BAB 25 (Halaman terakhir)

63.4K 7.7K 187
                                    



[Hivi - Pelangi. Enjoy it!]

Entah kenapa, mendapat perlakuan seperti ini justru membuatku penasaran. Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh dari pandangan. Ada sesuatu yang dia sembunyikan dan aku harus memastikannya saat ini juga sebelum dia benar-benar nekat untuk menendangku keluar dari rumah sakit ini.

Langkahnya yang tergesa-gesa dengan cepat aku sejajari sampai aku sendiri lupa kalau ankleku sedang dislokasi. Tidak sulit untuk mendapatkan pergelangan tangannya dan menyeretnya ke lorong rumah sakit yang lebih sepi. "Saya belum selesai bicara," kataku setelah membawanya ke tempat yang kupastikan 'aman' dari keberisikan para manusia.

Tangannya menghentakkan cengkramanku. "Mau Dokter apa sih?"

Aku tahu dia marah sekali, ini terlihat dari percikan api yang berkobar dalam sorot matanya. "Kenapa kamu harus menghindar?"

"Saya nggak suka dipaksa!"

"Memangnya salah saya apa?"

"Dokter nggak salah!" Dia membuang muka. "Saya hanya... saya hanya punya alasan tersendiri dan saya nggak bisa memberi tahu Dokter,"

"Saya ingin tahu apa alasan kamu," Aku menjeda kalimatku, berpikir, mungkin ada baiknya aku mengiming-iminginya sesuatu agar dia mau bicara, "Dan setelahnya saya janji saya akan pergi dari Yogyakarta,"

Beberapa detik dia menatapku seperti menyiratkan sesuatu. Dia... bingung mungkin? Aku melihatnya berkali-kali menarik napas dan hendak mengatakan sesuatu tapi kemudian dia urungkan. "Saya nggak bisa, Dokter. Saya... saya nggak boleh. Saya mohon, jangan paksa saya," ucapnya dengan suara bergetar.

Aku mencoba menggapai arah matanya yang mulai berkaca-kaca. Aku tahu, ada hal yang dia pendam dan begitu menyiksanya. Hal inilah yang membuatnya bersikap sedingin ini padaku sejak awal pertemuan kami.

Dan saat kedua sorot mata kami saling beradu, aku langsung terkejut karena akhirnya disanalah aku mendapatkan jawaban tanpa kata dari pertanyaanku yang terpampang dengan jelas dalam iris matanya yang berwarna hitam pekat. "Kamu punya perasaan sama saya?" tembakku tanpa basa basi.

Dia tersentak. Reaksi ini sudah kuprediksi karena dulu dia selalu memasang ekspresi itu setiap kali aku berhasil menebak apa yang dia rasa atau apa yang ada dipikirannya. Sebenarnya ini bukan kelebihanku, tapi ini adalah kekurangannya yang mudah sekali mengekspresikan apa yang dia rasa atau dia pikirkan lewat binar matanya.

"Saya... saya memang punya masalah dengan pertunangan saya. Tapi saya akan mempertahankannya,"

Ternyata benar. "Itu bukan jawaban dari pertanyaan saya,"

Dia mengusap wajahnya sekali lalu memberanikan diri untuk menantang menatapku. "Saya akan menikah," katanya sembari memberi penekanan pada setiap kata, lalu dijeda oleh usahanya untuk menahan tangis yang hampir luruh, "Jadi saya mohon, jangan lagi datang pada saya. Saya harus memperjuangkan apa yang harus saya perjuangkan,"

"Lalu kenapa saya tidak boleh ikut memperjuangkan apa yang harus saya perjuangkan?"

"Karena apapun yang kita lakukan itu salah, Dok! Setidaknya itu buat saya," Dia menghela napas berat, dan sangat terlihat berusaha mengatur emosinya. "Saya harus pergi. Maafkan saya,"

Aku kembali menatap punggungnya yang berjalan menjauhiku. Semakin jauh, semakin terasa sekali kalau aku tidak ingin kehilangannya.

Mungkin ini hanya hipotesisku, tapi jika pertemuan setelah 5 tahun lost contact ini adalah sebuah kebetulan, tidak mungkin apa yang aku rasakan bisa sekuat ini. Aku yakin, semesta pasti sedang berkonspirasi untuk mempertemukan apa yang seharusnya dipertemukan. Aku dan dia, pasti ada garis takdir yang mengikat kami berdua.

Internal LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang