BAB 21 (Monumen Nasional)

75.6K 8.7K 1K
                                    

Aku masih tidak percaya bahwa Rendy diam-diam menyukai perempuan sepertiku. Padahal tidak sedetikpun aku melihat dia lebih dari seorang teman baik. Begitulah manusia, sering kali terlalu sibuk memperhatikan orang yang sulit digapai sampai mengabaikan perhatian orang yang sebenarnya ada di dekatnya.

Ya, aku menyindir diriku sendiri.

Tapi semua sudah terlambat. Aku sudah mencap Rendy seperti kakakku sendiri. Kalau saja sejak awal dia terang-terangan bicara padaku, mungkin segalanya bisa berubah. Aku sadar, aku bukan Tuhan yang Maha membolak-balikkan hati seseorang. Bisa saja aku mengatakan saat ini tidak bisa menyukai Rendy lebih dari seorang teman, tapi jika Tuhan berkehendak Rendy adalah jodohku, aku tidak bisa mengelak.

Sudah dari awal aku berpegang prinsip bahwa aku tidak akan memaksakan takdir-Nya, apalagi perihal jodoh. Aku ingin berjodoh dengan seseorang karena Tuhanku yang mengirimkannya khusus untukku.

"Sedang sedih?"

Lamunanku buyar seketika akibat suara lelaki yang tiba-tiba menghampiriku di nurse station. Matanya tidak menatapku dan tangannya sok sibuk menulis lembar resume pasien yang akan pulang hari ini. "Dokter tahu darimana?"

"Hanya menebak,"

Aku mengerutkan dahi. Bagaimana bisa semua tebakannya selalu benar sih? "Hebat sekali," Aku mencibir sembari memperhatikan ekspresinya.

Dokter Adit menatapku sekilas lalu tersenyum satu detik. Senyum khasnya yang tidak pernah aku mengerti. Matanya kemudian kembali terfokus pada tulisannya sendiri. "Ada yang ingin ditanya?"

Aku jadi teringat pada obrolan tadi pagi antara aku dan teman-temanku perihal kenang-kenangan untuk residen sebelum perpisahan. Ya, kurang lebih satu minggu lagi para residen akan pindah tugas dari Rumah Sakit Fatmawati. Semua temanku sudah mempersiapkan kenang-kenangan khusus untuk residen mereka masing-masing.

Raina berniat memberikan kemeja batik untuk dokter Chandra. Ocha berniat memberikan dress cantik untuk dokter Poppy. Mutia berniat memberikan trophy bertuliskan "World's Greatest Internist" untuk dokter Daffa, katanya sih supaya doi jadi tambah semangat belajar. Sedangkan Uti yang awalnya menolak untuk memberikan apapun pada dokter Elang karena setiap hari mereka tidak pernah akur sehingga pasti terlihat aneh kalau tiba-tiba memberi hadiah, akhirnya mau memberikan alat pengukur saturasi oksigen. Hadiah itu dipertimbangkan Uti karena dokter Elang selalu meminjam alat pengukur saturasi oksigen miliknya dan nggak pernah mau modal sedikit untuk beli sendiri.

Lalu aku, seperti biasa menjadi satu-satunya koas yang tidak tahu harus berbuat apa pada residennya. Mana aku tahu aku harus memberikan dia kenang-kenangan apa? Satu-satunya yang ada diotakku adalah aku harus bertanya padanya langsung apa yang dia butuhkan. Aku tidak mau memberikan sesuatu yang tidak akan berguna.

"Dokter lagi butuh apa sekarang?"

Dokter Adit menghentikan kegiatan menulisnya lalu beralih menatapku. "Saya butuh menyelesaikan resume ini,"

"Bukan. Maksud saya, berupa barang. Barang yang Dokter sangat butuhkan sekarang tapi Dokter belum punya,"

"Barang?" Dokter Adit menjeda kalimatnya, "Tidak ada,"

Aku menghela napas berat. Sudah kuduga, jawabannya pasti mengesalkan. "Masa nggak ada, Dok? Atau... apa gitu, Dok, yang lagi Dokter pengen?"

"Barang?"

"Apa aja deh yang lagi Dokter pengen," jawabku agak sedikit frustasi.

Dokter Adit memutar bola matanya ke atas, seperti sedang berpikir. "Ah, ada!" pekiknya tidak berapa lama kemudian. "Saya ingin Monas,"

Internal LoveWhere stories live. Discover now