalam mereka berjalan sejak Platina dan Ruby ditangkap. Mereka berjalan menuju Sadergh tanpa tunggangan. Hal ini memperlambat kemjuan mereka mendekati Sadergh. Eryl sudah berusaha memanggil rusa gunung dan kuda liar untuk datang, namun tidak ada yang memenuhi panggilannya karena takut mendekati kota terkutuk itu.

Langit sangat gelap tanpa cahaya bulan. Hanya ada bintang-bintang yang berusaha menerangi langit sendirian. Kelap-kelip cahayanya yang samar seakan ikut merasakan kesedihan yang dirasakan Aren. Angin semilir bertiup, membuat Aren bergidik kedinginan. Tidak ada pepohonan yang mampu menahan angin ditempatnya saat itu. Hanya sepetak tanah kosong.

"Aren, kau sudah bangun? Waktu jagamu masih lama," kata Corby di sebelahnya.

"Sekarang, kami yang berjaga," sahut Xavier yang sudah bangkit dari alas tidurnya. Kaki-kaki kudanya berdiri tegak menimbulkan suara berderap yang teredam.

Eryl datang dari kejauhan. Ia berlari ringan menuju mereka. Separuh bagian tubuhnya yang berbentuk pohon kini memiliki bekas luka sayat akibat pertarungannya semalam.

"Situasi aman," lapor Eryl, "aku masih belum bisa melihat Sadergh dengan jelas. Betapa cepat para prajurit membawa Platina dan Ruby dari sini. Kuduga, tunggangan mereka memiliki daya tahan tubuh yang kuat. Kita tertinggal."

Rahang Aren mengeras. "Kita tidak bisa diam saja di sini," katanya geram, "kita harus segera berangkat mengejar mereka."

Xavier memandangnya dengan prihatin. "Aku mengerti kemarahan dan ketidaksabaranmu. Tapi, kau ingat perkataan Seleca tadi pagi?"

Aren bergeming, walaupun dalam pikirannya, ia setuju. Pagi tadi, setelah pertarungan selesai, Eryl menghubungi Seleca untuk melaporkan keadaan. Seleca, seperti biasa, raut mukanya tak terbaca saat mengetahui Platina dan Ruby tertangkap.

Seleca menyarankan mereka untuk membebaskan kedua perempuan itu, namun dengan perhitungan yang matang. Mereka tidak boleh gegabah, karena tindakan itulah yang dinantikan Peython untuk dapat menjebak mereka semua. Seleca yakin bahwa Platina dan Ruby tidak akan segera dibunuh oleh Peython. Kesombongan adalah kelemahannya. Pethon akan membiarkan tawanannya hidup beberapa hari untuk menunggu mangsa lainnya datang.

Dua sampai tiga hari, adalah batas waktu yang berani Seleca katakan, kalau Platina dan Ruby dapat hidup. Mereka semua harus memikirkan cara terbaik menyelamatkan kedua temannya.

"Jangan gegabah," kata Aren pelan.
Xavier mengangguk menyetujui. "Kita pasti akan menyelamatkan mereka."

"Tidakkan kita harus memberitahukan masalah ini pada Raja Devon?" tanya Corby pada Eryl.

Aren menoleh memandang Eryl yang belum menjawab. Sulit untuk melihat raut muka Eryl di tengah cahaya samar dalam kegelapan seperti ini. Namun, Aren seperti melihat setitik keraguan muncul di wajah penyihir bertubuh setengah pohon itu.

"Aku ragu akan ada yang menjawab sihirku. Hari sudah larut," jawab Eryl pelan. "Tapi, akan aku coba."

Eryl mengeluarkan sebuah cermin kecil yang memang digunakan untuk berkomunikasi dengan kawan yang berada di jarak jauh.

"Longe Aspiciat."

Perlahan, bayangan wajah Eryl pada cermin itu memudar, dan digantikan dengan wajah Lunette, penyihir perempuan tua dengan rambut putih.
"Salam, Eryl," kata Lunette. "Apakah ada yang tidak beres?" tanyanya tajam. Seperti biasa, perasaan Lunette sangat peka terhadap hal-hal yang tidak berjalan normal.

Eryl membalas salam Lunette, kemudian menceritakan kejadian yang dialami oleh mereka. Lunette mendengarkan tanpa menyela sampai Eryl selesai bercerita.

"Platina dan Ruby, mereka dalam bahaya," kata Lunette, "kalian ingin berbicara dengan Raja Devon? Akan aku panggil. Saat ini, dia sedang sibuk bahkan saat malam hari karena kami sudah berjalan sampai ke tengah bagian utara untuk menyerang Valonia, sehingga banyak mekanisme yang harus berulang kali diatur. Tidak banyak yang bisa menghadang kami. Segerombolan prajurit di beberapa daerah dapat kami tumpas."
Lunette pergi dari depan cermin, sehingga cermin itu kosong tanpa bayangan.

Tak lama, wajah Raja Devon muncul di cermin. Ia membuka jubah panjangnya lalu duduk di kursinya. Eryl mengucapkan salam, yang dibalas Raja Devon dengan sopan, kemudian Eryl kembali mengulangi ceritanya yang dibalas Raja Devon dengan raut muka cemas.

"Aku khawatir," kata Raja Devon, "kalian harus berjuang sendiri untuk menyelamatkan Platina dan Ruby. Pasukan kami terlalu jauh untuk membantu kalian di Sadergh, waktunya tidak cukup. Dengan berjalan kaki, kami membutuhkan waktu sekitar sebulan."

Jeda sejenak. Tidak ada yang berbicara.

"Dua hari lagi, kalian harus bisa menyelamatkan mereka dalam waktu dua hari lagi?"

Eryl mengangguk.

Raja Devon menghela napas. "Apa yang bisa kuperbuat untuk membantu kalian selain mengirimkan pasukanku, yang tidak mungkin aku lakukan karena alasan yang sudah aku jelaskan tadi."

Corby menyahut, "Doakan kami, Raja. Kami akan berusaha menyelamatkan mereka."

"Tentu, tentu, Nak," kata Raja Devon. "Semoga keberuntungan menyertai kalian."

"Semoga kedamaian mengikutimu," balas Eryl sambil melepaskan aliran sihirnya sehingga cermin itu berubah menjadi cermin biasa.

"Kita sendirian," ujar Xavier pelan.

"Sudah kuduga kita harus berjuang sendiri," kata Eryl, "aku ingin menghubungi penyihir di tebing Allbion, tapi aku tidak tahu seperti apa rupanya. Sihir ini tidak akan bekerja bila pemiliknya belum pernah bertemu dengan orang yang akan dihubunginya."

Aren mengangguk tanda mengerti. Kegelisahan kembali menyusup di hatinya.

"Aku harus bisa menyelamatkan Platina dan Ruby," kata Aren. "Walaupun nyawaku yang jadi taruhannya."

"Ada aku yang akan menemanimu," ujar Corby, "dan kita semua, benar kan?" tanyanya pada Eryl dan Xavier.

Penyihir dan Centaurus itu mengangguk dengan penuh keyakinan.

Tanpa mereka berempat ketahui, ada seseorang di balik selimut yang mencengkeram pedangnya dengan kuat sampai buku jarinya memutih. Setetes air matanya, jatuh mengalir dalam diam.

THE OUTSIDERS [END]Where stories live. Discover now