BAB 45

340K 26K 2.7K
                                    

Dawin - Dessert


BAB 45

SEJAK pernyataan itu, gengsi Raja seakan meluruh begitu saja. Dia bisa bebas mengatakan apapun yang sejak dulu ingin ia katakan kepada Ratu. Mungkin benar perkataan Ladit tempo hari. Kalau saja Raja tidak gengsi, sudah jelas dirinya dan Ratu jadian.

Sudah seminggu berlalu, namun tak begitu banyak hal berubah selain Raja merasa menjadi tukang "modus" dan Ratu malah tampak "murung". Dua kata berinisial m yang tampak aneh bila disandingkan. Alih-alih bereaksi murung, seharusnya Ratu malu karena Raja modus.

Tapi sore ini, Raja mendapat jawabannya.

"Ratu mau ziarah ke makam Mama-Papa," tukas Ratu sambil menoleh sendu ke arah Raja, "Ini hari ulang tahun mereka."

Dari reaksi Ratu yang menangis saat membicarakan orangtua gadis itu membuat Raja tahu, Ratu tetap kesepian. Tidak ada yang bisa menggantikan kehadiran mereka di mata Ratu. Tidak temannya, tidak Reon, tidak ... Raja.

Sungguh pedih.

Raja mengusap puncak kepala Ratu, "Oke, Rat."

Raja membalik arah mobilnya ke pemakaman orangtua Ratu. Kalau diingat-ingat, tidak lebih dari tiga bulan Raja ke sana. Saat itu langit mendung dengan awan menggantung. Raja menemani Bunda melayat sahabat lamanya. Sebenarnya, hari itu Raja terpaksa ke sana karena Bunda mengancam akan memotong uang jajan bulanannya.

"Tante ikut berduka cita, Nak Reon," suara Bunda masih teringat di benak Raja. Setelah itu pun Raja mengucapkan belasungkawa kepada cowok jangkung dengan senyum sendu—Reon.

Bunda tiba-tiba menghampiri seorang gadis dengan gaun hitam selutut. Gadis itu membelakangi Bunda dan Raja. Begitu Bunda menepuk pundaknya, ia menoleh dengan senyum tegar.

"Bibi ...," tampaknya gadis itu mencoba mengingat nama Bunda.

"Bibi Mitha, sahabat SMA mama kamu," lanjut Bunda sambil membawa gadis itu ke pelukannya. "Yang kuat ya ...."

"Iya, Bi," suara gadis itu tidak bergetar sama sekali. Seolah dia telah membangun dinding pertahanan yang menghindarkan dirinya dari tangis.

Gadis itu melihat Raja, lalu berbisik kepada Bunda. Tentu dengan jarak sedekat ini Raja masih bisa mendengar suara lembutnya. "Itu ... siapa, Bi?"

Bunda tersadar dan segera melepas pelukan mereka. Bunda meminta Raja mendekat dengan isyarat tangannya, membuat Raja terpaksa bergerak. Kini, jarak Raja dengan gadis itu hanya dua langkah.

"Kenalin, Raja, anak tante satu-satunya," ucap Bunda sambil tersenyum bangga, "Waktu kecil, kalian sering main bareng di rumah kami."

Raja tersenyum kikuk pada gadis yang menurutnya asing itu. Sejujurnya ia tidak pernah ingat memiliki teman masa kecil perempuan.

Merasa semua ini tak akan lari kemana-mana, Raja mengulurkan tangannya pada gadis itu. "Hai, gue Raja."

Gadis itu tersenyum tulus dan menyambut uluran tangan Raja. Waktu itu, Raja yakin pertemuan mereka hanya sampai di sini. Hingga gadis itu menyebut namanya.

"Hai, gue Ratu."

Raja tidak bisa tidur malam itu. Nama Ratu seolah menyangkut di kepalanya. Dia bertanya pada Bunda apakah nama mereka sengaja dipasangkan, namun Bunda menautkan kedua alisnya sebelum menjelaskan.

"Bunda reuni sama Mama Ratu waktu di supermarket. Waktu itu kalian masih bayi, sama-sama duduk di stroller. Pas Bunda dan Mama Ratu tau nama kalian sepasang, kami ketawa. Yah, nggak kaget juga, sih. Dari dulu Bunda sama Mama Ratu sehati. Sayang Mama Ratu harus pindah ke luar negeri untuk ngejar beasiswanya. Sejak itu, Bunda lost contact sampai reuni supermarket itu."

Raja harus mengangkat tangannya untuk menghentikan cerita panjang lebar Bunda. Yang ia tahu, nama mereka tak disengaja. Tapi tetap saja, sejak itu hati Raja tidak menentu. Apalagi setelah mengetahui Ratu adalah adik kelasnya, sementara Reon mantan ketua Komplotan Rahasia.

"Raja? Ja? Kita udah sampe," suara lembut Ratu membuat Raja tersentak.

Raja melamun sambil menyetir—dan selamat? Wah, sepertinya bakat menyetir Raja meningkat.

"Keluar, yuk," ucap Ratu sambil tersenyum.

Raja mengembalikan senyum Ratu lalu keluar dari mobil bersama-sama. Bergandeng tangan.

Jarak makam orangtua Ratu tidak jauh dari sini. Mereka sampai tak lebih dari lima menit. Sepanjang perjalanan, Ratu diam. Sebenarnya Raja ingin mengobrol, tapi ia tahu ini bukan saat yang tepat.

Ratu duduk di antara makam kedua orangtuanya. Untung saja, masih ada celah bagi Raja untuk ikut duduk. Gadis itu berdoa dalam diam, begitupun Raja. Raja mengharapkan kedua orangtua Ratu tenang dan diterima dengan baik di sisi-Nya.

"Ma, Pa," ucap Ratu pelan setelah doanya selesai, "Ratu bawa Raja."

Tunggu, Raja belum siap bertemu Mama-Papa Ratu meski tidak secara harfiah. Dia bahkan tidak tahu harus berkata apa!

"Eh ... halo, Om, Tante, hehe," timpal Raja canggung.

"Mungkin Mama-Papa udah tau kali, ya, 'kan Mama-Papa kenal Raja lebih dulu dibanding Ratu," ungkap Ratu sambil terkekeh, "Tapi Ma ... Pa ..., boleh Ratu sayang sama Raja?"

Raja seperti ketiban durian runtuh. Jantungnya berdegup melebihi ritme yang biasanya. Ia melihat langit tanpa awan kelam yang menggantung, lalu menceletuk.

"Boleh, kok."

Tanpa Raja melihat, gadis itu tersenyum lebar dengan pipi bersemu merah.

"Selamat ulang tahun, Mama. Selamat ulang tahun, Papa."

Saat perjalanan pulang, terjadi percakapan ini:

Raja: "Orangtua Ratu ulang tahun di tanggal yang sama?"

Ratu: "Iya, 3 Agustus."

Raja: "Kalo Ratu ulangtahun kapan?"

Ratu: "10 September. Raja?"

Raja: "Raja juga 10 September."

Ratu: "Bohong!"

Raja: "Iya, bohong. Hehehe, habis, Raja pengen jodohnya sama Ratu."

Ratu tidak membalas, ia malah menggamit lengan Raja lebih erat seolah mengatakan, "Ratu juga mau."

Dan itu pun lebih dari cukup.

R: Raja, Ratu & RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang