BAB 5 (Karma Does Exist)

76.2K 8.9K 331
                                    



Jam menunjukkan pukul 06.45. Aku sudah mandi dan mengganti baju jagaku dengan setelan kemeja dan rok bahan seperti biasa. Semalaman aku tidak menyentuh tikar di ruang koas sama sekali.

Selama aku jaga total ada 7 pasien baru. Aku menghandle 6 pasien yang masuk pagi tadi. Ini memang keputusanku untuk tidak membangunkan dokter Adit yang sedang tertidur di ruang residen. Aku... hanya kasihan melihatnya. Wajahnya saat tidur terlihat sangat lelah.

Aku sudah menulis semua lembar catatan awal masuk pasien. Untuk terapinya, aku hanya mencontek terapi yang diberikan dokter di IGD. Beberapa tambahan obat sesuai keluhan, aku diskusikan juga dengan kak Rendy. Walaupun kak Rendy hanya perawat, tapi dia sudah bekerja di Rumah Sakit Fatmawati selama 3 tahun sehingga hafal obat-obatan apa yang biasa diberikan untuk keluhan yang spesifik.

Pagi ini keadaan bangsal terlihat masih sepi. Aku memakai jas putihku dan kemudian berjalan menuju tempat disimpannya status-status pasien. Seperti kemarin, aku akan tetap follow up pasien meskipun dokter Adit tidak akan melihat bahkan menggubris hasil follow up ku sama sekali.

Ah, sepertinya aku mulai terbiasa dicueki olehnya.

Pasien dokter Adit ada 13 orang. Ada 1 pasien baru yang masuk tadi pagi. Pasien diabetes melitus dengan ulkus pada kakinya. Aku membuat kerangka follow up terlebih dahulu di selembar kertas sehingga saat mendatangi pasien aku tinggal menanyakan keluhannya saat ini dan hasil pemeriksaan fisik yang ada kelainannya. Setelahnya, aku akan mencatat hasil laboratorium yang keluar hasilnya hari ini melalui sebuah komputer yang terdapat di nurse station. Biasanya, pengambilan spesimen untuk pemeriksaannya sudah dilakukan kemarin sehingga hasilnya baru muncul pagi ini.

Baiklah, aku sudah menulis nama pasien beserta dengan kerangka follow up, sekarang saatnya aku mendatangi pasien. Tidak lupa kubawa 'alat perangku'. Yang pertama kudatangi adalah kamar paling ujung.

"Siapa yang suruh memberikan terapi?"

Aku menghentikan langkah. Sepertinya aku kenal suaranya. Aku membalikkan badan dan mendapati sesosok tubuh tinggi, tegap, namun cenderung kurus berpakaian serba biru muda sedang memegang setumpuk kertas, berdiri sekitar 3 meter dari posisiku berdiri. Baju di bagian dada kanannya terdapat bordiran bertuliskan 'dr. Aditya Nagendra'.

"Tidak ada, Dok," jawabku dengan perasaan yang campur aduk. Ada firasat buruk yang tiba-tiba menakutiku.

Dia berjalan mendekat. "Lalu apa ini namanya?" tangannya melambai-lambaikan setumpuk kertas yang ada di genggamannya.

Aku menyipitkan mata. Ah, itu lembar catatan awal masuk pasien. "Itu... lembar catatan a...,"

"KENAPA BERANI-BERANINYA MENULIS TERAPI, HAH?" tangannya tiba-tiba melemparkan tumpukkan kertas itu tepat diwajahku.

Aku terkejut setengah mati. Tumpukkan kertas yang menampar wajahku itu mungkin tidak seberapa sakit. Namun sesuatu didalam dadaku terasa lain. "Sa—saya hanya menyalin dari IGD...,"

"TAHU APA KAMU TENTANG OBAT DARI IGD?"

Aku memberanikan diri menatap matanya. Ternyata dia melotot dan otot-otot di rahangnya tampak menegang. Sepertinya dia marah sekali. Sepertinya perbuatanku ini adalah kesalahan fatal. Sepertinya...

Dia menghela nafas panjang. "6 pasien baru dan kalau mereka sampai kenapa-kenapa apa kamu mau bertanggung jawab, hah?"

Mataku memanas dan aku tidak berani lagi menatap matanya. Dia benar-benar kecewa padaku. "Ma−maaf, Dok,"

Internal LoveDär berättelser lever. Upptäck nu