BAB 6 (Pesan Ibu)

77.6K 8.3K 292
                                    

"Halo, Nak,"

Mataku tiba-tiba panas mendengar satu suara lembut itu menyapaku. "Ibu,"

"Bagaimana keadaan disana? Teman-temanmu nyenengin, kan?"

Aku terdiam sejenak. Handphone kuletakkan di meja belajar. Jari telunjukku menekan mode loudspeaker pada layar handphone. "Nyenengin kok, Bu. Mereka cerewet, jadi Adit nggak ngerasa kesepian,"

"Siapa saja nama temanmu?"

"Raina, Mutia, Uti, dan Ocha,"

"Wah, perempuan semua ya?"

"Iya, Bu,"

"Ibu belum pernah dengar nama mereka di ceritamu,"

Ah, Ibu memang adalah pendengar yang baik. Dia bahkan ingat detail cerita yang pernah aku ceritakan padanya meski sudah berjumlah milyaran.

"Iya, Adit baru dekat sama mereka,"

"Mereka seperti apa orangnya?"

"Raina, dia jadi ketua koas disini. Anaknya baik, mukanya mirip artis Chealsea Island, agak bossy sih dan sering ngatur, tapi selalu membela teman-temannya. Terus Mutia, dia pinter banget, Bu. Tapi dia agak sensitif sama cowok. Sering banget dia GR gitu kalau didekatin dokter atau perawat cowok disini. Lucu deh, Bu, kalau dia lagi GR. Yang namanya Uti, kalau ngomong kayak speaker masjid. Berisik banget, padahal badannya paling kecil, Bu. Dan satu lagi namanya Ocha, anaknya polos, lucu, kadang keibuan tapi lain waktu bisa jadi bocah banget,"

"Dan Adit adalah teman yang paling perhatian walaupun paling diam. Benar, kan?"

Aku tersenyum. Ibu memang yang paling tahu bagaimana karakterku. Sejak kecil, aku tidak punya sahabat dekat dan terbilang pendiam. Ibu adalah satu-satunya sahabatku sejak aku masih dalam perut Ibu. Kata ibu, dulu saat masih dalam rahimnya, Ibu selalu merasa aku sedang berbicara padanya ketika aku menendang perutnya.

"Alhamdulillah, Ibu senang kalau semuanya baik sama kamu,"

Perkataan ibu itu agak menyentil hati kecilku. "Nggak semuanya baik sih, Bu,"

"Ada apa, Nak? Ada yang jahat sama kamu?"

Aku jadi ingin menangis. Disaat-saat seperti ini, aku ingin sekali memeluk ibu. "Ada satu Dokter yang nggak suka sama Adit,"

"Kenapa nggak suka?"

Aku diam sejenak. "Adit ngelakuin kesalahan tadi pagi. Tapi Adit ngelakuin ini karena Adit... karena Adit peduli sama dia. Adit tahu dia capek, Adit pengen bantu. Tapi ternyata niat baik Adit dinilai salah sama dia,"

"Memangnya dia ngapain?"

"Dia... mempermalukan Adit di depan banyak orang. Dia marah sekali sama Adit,"

"Kenapa dia bisa begitu?"

"Nggak tahu, Bu,"

Tiba-tiba airmata itu jatuh lagi. Nyebelin!

Tidak ada jawaban dari Ibu.

"Ibu? Ibu masih disitu, kan?"

"Iya, Ibu denger kok. Nak, Ibu cuma bisa bilang, kamu jauh-jauh merantau ke Jakarta untuk menimba ilmu kedokteran. Kamu jauh-jauh ninggalin ibu dan ayah untuk mewujudkan mimpi kamu menjadi dokter yang bisa berguna untuk orang banyak. Kamu sudah sejauh ini melangkah. Di tengah perjalanan ini kamu pasti bertemu banyak rintangan, termasuk salah satunya bertemu dengan orang yang nggak sejalan sama kamu.

"Pesan Ibu, sikap jahat itu nggak bisa dibalas dengan sikap jahat juga. Sikap jahat hanya bisa ditaklukan dengan sikap baik yang terus menerus. Seperti api yang akan padam perlahan kalau diguyur gerimis. Jadi, Adit pikirkan saja perbuatan baik apa yang bisa Adit lakukan untuk orang lain, menurut Ibu itu jauh lebih menyenangkan daripada terus memikirkan satu perbuatan jahat orang lain ke kita,"

Internal LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang