BAB 2 (Pemilihan Jodoh)

104K 9.9K 698
                                    


Matanya cokelat muda. Sayu, namun sorotnya lebih tajam dari mulutnya Feni Rose. Aku merasa ada perpaduan yang aneh di matanya. Ada beberapa orang di muka bumi ini yang tercipta dengan wajah yang sekali orang melihatnya, maka bisa langsung menebak bagaimana karakternya. Ya, lelaki di hadapanku ini contohnya.

Dingin dan menyeramkan. Bahasa singkatnya adalah angker.

Keringat yang mengucur di pelipisnya menandakan seberapa keras dia berjuang menyelamatkan satu nyawa di pagi ini. Kantong matanya tampak jelas. Rambut hitam ikalnya terlihat berantakan senada dengan baju jaga biru mudanya yang lecek disana sini.

Entah sudah berapa detik terlewat dengan adegan tatap-tatapan seperti ini. Aku baru saja ingin membuka mulut namun dokter itu tiba-tiba berlalu melewatiku tanpa meninggalkan satu patah katapun atau sekedar melempar senyum.

Aku inisiatif mengejarnya. "DOK, DOKTER, MAAF," Aku menghentikan langkah ketika lelaki itu menghentikan langkahnya juga. "Saya koas yang baru, Dok. Perkenalkan saya...,"

"Temui Dokter Chandra," begitu ucapnya tanpa melirikku sedikitpun sebelum akhirnya kembali melangkah menjauhi koas yang sedang menganga lebar ini.

Demi Tuhan, kesambet apa sih tuh cowok?

"Sudah ganteng, hebat lagi,"

"Kalau bukan dia yang jaga malam ini, pasti pasien itu sudah plus,"

"Bener-bener! Orangnya care banget sih,"

"Iya, tapi juteknya itu loh yang nggak nahan,"

"Loh, justru itu yang bikin si dokter makin seksi. Hahaha,"

Aku geleng-geleng kepala mendengar percakapan tiga perawat centil di belakangku ini. Pesona dokter tadi sepertinya terlalu kuat. Ya memang sih aku akui, saat dia melakukan RJP tadi terlihat ganteng. Ralat. Ganteng paraaaaaah!

Huh, tapi ganteng kalau jutek apa kerennya?

"ADIT, KOK LO UDAH DATANG?" Uti melambaikan tangannya dari arah tangga yang berjarak sekitar 10 meter dari tempatku berdiri.

Buset, ini anak kenapa suaranya ngalahin speaker masjid sih? Bikin malu.

Aku melambaikan tangan. "Sini!"

Uti dengan wajah cerianya berlari masuk ke dalam bangsal. Ya, definisi berlari. Ck!

Di belakang Uti ada Raina, Mutia dan Ocha yang berjalan jauh lebih santai. Oh iya, mereka adalah teman-teman seperjuanganku selama 3 bulan ke depan. Kami akan mengabdi sepenuhnya untuk pasien-pasien penyakit dalam Rumah Sakit Fatmawati ini.

"Lo udah ketemu Dokter Chandra, Dit?" tanya Raina yang cantik banget hari ini pakai dress pink. Berasa mau kondangan.

"Belum nih,"

"Dokter Chandra itu bentuknya gimana ya?" celetuk Ocha sambil garuk-garuk kepala.

"Bulet, Cha, kayak kamu!" timpal Mutia asal.

"Hih, nggak ada yang ganteng apa disini? Katanya residen-residen Fatma ganteng-ganteng,"

"YA KALI, CHA. KALO MEREKA GANTENG MAH UDAH JADI ARTIS, NGAPAIN SUSAH-SUSAH JADI DOKTER,"

Mulut Uti rasanya pengen aku sumpel pake sepatu. Kalo ngomong nggak bisa pelanan sedikit. "Uti, volume kecilin!"

Kening Uti mengerut. "BADAN GUE UDAH KECIL GINI BUAT APA DIKECILIN LAGI?"

"Bukan badan lo, tapi suara lo!"

"OH, SORRY,"

Riana menepuk jidatnya. "Ya udah, tanya perawatnya aja yuk!"

Internal LoveWhere stories live. Discover now