BAB 12 (Matahari yang Kuat)

75.5K 8.2K 317
                                    

Ada yang tak sempat tergambarkan oleh kata
Ketika kita berdua
Hanya aku yang bisa bertanya
Mungkinkah kau tahu jawabnya

Malam jadi saksinya
Kita berdua diantara kata
Yang tak terucap
Berharap waktu membawa keberanian
Untuk datang membawa jawaban

Mungkinkah kita ada kesempatan
Ucapkan janji takkan berpisah selamanya

(Payung Teduh – Berdua Saja)

***

Waktu sudah lewat tengah malam. Aku masih tertegun sekian lama melihat sosok lelaki bernama dokter Adit ini tiba-tiba berdiri di depan pintu, seakan sengaja diutus Tuhan untuk membantuku menyelamatkan pasien yang sedang di ambang kematiannya ini. Dokter Adit belum berganti pakaian, masih memakai setelan kemeja putih lengan panjangnya yang dia gulung lengannya sampai sesiku plus celana panjang bahan warna hitam. Dan dia membawa tas ransel. Apa dia belum pulang? Mengapa dia ada disini padahal tidak sedang jaga malam?

"Sudah telepon residen anestesi?"

Aku menggeleng. Takut itu masih membelenggu, seakan sedang berkonspirasi dengan bulir air yang tidak juga berhenti meluncur dari kelopak mataku. "Teleponnya nggak ada yang angkat, Dok,"

Dokter Adit terdiam, sejenak terdengar helaan nafas. "Kalau seperti ini harus dilakukan hecting," Dia menjeda kalimatnya. "Kamu depp terus, saya cari peralatan hectingnya,"

Aku mengangguk. Lelaki itu pergi dan wanita paruh baya dihadapanku ini sudah jauh lebih tenang, tidak menangis lagi. Memang, terkadang ketika kita sudah pasrah, justru Tuhan akan bergerak memberi hadiah yang kita butuhkan.

Tidak butuh waktu yang lama, dokter Adit sudah kembali membawa seperangkat minor set untuk hecting, satu spuit dan jarum suntik, dua ampul lidokain untuk bius lokal, serta betadine dan alkohol untuk sterilisasi daerah luka yang akan dilakukan pernjahitan.

Aku hanya memandang dokter Adit melakukan misi penyelamatan ini. Tanganku masih gemetar dan hatiku masih kecewa pada diriku sendiri yang sama sekali tidak berguna. Disaat orang dihadapanku ini sedang meregang nyawa, aku hanya bisa menyuruhnya untuk kuat bertahan, namun aku sendiri tidak melakukan apapun untuk memperbaiki keadaan. Jika seperti ini, apa aku pantas menjadi seorang dokter?

Setelah menyuntikkan bius lokal, dokter Adit mulai melakukan penjahitan. Ada jeda antara membius dan mulai menjahit. Aku melihat tangannya sedikit tremor saat akan mulai menusukkan jarum pertama kali pada kulit pasien. Seperti ada ketakutan yang dia sembunyikan. Namun setelah satu jahitan berhasil, dia mulai terlihat lebih tenang.

Sekitar 30 menit waktu yang diperlukannya untuk menyelesaikan ini semua. Aku tidak tahu apakah waktu itu terbilang cukup lama atau tidak. Yang jelas, dia sudah melakukan yang terbaik yang dia bisa. Kondisi pasien sudah membaik, tidak ada darah lagi yang keluar, dan saat ini pasien sedang tidur tenang.

Kami terdiam, berusaha memberi waktu pada jantung untuk menyelaraskan iramanya kembali. Dokter Adit terduduk di lantai bersandar pada tembok. Kemeja putihnya sudah ternodai oleh darah disana-sini, persis seperti baju jaga yang sedang kukenakan. Wajahnya terlihat lelah namun juga lega.

Aku ikut duduk disampingnya, mungkin berjarak sekitar 100 cm. Tanganku mengusap airmata yang benar-benar menyebalkan karena tidak mau berhenti juga. Mungkin mataku sudah terlihat sembab seperti habis di tonjok orang.

Dan kurasa dia menyadarinya. "Kenapa menangis?" tanyanya yang sekaligus memecah keheningan diantara kami berdua.

Aku menunduk. Jemariku meremas ujung baju jaga yang sudah lecek. "Sa−saya takut, Dok,"

Beberapa detik terlewat tanpa kata-kata, aku merasa kecanggungan itu muncul kembali seperti saat aku hanya berdua dengannya menanti berhentinya hujan. "Saya sudah dua kali melihat kamu menangis seperti ini karena pasien," katanya sembari memposisikan tubuhnya agak serong menghadapku.

Internal LoveWhere stories live. Discover now