BAB 17 (True Love)

67K 8.3K 303
                                    

[ATTENTIONDengarkan lagu yang terdapat di multimedia di atas dengan menggunakan headset supaya feelnya lebih berasa saat baca]

Setelah aku melewati menit-menit yang begitu mendebarkan, akhirnya disinilah aku terdampar. Di kantin, dengan nasi gudeg dan es teh manis di depan mataku. Juga dokter Adit dan roti isi cream cheesenya.

Kami duduk berhadapan di sudut kantin. Posisinya di dekat kaca sehingga agak sedikit menolongku jika aku merasa kesulitan bernapas menatap matanya yang masih saja sedingin es dan setajam samurai. Aku bisa berpura-pura melihat pemandangan di luar. Ya walaupun aku bukan orang yang pintar berpura-pura.

15 menit pertama berlalu tanpa ada kata-kata yang terucap. Aku sibuk mengunyah dan dia sibuk... entah apa. Aku tidak berani melihatnya. Ya Tuhan... rasanya aku ingin kabur saja dari sini. Tapi, sisi lain dari diriku lebih ingin berada di dekatnya, memastikan dia baik-baik saja.

Aku melihat sekilas tangannya merobek bungkus roti yang tergeletak di atas meja lalu menggigitnya sekali. "Baru kali ini saya lihat Dokter makan," kataku sambil memberanikan diri menatapnya. Sedetik.

"Saya tidak terlalu suka makan," jawabnya singkat, lalu kembali menggigit roti untuk kedua kalinya.

Aku mengaduk-aduk nasiku yang rasanya jadi aneh. "Makan itu bukan perihal suka, tapi kebutuhan. Saya rasa Dokter juga tahu alasannya mengapa kita butuh makan,"

Hening kembali. Aku merasakan hening kali ini sebenarnya tidak benar-benar diam. Aku yakin dia sama sepertiku, otaknya pasti penuh dengan kata-kata yang hendak meluncur deras tapi rasanya dipendam jauh lebih baik. Kami seperti berbicara tanpa berucap, lantas membiarkan hati kami yang berbincang satu sama lain.

Aku menatap keluar jendela. Langit sudah menguning, pertanda maghrib akan segera tiba. Suasana rumah sakit masih tetap ramai karena jam segini adalah jam besuk pasien. Di koridor terlihat keluarga-keluarga pasien berseliweran dengan ekspresi yang bermacam-macam. Rasanya senang sekali menonton keramaian seperti ini.

Setelah puas memandangi mereka, aku kembali menatap nasiku yang masih banyak. Aku menyendokkannya ke mulutku. Sekali, dua kali, tiga kali...

"Ada yang ingin ditanya?" tiba-tiba dia menawarkan pertanyaan seperti itu membuatku berhenti menyendokkan makanan yang sebenarnya terasa hambar di lidahku.

Aku tersenyum sekilas. "Kenapa selalu menanyakan hal itu? Apa Dokter sendiri nggak pernah punya pertanyaan?" Aku memberinya pertanyaan balasan dengan posisi kepala masih menunduk menatap piringku yang isinya sudah semerawut persis seperti isi pikiranku saat ini.

Dia menghela nafas dalam, lalu melemaskan badannya yang sedari tadi duduk tegak dengan bersandar pada kursi. Tangannya meletakkan sisa roti di atas meja. "Baik. Saya ingin bertanya, apa yang ada dipikiran kamu tentang saya?"

JLEB!

Pertanyaan apa pula itu? Sial, seharusnya aku tidak membiarkannya bertanya apapun karena pertanyaannya pasti akan sesulit soal ujian.

"Pertanyaan saya tidak sulit, kan?" tanyanya lagi membuatku hampir yakin 100% kalau dia punya kelebihan bisa membaca pikiran orang.

Aku mengelus-elus pelipisku yang mendadak jadi pusing. "Dokter benar ingin tahu apa yang ada dipikiran saya?"

Dia mengangguk. Matanya masih menatapku dan sukses membuatku jadi salting setengah mati.

Aku menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan. "Oke, jujur, saat pertama kali saya melihat Dokter, saya... kagum. Itu mungkin karena saya baru pertama kali melihat seseorang melakukan RJP in real life. Kemudian kagum itu berubah menjadi benci karena Dokter tidak pernah menganggap saya ada dan puncak kebencian saya adalah saat Dokter menampar saya dengan tumpukan kertas dan meneriaki saya seolah saya sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal sampai menyebabkan pasien meninggal,"

Internal LoveTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon