BAB 7 (Roti Isi Cream Cheese)

70.5K 7.8K 104
                                    

"DOKTER SURYA VISIT!"

Aku terkejut mendengar teriakan menggelegar seorang perawat dari ujung koridor. Mataku sempat melirik dokter Adit yang masih kesakitan di balik pintu ruang tangga darurat. Tangannya masih meremas perut dan badannya sampai membungkuk mungkin untuk mengurangi sedikit rasa sakitnya. Apa yang harus aku lakukan? Demi Tuhan aku bingung.

"Adit, cepetan dokter Surya sudah datang!" kata Mutia memanggilku.

Aku mengangguk dan memberi isyarat padanya untuk pergi lebih dahulu. Setelah Mutia pergi, aku menoleh lagi ke arah dokter Adit, lalu menoleh lagi ke arah Mutia yang sudah memasuki kamar 507 tempat pasien-pasien dokter Surya. Para residen dan perawat yang sedang bertugas juga sudah berlarian masuk ke kamar tersebut.

"Dit, buruan!" teriak Mutia tiba-tiba melongokkan kepalanya dari depan kamar 507 untuk memanggilku.

Aku tidak punya pilihan. Akhirnya, aku berlari menuju kamar 507. Semoga dia bisa segera menyusul. Eh, tunggu, apa dia mendengar teriakan perawat tadi kalau dokter Surya sedang visit?

Sesampainya di kamar 507, seperti biasa, koas berada di barisan terbelakang. Dokter Surya sedang mendengarkan laporan pasien dari dokter Elang. Sayangnya aku tidak bisa fokus mendengarkan laporan tersebut. Pikiranku masih tertinggal di pintu ruang tangga darurat.

Mutia tiba-tiba menyikutku lalu berbisik. "Kayaknya kurang satu deh residennya. Residen lo mana, Dit?"

Belum aku menjawab, tiba-tiba sesuatu mengejutkanku. Dokter Adit muncul dari balik pintu kamar 507, masuk ke dalam, dan mengambil barisan paling belakang karena barisan di depan memang sudah penuh. Bukan, bukan itu yang paling mengejutkan. Yang paling mengejutkan adalah dia berdiri tepat di sampingku. Mutia sampai speechless karena pertanyaannya langsung mendapat jawaban tanpa kata-kata.

Jujur, perasaanku menjadi kacau. Kemarin dia baru saja mempermalukanku di depan umum. Sekarang, aku melihatnya sebagai sosok yang lain, sosok yang justru perlu dikasihani. Aku benar-benar tidak habis pikir, bagaimana mungkin aku bisa sedikit memaafkannya dengan perlakuan kurang ajarnya kemarin?

"Ehm...,"

Aku meliriknya takut-takut. Dia kembali meremas perutnya walaupun dengan gerakan yang lebih tenang. Ekspresinya juga terlihat datar dan matanya fokus melihat dokter Surya yang sedang memberi ilmu pada para residen. Semudah itu dia berpura-pura baik-baik saja. Mungkin wajahnya yang aku dan mereka lihat setiap hari hanyalah sebuah topeng. Topeng yang dia pakai untuk menutupi ketidakberesan yang ada di hidupnya.

Perhatianku kembali teralih saat tangannya tiba-tiba bergerak merogoh sesuatu dalam saku jas putihnya. Ternyata dia mengambil pulpen dan buku kecil. Namun gerakannya mengaduk-ngaduk isi saku itu membuat sesuatu terjatuh tepat di depan kakiku. Satu strip obat.

Karena posisinya tepat di depan sepatuku, refleks aku mengambilnya. Mataku sempat menangkap tulisan yang tertera pada bungkus obat tersebut. Omeprazole. Saat akan menyerahkan obat itu, dia langsung merampasnya dari tanganku tanpa mengucapkan sepatah katapun, seakan takut aku mengetahui kelemahannya.

Omeprazole. Ternyata dia sakit maag. Apakah separah itu?

***

Siang ini cuaca agak mendung. Aku dan teman-temanku memutuskan untuk makan di kantin rumah sakit karena sudah beberapa hari ini berturut-turut kami membeli makanan di Mpok Yuni dan makan di ruang koas. Sekali-kali memanfaatkan waktu istirahat untuk keluar bangsal, kan, nggak ada salahnya. Apalagi suhu di luar gedung sedang dingin.

"Nana, saya nitip pastel 2 di kasih bumbu kacang, sama air mineral 1 botol ya,"

"Ocha Sayang, aku mau cookies merk apa aja sama susu coklat dong!"

Internal LoveWhere stories live. Discover now