BAB 1 (Eh, Kok Ganteng?)

193K 11.8K 509
                                    


Rumah Sakit Fatmawati. Aku memandang gedung megah itu dengan wajah bak orang idiot. Entah ini namanya keberuntungan atau justru kesialan, namaku keluar pada pemilihan penempatan rumah sakit pendidikan di rumah sakit tersebut. Yap, aku diberi kesempatan untuk menimba ilmu di rumah sakit rujukan kedua se-Indonesia itu selama tiga bulan ke depan.

Perkenalkan, namaku Adit. Bukan, aku bukan lelaki ganteng seperti kebanyakan para pemilik nama Adit di seluruh Indonesia. Ya, aku akui nama Adit memang terlalu pasaran. Tapi, aku perempuan. Perempuan yang terlahir tanpa persiapan karena ibuku hanya USG satu kali selama hamil saat belum jelas jenis kelaminku apa.

Maklum, ibu adalah perempuan desa tamatan SMP yang percaya mitos bahwa jika ngidamnya daging-dagingan maka yang lahir adalah anak laki-laki. Alhasil segala persiapan kelahiranku adalah tentang anak laki-laki. Termasuk nama. Tapi entah ibu memang orangnya terlalu simpel atau memang saat itu sedang malas mikir, namaku sampai dibuat sebegitunya. Adit. Ya, hanya Adit. Nggak ada embel-embel lainnya dan yang jelas nggak ada keren-kerennya.

By the way, aku seorang ko-assisten alias koas. Jika ada orang yang bertanya koas itu apa, aku sering bingung bagaimana menjelaskannya. Koas itu sering disebut dokter muda. Belum dokter sih, tapi bukan juga mahasiswa. Jadi bisa dikatakan, koas adalah sarjana kedokteran yang sudah di wisuda dan sedang belajar terjun langsung menangani pasien di rumah sakit, tapi masih dibawah pengawasan dokter. Mengerti? Kalau enggak, ya sudahlah, semoga dosa kalian diampuni.

Aku mengancing jas putihku dengan perasaan gugup. Dengan mengucapkan bismillah, aku mulai melangkahkan kaki memasuki wilayah rumah sakit itu.

Sepanjang perjalanan, aku nggak bisa menahan rasa kagumku pada rumah sakit yang maha luas ini. Gedung-gedungnya tinggi, halamannya super luas, dan segala kesibukan yang terlihat di pagi ini tampak menambah kesan gagah dan megahnya rumah sakit Fatmawati.

"Permisi dokter, mau bertanya, gedung radiologi dimana ya?" seorang ibu berjilbab ungu menghampiriku dibarengi senyum tulusnya.

Sudah biasa kami para koas dipanggil dokter karena jas putih yang kami gunakan memang adalah jas yang biasa dipakai para dokter. "Maaf, Bu, saya juga masih baru disini. Saya belum tahu dimana gedung radiologi,"

"Oh, baik. Terima kasih, dokter," Ibu itu kembali tersenyum kemudian pergi meninggalkanku.

Huft, bagaimana aku bisa hafal dimana gedung radiologi, gedung di rumah sakit ini banyak sekali. Tiba-tiba mataku menangkap sesuatu. Sebuah peta! Ah, ini dia yang aku butuhkan. Peta itu adalah peta lokasi berbagai gedung di Rumah Sakit Fatmawati yang dibuat pada sebuah papan berukuran 1 meter x 2 meter.

Berdasarkan koas sebelumnya, aku harus pergi ke gedung Teratai. Sialnya, dari lokasiku berdiri sampai ke gedung Teratai ternyata jauh sekali. Hiks, bisa kurus kalau aku seperti ini terus.

Aku mempercepat langkahku menuju gedung Teratai dan keringatku sepertinya nggak mau diajak kompromi. Badanku basah sekali seperti habis mandi belum pakai handuk. Sesampainya di gedung Teratai—ditambah nyasar beberapa kali—akhirnya aku bisa mengistirahatkan kaki. Tapi tunggu dulu, aku harus naik ke lantai 5, di bangsal Penyakit Dalam. Ya, lantai 5 saudara-saudara.

Sialnya—entah sudah berapa kali aku mengeluh perihal kesialanku ini—lift sedang ramai peminat alias penuh dengan pengunjung yang hendak naik ke lantai atas juga. Aku bukan tipe penyabar yang mau saja menunggu lift kosong. Maka tanpa pikir panjang aku naik tangga. Ya Tuhan, ujianmu begitu hebat padaku pagi ini.

Dengan nafas yang sudah satu-satu dan jantung yang sudah berdegup cepat tanda paru-paruku butuh oksigen yang sangat banyak, akhirnya aku sampai juga di lantai 5. Aku mengatur nafas sejenak. Setelah merasa lebih tenang, aku mulai melangkahkan kaki memasuki bangsal di sebelah kanan tangga.

Beberapa perawat dan keluarga pasien berseliweran dihadapanku. Aku celingak-celinguk, berharap seseorang melihat keberadaanku yang sudah cukup mencolok dengan jas putih ini.

"Dokter Adit, pasien Bapak Ujo apnoe!" teriak seorang perawat berperawakan tinggi kurus.

Aku membelalakkan mata. Si-siapa tadi yang disebut? Adit? Dokter Adit? Kok mereka bisa tahu namaku?

Tiba-tiba seorang anak perempuan berusia sekitar 10 tahun menarik-narik tanganku. "Dokter, tolongin papa! Papa nggak gerak! Tolongin papa!" ucapnya sambil menangis terisak-isak.

Aku melongo beberapa detik kemudian pasrah saja ditarik anak perempuan itu menuju sebuah kamar yang berisi beberapa bed yang sudah penuh dengan pasien. Di bed C, seorang lelaki paruh baya terbujur lemah dengan mata terpejam. Wajahnya sudah pucat. Aku mencoba menyentuh tangannya dan langsung terlonjak kaget. Dingin sekali. Sepertinya bapak ini....

"Dokter, tolong suami saya, Dok! Kenapa dia nggak bangun-bangun daritadi?" Seorang wanita menangis disamping tubuh pria itu.

Aku terdiam. Jujur, aku bingung apa yang harus aku lakukan. Maklum, hari ini adalah hari pertamaku menjadi koas.

"Kenapa baru memanggil saya?"

Aku menoleh dan mendapati seorang lelaki tinggi, tegap namun agak kurus, berambut ikal, masih muda dan memakai jas putih sama sepertiku masuk ke dalam bangsal ini.

"Maaf, Dokter, saya baru tahu saat tadi tugas keliling. Tensi dan nadi pasien tidak terukur. Nafas dan detak jantung juga semakin melemah bahkan nyaris tidak terdengar," ucap seorang perawat yang mengikutinya.

"Pasang EKG, siapkan epinefrin dua ampul!"

"Baik, Dokter,"

Pemandangan di depan kedua mataku ini benar-benar menakjubkan. Lelaki yang dipanggil dokter itu setelah memeriksa keadaan pasien lalu melakukan RJP (Resusitasi Jantung Paru) sampai naik-naik ke atas bed pasien. Seorang perawat memasang alat Elektrokardiograf (EKG), seorang lainnya memompa balon sungkup yang terhubung dengan tabung oksigen. Dokter itu sempat memerintahkan memasukkan suntikan epinefrin ke dalam selang infusnya.

Keadaan berubah mencekam. Langit cerah di balik jendela terlihat kontras dengan atmosfer yang terasa di sini. Ini kali pertama aku melihat dengan mata kepalaku sendiri sesosok manusia sedang berada diambang kehidupannya. Sepertinya malaikat pencabut nyawa sedang berada di bangsal ini. Pasalnya, bulu kudukku sampai berdiri dan waktu seolah ikut berhenti seakan sedang menahan nafas menunggu kepastian dari sang Maha Pencipta.

Menit demi menit berlalu, akhirnya sebuah keajaiban terjadi. Alat EKG menampilkan aktivitas listrik di jantung pasien normal kembali. Lelaki yang dipanggil dokter itu menghembuskan nafas lega.

"Ibu, kondisi Bapak sudah kembali pulih," seluruh manusia yang ada di bangsal ini ikut menghembuskan nafas lega. Tanpa sadar, akupun demikian.

Namun, beberapa detik kemudian, terjadi sesuatu diluar dugaanku. Tenggorokanku seperti tercekat dan jantungku mau copot.

Dokter itu menatapku!

Eh, tapi, kok... ganteng?

***

To be continue

Internal LoveWhere stories live. Discover now