BAB 22 (Surat Cinta)

71.7K 8.4K 586
                                    


[HiVi – Siapkah Kau Tuk Jatuh Cinta Lagi, dengerin ya sambil baca! Lagunya koas Adit dan dokter Adit banget ini hihihi. Happy reading!]

Dokter Adit gila!

Dia pasti tidak memikirkan apa dampak dari kelakuannya malam itu. Aku sudah katakan, pesonanya itu kuat sekali. Apalagi saat dia mau menciumku. Asal dia tahu, setelahnya aku seperti orang kerasukan yang berteriak-teriak semalaman di kamar kos. Bagaimana kalau saat itu aku benar kerasukan dan membiarkan dia menciumku? Mungkin sekarang aku sudah berbentuk arwah penasaran yang akan menggentayangi hidupnya.

Untung saja setelah malam itu aku tidak terlalu sering bertemu dia. Dia sudah sibuk dengan segala tugasnya yang kebanyakan di luar rumah sakit, dan aku bersama teman-temanku juga sudah mulai disibukkan dengan berbagai presentasi, laporan kasus, serta bimbingan dengan konsulen. Kami hanya bertemu jika follow up pasien.

Anehnya, setiap kami bertemu, dia bersikap biasa saja seakan tidak pernah terjadi apa-apa malam itu. Tetap menyebalkan karena galaknya sudah sangat berkurang. Dia juga jadi lebih sering senyum atau tertawa menghinaku jika mendapati aku sedang bengong menatap wajahnya yang bersinar seperti habis digosok pakai berlian. Tampan kronis.

Aku juga heran mengapa ketampanannya itu terlihat nyata sekali beberapa hari belakangan. Apa karena frekuensi pertemuan kami semakin berkurang sehingga mataku dapat menangkap setiap partikel kegantengan yang menempel di wajahnya secara lebih detail?

"Kalau kamu mengidolakan saya, tinggal katakan saja," katanya sambil sibuk mencoret-coret buku follow up miliknya. Bahkan, saat dia tidak sedang menatapku, dia sadar kalau aku sedang memandangnya.

"GR!" Jelas saja aku tidak mau mengakuinya.

Dia berhenti menulis, lalu mendongakkan kepalanya menatapku. Ada senyum jahil yang menyeringai di wajahnya. "Lalu kenapa daritadi kamu menatap saya seperti itu?"

"GR!" Aku membuang muka agar tidak terlihat sedang berbohong.

Tapi sialnya, dokter Adit berusaha menggapai arah mataku. "Sudah saya katakan, kamu tidak pintar berpura-pura,"

Aku meliriknya galak. "Saya nggak pura-pura!"

Dia malah tertawa kecil. "Matamu itu tidak diciptakan untuk berbohong,"

Napasku tertahan. Dia melakukannya lagi. Menatapku selekat ini seakan ingin membunuhku secara perlahan dengan bubuk ganteng yang ditiupkannya ke mukaku. Ya Tuhan, dia bahkan sudah membuatku menjadi se-alay ini...

Kalau sudah seperti ini yang bisa kulakukan hanya kabur sejauh-jauhnya. Tapi giliran dia sudah jauh, aku malah merindukannya. Se-menyebalkan ini ya jatuh cinta?

***

Tidak terasa satu minggu sudah berlalu, ini artinya kebersamaan kami juga harus segera berakhir. Dokter Adit akan pindah tugas bersama dengan para residen lainnya. Yang aku tahu, dokter Adit dan dokter Poppy akan dipindahkan ke RS Cipto Mangunkusumo, dokter Daffa dan dokter Chandra ke RS Persahabatan, sedangkan dokter Elang ke RS Harapan Kita.

Sebelum perpisahan ini, aku dan teman-temanku sudah mempersiapkan kenang-kenangan khusus untuk mereka. Aku sendiri akhirnya membeli pulpen Parker yang spesial dengan ukiran 'dr. Aditya Nagendra, Sp.PD'. Aku memang sengaja membeli pulpen ini karena aku tahu hidupnya sebagian besar adalah untuk mencatat dan mencatat. Aku juga sengaja menambahkan gelar 'Sp.PD' dibelakang ukiran namanya agar dia semakin semangat menyelesaikan sekolah spesialisnya ini.

"Dok, ini ada sesuatu buat, Dokter," Raina memulai pemberian kenang-kenangan yang dibungkus kertas kado bermotif batik itu kepada dokter Chandra. "Terima kasih atas bimbingannya selama ini. Semoga Dokter bisa secepatnya menjadi internis yang terhebat se-Indonesia,"

Internal LoveWhere stories live. Discover now