BAB 27 (Sebuah Kejujuran)

71.5K 7.5K 337
                                    

[Kahitna - Andai Dia Tahu nowplaying on Multimedia]

Aku menarik napas lalu menghembuskannya. Kegiatan ini kulakukan sudah ratusan kali dalam 15 menit ini namun tidak juga memberikan hasil. Aku ingin tenang. Tapi kenapa rasanya sulit? Padahal aku sudah menghadapi begitu banyak ujian dan tidak pernah setegang ini. Ya, detik-detik ini adalah momen termenegangkan dalam hidupku.

"Minumlah selagi hangat," dia mengulurkan secangkir teh hangat padaku.

"Terima kasih," kataku sembari menerimanya. Syukurlah dia sudah datang. Aku harap kehadirannya bisa mencairkan suasana yang aneh ini.

Jadi begini, kondisinya saat ini adalah aku sedang duduk di sofa ruang tamu sebuah rumah sederhana bergaya unlook finish yang sangat nyaman. Tembok-temboknya terbuat dari batu bata yang sengaja tidak ditutupi semen ataupun di cat di beberapa sisi ruangan. Banyak tanaman palsu mengangguntung di atap dan tembok rumah, menjadikan rumah ini terlihat sangat back to nature. Perabotnya sebagian besar terbuat dari kayu jati dan aksesoris yang dipajang tidak begitu banyak. Mungkin hanya beberapa tanaman hias dalam pot mungil. Lampu yang digunakan pun sengaja berwarna kuning sehingga menambah kehangatan suasana dalam rumah ini.

Bukan, seharusnya bukan itu yang aku ceritakan. Tapi kondisi yang membuatku tegang saat ini adalah pasangan suami istri paruh baya yang sedang duduk di hadapanku dan menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala berkali-kali. Wajah mereka ramah tapi perilaku mereka membuatku seperti terdakwa yang sudah membuat anak mereka pulang dengan basah kuyup.

"Kamu... namanya Adit juga?" tiba-tiba si wanita mulai bersuara sambil memberikan senyum yang mirip sekali dengan anak perempuannya.

Aku mengangguk. "I─Iya, Bu,"

"Kata Adit, kamu dari Jakarta ya?"

"I─Iya, Bu,"

"Ke Jogja karena apa?"

Aku menelan ludah. Kenapa aku jadi gemetar begini ya? "Ehm... saya ada acara di Jogja," Aku berusaha nyengir sebisaku.

"Oh, satu acara dengan Adit?"

Belum mulutku menjawab, tiba-tiba dia yang duduk disampingku keburu menyambar. "Bu, ceritanya panjang. Kasihan Dokter Adit kedinginan. Kasih waktu dia buat minum,"

Aku nyengir kembali. Lalu menunduk dan menyeruput teh hangat buatannya yang sangat enak dikonsumsi saat cuaca dingin seperti ini.

"Nak Adit itu Dokter apa ya?" Kali ini si pria berkumis yang duduk di depanku yang bertanya.

"Sa─Saya internis, Pak. Penyakit dalam,"

"Ah, kalau begitu, kamu bisa periksa lambung saya dong ya? Sering sekali sakit ini kalau telat makan,"

Aku tersenyum setengah nyengir. Entah kenapa pasangan itu mampu membuatku mudah sekali melakukan apa yang biasanya sulit kulakukan.

"Kalau itu sih Adit juga bisa, Yah!" celetuk wanita disampingku ini agak sedikit sinis. Aku baru sadar kalau dia sekarang sudah berganti pakaian dan memakai daster batik berwarna pink yang terlihat sangat manis di tubuhnya.

Aku sendiri sudah sejak awal berganti pakaian. Pria berkumis yang merupakan ayah wanita di sampingku ini yang meminjamkannya. Kaos oblong putih dan sarung bermotif kotak-kotak. Kembaran dengan pria itu. Ya ini bukan masalah sih, karena keseharianku di apartemen juga seperti ini. Kaos oblong dan sarung sepertinya akan menjadi fashion favoritku sampai akhir hayat.

"Tapi, kan, internis pasti lebih tahu penyakit, Ayah," ujar si pria membuat wanita di sebelahku cemberut.

"Kapan sih Ayah percaya sama aku?"

Internal LoveWhere stories live. Discover now