BAB 14 (Teka-teki yang Rumit)

66.6K 7.2K 114
                                    


Aku memperhatikan punggung dokter Adit yang sedang memeriksa pasiennya. Beberapa kali dia memintaku mengukur tanda vital pasien. Follow up berjalan seperti biasa, aku dan dia bekerja sama memeriksa pasien-pasiennya dari satu kamar ke kamar lain. Tapi hatiku terasa tidak biasa semenjak menguping pembicaraannya dengan perempuan cantik nan serius di rumah makan padang malam minggu kemarin.

Rasanya aneh.

Pembicaraan itu terasa rumit sekali. Aku sampai memikirkannya berulang-ulang dan membuat hipotesis-hipotesis alias kemungkinan yang mungkin terjadi seenak jidatku.

Si perempuan sudah punya suami tapi masih berharap dokter Adit memberikan penjelasannya. Penjelasan apa? Apa perempuan itu adalah mantan yang ditinggal dokter Adit? Tapi kalau memang mantan, seharusnya dokter Adit yang marah, kan, dokter Adit yang ditinggal nikah? Lalu mengapa dokter Adit terlihat biasa saja hari ini? Sama sekali tidak tampak rasa sedih atau sedang banyak pikiran atau apalah.

"Kamu mau memasang NGT pasien?"

Lamunanku langsung berhamburan ke udara mendengar suara bass milik dokter Adit memasuki liang telingaku. "NGT?"

Dia mengangguk. "Sudah pernah?"

"Belum, Dok,"

Yang terjadi selanjutnya adalah dokter Adit menuntunku menuju pasien yang akan dipasang NGT atau Nasogastric Tube yaitu berupa selang untuk makan pasien yang dimasukkan melalui hidung sampai ke lambung. Pasien yang dipasang NGT ini memang mengalami kesulitan dalam intake makanan. "Pakai handscoon dulu, nanti masukkan selang tegak lurus dengan lubang hidung pasien,"

Aku menurutinya memasang handscoon pada kedua tanganku kemudian mulai bersiap memasukkan selang itu ke hidung pasien.

"Bapak, nanti rasanya pasti tidak nyaman. Kalau sudah sampai kerongkongan, Bapak bantu telan ya seperti sedang menelan kwetiau," jelasnya pada pasien.

Keningku mengernyit. Menelan kwetiau? Yang bener saja, masa nelan selang sama kayak nelan kwetiau?

Aku mulai memasukkan selang itu ke hidung pasien setelah mendapat arahannya. Awalnya terasa biasa saja, tapi setelah selang itu melewati hidung pasien, pasien mulai merasa mual dan ingin muntah, ditambah selang yang kumasukkan ini mendapat tahanan dari sesuatu dalam kerongkongan pasien sehingga tidak bisa masuk lebih dalam lagi. "Dok, kenapa jadi macet ya?"

"Bapak tolong tenang ya! Bantu kami memasukkan selang ini sedikit lagi," ucap dokter Adit kemudian berbisik di telingaku. "Coba angkat dagu pasien lalu cepat dimasukkan. Pasiennya tidak kooperatif,"

Aku mengangguk. Tanganku yang tidak memegang selang mengangkat dagu pasien agar bentuk saluran napas dan saluran pencernaannya menjadi satu garis lurus sehingga selang jadi lebih mudah masuk. Namun karena pasien semakin meronta-ronta, aku tetap merasa kesulitan memasukkannya.

Tiba-tiba diluar perkiraanku, dokter Adit meletakkan telapak tangan kanannya diatas punggung tanganku yang sedang memegang selang dan membantuku mendorong selang itu masuk lebih dalam lagi sampai ke lambung pasien. Gerakkan ini mau tidak mau membuat tubuhnya menempel pada punggungku. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya membelai puncak kepalaku karena memang tubuhnya lebih tinggi.

DEG!

Jantungku! Lagi-lagi dia bereaksi saat dokter Adit melakukan sesuatu yang tidak kuduga sebelumnya.

Internal LoveWhere stories live. Discover now