BAB 49

308K 22.4K 1.6K
                                    

Aku dan Bintang - Peterpan

BAB 49

ADA alasan kenapa Raja dari dulu selalu mengirit uangnya. Ia ingin menabung uangnya untuk biaya universitas di luar negeri. Tidak ada yang tahu alasannya itu karena Raja memang tidak mau dianggap terlalu serius dan berpikir ke depan. Hanya saja, hari ini, sesuatu tentang hal itu berubah.

"Kamu mau kemana? Bunda mau ngomong dulu," sahut Bunda ketika Raja hendak pergi. Sebenarnya Sabtu ini Raja menelepon Ratu, namun gadis itu tidak mengangkat teleponnya. Maka Raja memutuskan untuk ke rumah Ratu, ada sesuatu yang ingin Raja tunjukkan.

Raja menaruh sepatunya kembali ke rak, lalu berjalan dengan langkah santai ke arah Bunda. Cowok itu menatap bertanya beliau.

"Abis ini, kamu mau kemana?" tanya Bunda tiba-tiba.

"Mau ke rumah Ratu, Bun," jawab Raja luwes.

"Bukan, maksudnya abis kamu sekolah. Kamu mau kuliah dimana, Ja?" sesaat, Bunda tampak terlonjak, "Kamu mau ke rumah Ratu? Bunda ikut, ya!"

"Bunda," rengek Raja sambil menggaruk tengkuknya, "Aja mau pergi sama Ratu, bukan mau ngelamar. Bunda nggak usah ikut, nanti aja lima tahun dari sekarang."

Bunda menunjukkan cengirannya, "Lima tahun lagi, ya. Bunda pegang, lho."

"Itu pun kalo Ratu mau," sungut Raja, "Semoga mau, doain aja, deh, Bun."

Tersadar akan sesuatu, kali ini Bunda melotot. "Kembali ke topik. Kamu mau kuliah dimana?"

"Luar negeri sih, Bun," lagi-lagi Raja menggaruk tengkuknya, kebiasaan cowok itu bila salah tingkah. "Tapi baru kekumpul duit dua puluh."

Bunda mematung, dan hal itu lebih menyeramkan dibanding menonton film horror marathon. Seolah ada bom waktu yang menunggu untuk meledak. Satu ... dua ... ti ....

"Kamu dapet uang darimana? Kamu pengedar, ya?! Kamu ngedarin narkoba? Ya Tuhan, Raja, Bunda nggak pernah ngajarin kamu kayak gitu!"

Raja melotot, "Ya Tuhan Semesta Alam, Bunda! Mana mungkin sih, Aja ngedarin? Urusannya 'kan sama polisi, Aja takut polisi!

Kali ini Bunda tampak lega, dirinya sadar anaknya bukan tipe-tipe pengedar yang tidak kenal takut akan resikonya.

"Jadi ini alasan kamu pelit banget bayar mie ayam Pak Safiudin?" tanya Bunda lagi.

Raja mengangguk.

"Kenapa nggak bilang ke Bunda?"

"Takut dimarahin, Bun."

Jengkel, Bunda memutar bola matanya. "Untungnya Bunda tahu sekarang. Kemarin Bunda dikasih tau ada beasiswa di Paris. Ada saudara Bunda juga di sana yang bisa jaga kamu. Gimana, kamu mau?"

Raja sejenak berpikir. Beasiswa sudah tentu hal yang Raja inginkan. Namun, ia tidak yakin mengenai nilai-nilainya yang standar di sekolah. Satu-satunya hal yang bisa Raja usahakan adalah menabung uang untuk ke luar negeri.

"Bunda bisa bantu," sergah Bunda cepat ketika melihat wajah Raja. "Nilai-nilai kamu memang standar, namun kamu pintar ngomong di depan."

"Pinter ngomongnya, 'kan, kalo nggak ada yang dengerin."

"Bunda dengerin, lho. Kamunya aja yang nggak nyadar."

"Tapi, Bun ...," sergah Raja lagi, namun ia urung untuk meneruskan.

Bunda selalu mengerti Raja, "Soal Ratu, ya?"

Raja tersenyum kecil dan mengangguk. Sebenarnya, niat pergi meneruskan pendidikan di luar negeri sudah bercokol lama di kepala Raja. Namun itu sebelum ia bertemu Ratu, sebelum gadis itu berhasil membuat keputusan-keputusan Raja yang telah pasti kini ia ragukan.

"Itu pilihan kamu," ucap Bunda, "Apapun pilihan kamu nantinya, Bunda harap kamu nggak nyesel."

Lama Raja terdiam, lalu ia mengangguk pelan dan bangkit berdiri. "Pergi dulu, ya, Bun."

"Salam buat Ratu."

Raja hanya nyengir.

Persimpangan takdir itu pasti memiliki alasan tertentu, dan Raja ingin mencari tahu.

Sebentar saja, bersama Ratu.


R: Raja, Ratu & RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang